Monthly Archives: April 2017

Peran Ganda Balai Karantina dalam AEC 2015

Posted by miftachurohman on April 21, 2017
Tugas Kuliah / No Comments

Pada tahun 1997 tepatnya dalam ASEAN Summit yang diadakan di Kuala Lumpur, para kepala negara ASEAN menyepakati ASEAN Vision 2020 yaitu mewujudkan kawasan yang stabil dan berdaya saing tinggi dengan pertumbuhan ekonomi yang merata. Dari sinilah muncul ide pembentukan Komunitas ASEAN yang memiliki tiga pilar utama, yaitu: (1) ASEAN Security Community, (2) ASEAN Economic Community, (3) ASEAN Socio-Cultural Community. Komunitas ini pada awalnya akan diterapkan secara penuh pada tahun 2020, namun dipercepat menjadi tahun 2015 sesuai dengan kesepakatan dari pemimpin negara-negara anggota ASEAN. Hal ini pun juga disesuaikan dengan perkembangan globalisasi internasional yang menuntut ASEAN untuk lebih kompetitif lagi. (Djani, 2007)

Sebagai bagian dari salah satu pilar komunitas ini, AEC sendiri merupakan pondasi yang diharapkan dapat memperkuat dan memaksimalkan tujuan integrasi ekonomi di kawasan ASEAN dan membuka peluang bagi negara-negara anggota. Dengan adanya EC juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas kerjasama dalam hal ekonomi di ASEAN kearah yang lebih signifikan(Kadin Indonesia, 2014).

AEC (ASEAN Economic Community) adalah sebuah komunitas negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN demi terwujudnya ekonomi yang terintegrasi, negara-negara tersebut bergabung dan memberlakukan sistem single market yang artinya terbuka dalam melakukan perdagangan barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja.

Bidang pertanian merupakan salah satu bidang yang menjadi target utama Negara-negara Asean untuk memaksimalkan komoditas ekspor mereka. Dalam hal ini, peran Badan Karantina sangat penting terkait dengan sanitari dan fitosanitari. Oleh karena itu, kesepakatan SPS(sanitary and Phytosanitary) menjadi penting untuk dipahami oleh pihak-pihak yang terkait, seperti Badan karantina.

Di  Indonesia,  karantina diatur  dalam Undang-Undang  Republik Indonesia nomor  16 tahun 1992 tentang Karantina  Hewan, Ikan, dan Tumbuhan. Karantina tumbuhan  (selanjutnya disebut sebagai karantina saja) adalah  usaha dan tindakan pemerintah sebagai upaya pencegahan  masuk dan tersebarnya OPTK (organisme pengganggu tanaman  karantina) dari luar negeri dan dari suatu area ke area  lain di wilayah negara RI atau keluarnya dari wilayah negara  RI berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.

Serangan  Organisme Pengganggu  Tumbuhan (OPT) atau Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK) merupakan salah satu ancaman yang dapat merusak kelestarian sumber daya alam hayati.  Kerusakan tersebut sangat merugikan karena akan menurunkan hasil produksi budidaya tumbuhan, baik kuantitas maupun kualitasnya. Selain itu juga dapatmengakibatkan musnahnya jenis-jenis  tumbuhan. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk mencegah penyebarannya. Salah satu upaya pencegahan melalui karantina tumbuhan.

Karantina tumbuhan Indonesia dalam mencegah penyebaran tersebut dilakukan melalui  tindakan karantina yang berfungsi untuk mencegah masuk dan tersebarnya Organisme  Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK) ke dalam wilayah negara Republik Indonesia. Berdasarkan  ketentuan internasional, karantina tumbuhan Indonesia juga bertanggungjawab mencegah keluarnya Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) dari wilayah Indonesia.

Dalam  rangka mencapai  tujuan tersebut, karantina  tumbuhan mengatur dan mengawasi  pemasukan dan pengeluaran tumbuhan,  hasil tumbuhan, media pertumbuhan, biakan organisme, kemasan, dan alat angkut(Sholeh, 2013).

Sebagai  anggota WTO,  Indonesia mempunyai  kewajiban untuk melaporkan adanya Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) atau Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK) tertentu, jika telah terjadi wabah (outbreak), terjadi penyebaran secara luas atau berhasil melakukan eradikasi terhadap suatu jenis Pengganggu  Tumbuhan (OPT) atau Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK), atau berhasil membangun kawasan yang bebas Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) atau Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK) (pest free area)(Trisyono, – ).

Kesepakatan SPS pada intinya mengenai kesehatan dan perdagangan internasional. Kesepakatan SPS memperkenalkan perlunya bagi negara anggota WTO untuk tidak hanya melindungi dari risiko yang disebabkan oleh masuknya hama, penyakit, dan gulma (selanjutnya disebut organisme penganggu tumbuhan, OPT), tetapi juga untuk meminimalkan efek negatif dari ketentuan SPS terhadap perdagangan(Trisyono, -).

Kesepakatan SPS mengakui hak anggota WTO untuk melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan, atau tumbuhan dengan pemahaman bahwa persyaratan tertentu tetap dipenuhi. Persyaratan utama adalah bahwa ketentuan SPS harus didasarkan pada kaidah keilmuan; ketentuan tersebut harus tidak membatasi dalam perdagangan melebihi apa yang dipersyaratkan; ketentuan tidak boleh mengada-ada atau bersifat tidak adil dan diskriminatif; dan ketentuan tidak boleh mempunyai tujuan tersembunyi untuk membatasi perdagangan internasional. Tujuan secara menyeluruh adalah perdagangan yang bebas dan sehat(Trisyono, – ).

Dalam hal ini, Badan Karantina di Indonesia secara tidak langsung memiliki peran ganda. Selain sebagai filter masuknya OPT ke Indonesia, Badan Karantina juga secara tidak langsung dapat berfungsi sebagai barrier masuknya produk-produk pertanian ke Indonesia agar produk pertanian Indonesia bias dilindungi dari persaingan perdagangan bebas.

Dalam peraturan SPS telah disebutkan bahwa seharusnya ketentuan SPS dilakukan agar Negara tersebut dapat melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan. Namun dengan peraturan-peraturan yang sangat rumit dan kadang tidak diperlukan, peraturan SPS tersebut seperti menjadi penghalang masuknya produk-produk pertanian dari luar negeri ke Indonesia.

Kejadian semacam ini rawan terjadi di Negara-negara yang belum siap menghadapi AEC 2015. Indonesia merupakan Negara yang persiapanya belum maksimal di bidang pertanian. Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi persaingan produk-produk pertanian dengan Negara lain. Persiapan tersebut dilakukan secara terintegrasi, tidak hanya dalam bidang pertanian.

Lalu upaya-upaya apa saja yang sekiranya bisa ditempuh agar petani di Indonesia dalam rangka menghadapi pemberlakuan AEC 2015 nanti, diantaranya adalah(Elizani, 2014):

  1. Pemerintah dan pihak-pihak terkait harus segera menganalisa kekuatan dan kelemahan di sektor pertanian dan membuat rumusan.
  2. Perlu adanya sosialisasi intensif mengenai pemberlakuan AEC dan strategi untuk menghadapinya, kepada petani yang dibuat dengan bahasa sederhana agar mudah diterima petani.
  3. Menemukan teknologi efisien, yang bertujuan untuk menghasilkan produk dengan BEP rendah. BEP serendah mungkin bila dibandingkan dengan komoditas yang sama dari negara pesaing, sehingga harga jual produk pertanian Indonesia dipasaran bisa lebih terjangkau. Bagaimana hal ini dapat dicapai, salah satunya adalah dengan kembali menerapkan prinsip sistem pertanian organik dimana selain dapat menjaga kelestarian ekosistem / lingkungan juga dapat meningkatkan produktivitas. Selain itu dapat ditempuh dengan melakukan penerapan SOP/GAP spesifik lokasi dan komoditas.
  4. Membangun dan memperkuat kelembagaan gapoktan/kelompok tani. Kemampuan teknik budidaya dan manajemen petani yang masih rendah harus ditingkatkan, dan hal ini tidak lepas dari peran serta petugas dan pemerintah. Petani diajarkan bagaimana caranya berbudidaya yang baik, menguntungkan dan dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga tani itu sendiri.
  5. Menjalin kerjasama / kemitraan dan jejaring pasar secara nasional. Harus ada kemitraan yang kuat antar wilayah-wilayah pertanian di Indonesia. Serta perlu pengembangan sentra / daerah kawasan dengan komoditas spesifik lokasi.
  6. Membangun rasa cinta / semangat nasionalisme terhadap produk pertanian nasional.
  7. Menerapkan standar mutu internasional dalam rangka peningkatan kualitas produk, kuantitas dan kontinuitas.

Pemberlakuan AEC di tahun 2015 ini bisa menjadi ancaman tetapi bisa juga menjadi peluang bagi dunia pertanian Indonesia. Ancaman tersebut dating ketika Indonesia tidak siap mengahdapi AEC 2015. Dengan ketidaksiapan tersebut, Badan Karantina bias mempunyai peran ganda. Selain sebagai filter OPT, namun juga sebagai barrier bagi masuknya produk-produk pertanian ke Indonesia. Dengan segala macam peraturan SPS yang dibuatnya, Badan Karantina dapat melakukan hal tersebut. Oleh karena itu, Indonesia harus bersiap agar Indonesia tidak hanya menjadi penonton, namun juga dapat bermain dalam pasar bebas ASEAN ini. Selain itu, dengan adanya AEC 2015 ini bisa digunakan sebagai ajang pemanasan dalam menghadapi perdagangan bebas APEC 2020 nantinya yang dianggap lebih berat tantangannya daripada AEC 2015.

DAFTAR PUSTAKA

Djani, T.D. 2007. ASEAN Selayang Pandang. Jakarta: Dir. Jen. Kerjasama ASEAN Departemen Luar Negeri Republik Indonesia.

Elizani, P. 2014. Persiapan Sektor Pertanian dalam Menghadapi Pemberlakuan AEC 2015. <

http://distan.pemda- diy.go.id/distan11/index.php?option=com_content&view=article&id=8344:persiapan- sektor-pertanian-dalam-menghadapi-pemberlakuan-aec- 2015&catid=41:artikel&Itemid=514>. Diakses tanggal 26 Juni 2014.

Kadin Indoensia. 2014. http://bkp.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/file/bahanseminarkadinpenas.pdf. Diakses tanggal 26 Juni 2014.

Sholeh. 2013. Persiapan Indonesia dalam menghadapi AEC(Asean Economic Community) 2015. eJournal Ilmu Hubungan Internasional 2:509-522.

Trisyono, Y.A. Kesepakatan Organisasi Perdagangan DUnia(WTO) Tentang Sanitari dan Fitosanitari. Booklet.

 

***

Artikel ini di buat sebagai tugas mata kuliah Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Tumbuhan

***

Tags: ,

LAPORAN PRAKTIKUM EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TUMBUHAN ACARA III: PERKEMBANGAN PEMBENTUKAN KONIDIOFOR DAN KONIDIUM SPORA JAMUR Peronosclerospora maydis PADA PENYAKIT BULAI JAGUNG

Posted by miftachurohman on April 20, 2017
Epidemiologi Penyakit Tumbuhan, Laporan Praktikum / No Comments

LAPORAN PRAKTIKUM
EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TUMBUHAN
ACARA III

PERKEMBANGAN PEMBENTUKAN KONIDIOFOR DAN KONIDIUM SPORA JAMUR Peronosclerospora maydis PADA PENYAKIT BULAI JAGUNG

 

Disusun oleh:
Miftachurohman
12969

Asisten :
Desi Sri Mulya
Pepy

LABORATORIUM ILMU PENYAKIT TUMBUHAN TERPADU
JURUSAN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015

PENDAHULUAN

TUJUAN

  1. Mengikuti perkembangan pembentukan konidiofor Peronosclerospora maydis.
  2. Mengikuti perkembangan pembentukan konidium dan pembebasan Peronosclerospora maydis.

TINJAUAN PUSTAKA

 

 

 

 

 

 

Salah  satu kendala  produksi jagung  adalah penyakit bulai. Penyakit  ini disebabkan oleh jamur Peronosclerospora maydis.  Perbaikan  sifat ketahanan jagung  terhadap bulai telah banyak  dilaporkan, namun belum diperoleh  varietas yang benar-benar tahan. Varietas  unggul saat ini lebih mengedepankan produktifitas, kualitas gizi yang lebih baik, toleran stres lingkungan dan sisa biomas yang tetap hijau  untuk keperluan pakan ternak. Kombinasi sifat-sifat tersebut terbukti mampu meningkatkan hasil, tetapi belum mampu mengatasi masalah  penyakit bulai.

Penyakit ini merupakan penyakit penting karena dapat memusnahkan tanaman. pathogen ini bersifat obligat, termasuk pathogen polisiklik yang dipencarkan oelh angina dan juga melalui biji. Penyakit ini memerlukan kelembaban yang tinggi untuk perkembanganya. Perkecambahan spora memerlukan air bebas. Pengelolaanya dapat dilakukan dengan menekan jumlah inoculum awal, ;aju infeksi dan waktu. Pengubahan atau mengatur waktu tanam dengan mencabut dan memusnahkan tanaman yang terinfeksi, seed treatment, serta penggunaan varietas tahan (Nurhayati, 2011).

keberhasilan infeksi bulai membutuhkan  kondisi lingkungan yang kondusif selama perkecambahan  konidia. Pembentukan tabung kecambah sampai terjadinya penetrasi  melalui stomata merupakan fase infeksi yang paling rentan terhadap pengaruh lingkungan. Keberhasilan infeksi ditandai dengan masuknya tabung kecambah kedalam sel mesofil daun jagung sehingga konidia dapat berkembang melangsungkan proses infeksi berikutnya (Yasin dkk., 2009).

 

METODOLOGI

 

Praktikum Epidemiologi acara III dengan judul Perkembangan Pembentukan Konidiofor Dan Konidium Spora Jamur Peronosclerospora maydis Pada Penyakit Bulai Jagung dilaksanakan pada tanggal 5 Desember 2015 di Laboratorium Mikologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah mikroskop, gelas benda, gelas penutup, gunting, bunsen, botol kecil, dan pipet tetes. Bahan yang digunakan dalam rpaktikum ini adalah daun jagung yang terkena penyakit bulai dengan intensitas serangan yang berat, lactofenol coton blue, air, Acetic Acid Glacial (AAG), dan cat kuku.

Cara kerja dalam praktikum ini adalah pertama tanaman jagung yang terkena bulai disiapkan dalam kondisi segar. Disiapkan tanaman jagung yang mempunyai gejala bulai yang tegas. Daun yang bergejala bulai di potong-potong dengan ukuran 1 cm x 0,5 cm atau 0,5 cm x 0,5 cm. Potongan daun kemudian dimasukkan ke dalam Acetic Acid Glacial (AAG) dan direndam selama 30 menit sambil dipanasi sampai mendidih dengan menggunanakn lampu spiritus. Setelah dingin, potongan daun direndam kedalam air selama 15 menit. Potongan daun selanjutnya diletakkan pada objek glass, ditetesi dengan menggunakan lactophenol caton blue, dan ditutup dengan menggunakan gelas penutuo untuk diamati di bawah mikroskop. Lakukan kegiatan ini pada pukul 23.30, 24.00, 00.30. 01.00, 01.30, 02.00, dan 02.30.

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

Hasil

 

 

Tabel 1. Pengamatan Mikroskopis Peronosclerospora maydis

23.30
UL. 1 UL.2
UL.3
24.00
UL.1 UL.2
UL.3
00.30
UL.1 UL.2
UL.3
01.00
UL.1 UL.2
UL.3.1 UL.3.2
01.30
UL.3.1 UL.3.2
UL.3.3
02.00
UL.2 UL.1.1
UL.1.2
02.30
UL.3 UL.2
UL.1

 

 

Pembahasan

 

Dari hasil pengamatan dapat diketahui bahwa perkembangan konidia jamur peronoscerosporamaydis berlangsung pada malam hari. Pada pukul 23.30, hasil dari pengamatan mikroskop belum menunjukkan adanya perkembangan konidia. Hal ini jugaterjadi pada pukul 24.00 dan 00.30. Konidia baru mulai terbentuk pada saat pengamatan pukul 01.00. Pada waktu tersebut, terlihat bahwa jamur telah membentuk konidia. Puncak pembentukan konida berlangsung pada pukul 01.00-02.00. Pada pengamatan pukul 02.30, konidia sudah mulai sedikit terbentuk.

Dari segi epidemiologi, pembentukan konidia pada pukul 01.00 merupakan hal yang memang dharapkan, hal ini karena pada waktu tersebut, kondisi angina masih tenang sehingga apabila konidia jatuh, maka tidak akan mengenai daun pada tanaman yang lain. Kondisi demikian menjadikan intensitas penyakit menjadi tidak bertambah.

Jika konidia terbentuk pada saat menjelang subuh, yaitu sekitar pukul 04.00, maka pada saat itu perlu diwaspadai.Pada waktu tersebut, kondisi angina mulai kencang. Engan kondisi seperti itu, maka konidia yang dikeluarkan dapat tersebar ke tanaman lain. Jika hal ini terjadi berualng-ulang dan infeksi penyakit bulai banyak terjadi di banyak lokasi, maka kejadian epidemi penyakit bulai kaan dapat terjadi.

Menurut Semangun (2004), dalam kondisi lembap 90% dan suhu rendah 24oC, konidia  akan terlepas dari konidiofor. Mekanisme pelepasan konidia terjadi secara mekanis dengan cara pangkal konidiofor terpilin, kemudian berputar kembali ke kondisi normal. Gerak mekanis ini menyebabkan konidia yang berada di ujung konidiofor akan terlempar.  Penyakit bulai menular dari tanaman sakit sebagai sumber inokulum ke ke tanaman lainnya dengan konidia. Mula-mula konidia jatuh di permukaan daun atas maupun bawah. Jumlah konidia pada permukaan daun sangat melimpah, namun tidak selalu diikuti  keberhasilan infeksi karena kebanyakan konidia gagal berkecambah. Hal ini diduga disebabkan oleh tabung kecambah konidia yang sangat panjang untuk mencapai stomata. Perkecambahan merupakan kondisi yang paling lemah dan peka tehadap perubahan  faktor lingkungan. Perubahan lingkungan yang drastis akan menyebabkan kematian tabung kecambah sehingga tidak terjadi infeksi. Kegagalan inokulasi di rumah kasa diduga disebabkan oleh faktor lingkungan yang kurang mendukung dan bukan disebabkan oleh  kegagalan deposisi konidia. Proses infeksi jamur melewati fase perkecambahan, penetrasi, infeksi, kolonisasi dan sporulasi. Proses perkecambahan memegang peranan penting dalam keberhasilan infeksi karena merupakan fase yang paling rentan tehadap perubahan lingkungan.

Penyakit  bulai dapat  menimbulkan gejala  sistemik yang meluas  keseluruh badan tanaman  dan dapat menimbulkan gejala lokal (setempat). Ini tergantung dari meluasnya cendawan penyebab penyakit di dalam tanaman yang terinfeksi.  Gejala sistemik hanya terjadi bila cendawan dari daun yang terinfeksi dapat mencapai titik tumbuh sehingga dapat menginfeksi semua daun yang dibentuk oleh titik tumbuh itu.   Pada tanaman yang masih muda, daun-daun yang baru saja membuka mempunyai bercak klorotis kecil-kecil. Bercak ini akan berkembang menjadi jalur yang sejajar dengan tulang induk,  sehingga cendawan penyebab penyakit berkembang menuju kepangkal daun. Pada umumnya daun di atas daun yang berbecak itu tidak bergejala. Daun-daun yang berkembang sesudah itu mempunyai daun klorotis merata atau bergaris-garis.  Di waktu pagi haripada sisi bawah daun terdapat lapisan beledu putih yang terdiri dari konidiofordan konidium.

Konidium  yang masih  muda berbentuk  bulat, dan yang  sudah masak dapat menjadi jorong, dengan ukuran 12  – 19 x 10 – 23 µm dengan rata-rata 19,2 x 17,0 µm untuk  P. maydid sedangkan untuk P. philippinensis ukuran konidiofornya 260 –  580 µm, konidiumnya berukuran 14 – 55 x 8 – 20 µm dengan ratarata 33,0 x 13,3 µm.    Adanya benang-benang cendawan dalam ruang antarselnya maka daun-daun tampak kaku, agak menutup, dan lebih tegak (Semangun, 2004).

Tanaman waktu terinfeksi masih sangat muda, biasanya tanaman tidak membentuk  buah, tetapi bila terjadi pada tanaman yang lebih tua tanaman dapat tumbuh  terus dan membentuk buah. Buah yang terbentuk sering mempunyai tangkai yang panjang,  dengan kelobot yang tidak menutup pada ujungnya, dan hanya membentuk sedikit biji. Bila cendawan didaun terinfeksi pertama kali tidak dapat mencapai titik tumbuh,  gejala hanya terdapat pada daun-daun sebagai garis-garis klorotik, yang disebut juga sebagai gejala lokal (Semangun, 2004).

 

KESIMPULAN

 

Waktu maksimal perkembangan konida jamur Peronosclerospora maydis  terjadi pada pukul 01.00 -02.00 dan kemudian perkembanganya menurun

DAFTAR PUSTAKA

Semangun,H. 2004. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Gajah Mada University Press. 449 hal

Nurhayati. 2011. Epidemiologi penyakit Tumbuhan.Universitas Sriwijawa Press, Palembang.

Yasin,H.G., Wasmo,W., Syasuddin, dan A.Patah. 2009. Evaluasi ketahanan penyakit bulai, becak daun, dan karat pada jagung calon hibrida QPM di dataran rendah tropis. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI,PFI Komisariat Daerah Sulsel ke XIX. Hal. 55 – 65

Tags: , , , ,

Protected: LAPORAN PRAKTIKUM EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TUMBUHAN ACARA II: PEMBEBASAN SPORA PENYAKIT KARAT (Puccinia arachidis ) PADA TANAMAN KACANG TANAH (Arachis hypogaea)

Posted by miftachurohman on April 13, 2017
Epidemiologi Penyakit Tumbuhan, Laporan Praktikum / Enter your password to view comments.

This content is password protected. To view it please enter your password below:

Tags: , , , ,