Pada tahun 1997 tepatnya dalam ASEAN Summit yang diadakan di Kuala Lumpur, para kepala negara ASEAN menyepakati ASEAN Vision 2020 yaitu mewujudkan kawasan yang stabil dan berdaya saing tinggi dengan pertumbuhan ekonomi yang merata. Dari sinilah muncul ide pembentukan Komunitas ASEAN yang memiliki tiga pilar utama, yaitu: (1) ASEAN Security Community, (2) ASEAN Economic Community, (3) ASEAN Socio-Cultural Community. Komunitas ini pada awalnya akan diterapkan secara penuh pada tahun 2020, namun dipercepat menjadi tahun 2015 sesuai dengan kesepakatan dari pemimpin negara-negara anggota ASEAN. Hal ini pun juga disesuaikan dengan perkembangan globalisasi internasional yang menuntut ASEAN untuk lebih kompetitif lagi. (Djani, 2007)
Sebagai bagian dari salah satu pilar komunitas ini, AEC sendiri merupakan pondasi yang diharapkan dapat memperkuat dan memaksimalkan tujuan integrasi ekonomi di kawasan ASEAN dan membuka peluang bagi negara-negara anggota. Dengan adanya EC juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas kerjasama dalam hal ekonomi di ASEAN kearah yang lebih signifikan(Kadin Indonesia, 2014).
AEC (ASEAN Economic Community) adalah sebuah komunitas negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN demi terwujudnya ekonomi yang terintegrasi, negara-negara tersebut bergabung dan memberlakukan sistem single market yang artinya terbuka dalam melakukan perdagangan barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja.
Bidang pertanian merupakan salah satu bidang yang menjadi target utama Negara-negara Asean untuk memaksimalkan komoditas ekspor mereka. Dalam hal ini, peran Badan Karantina sangat penting terkait dengan sanitari dan fitosanitari. Oleh karena itu, kesepakatan SPS(sanitary and Phytosanitary) menjadi penting untuk dipahami oleh pihak-pihak yang terkait, seperti Badan karantina.
Di Indonesia, karantina diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 16 tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan. Karantina tumbuhan (selanjutnya disebut sebagai karantina saja) adalah usaha dan tindakan pemerintah sebagai upaya pencegahan masuk dan tersebarnya OPTK (organisme pengganggu tanaman karantina) dari luar negeri dan dari suatu area ke area lain di wilayah negara RI atau keluarnya dari wilayah negara RI berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.
Serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) atau Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK) merupakan salah satu ancaman yang dapat merusak kelestarian sumber daya alam hayati. Kerusakan tersebut sangat merugikan karena akan menurunkan hasil produksi budidaya tumbuhan, baik kuantitas maupun kualitasnya. Selain itu juga dapatmengakibatkan musnahnya jenis-jenis tumbuhan. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk mencegah penyebarannya. Salah satu upaya pencegahan melalui karantina tumbuhan.
Karantina tumbuhan Indonesia dalam mencegah penyebaran tersebut dilakukan melalui tindakan karantina yang berfungsi untuk mencegah masuk dan tersebarnya Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK) ke dalam wilayah negara Republik Indonesia. Berdasarkan ketentuan internasional, karantina tumbuhan Indonesia juga bertanggungjawab mencegah keluarnya Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) dari wilayah Indonesia.
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, karantina tumbuhan mengatur dan mengawasi pemasukan dan pengeluaran tumbuhan, hasil tumbuhan, media pertumbuhan, biakan organisme, kemasan, dan alat angkut(Sholeh, 2013).
Sebagai anggota WTO, Indonesia mempunyai kewajiban untuk melaporkan adanya Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) atau Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK) tertentu, jika telah terjadi wabah (outbreak), terjadi penyebaran secara luas atau berhasil melakukan eradikasi terhadap suatu jenis Pengganggu Tumbuhan (OPT) atau Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK), atau berhasil membangun kawasan yang bebas Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) atau Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK) (pest free area)(Trisyono, – ).
Kesepakatan SPS pada intinya mengenai kesehatan dan perdagangan internasional. Kesepakatan SPS memperkenalkan perlunya bagi negara anggota WTO untuk tidak hanya melindungi dari risiko yang disebabkan oleh masuknya hama, penyakit, dan gulma (selanjutnya disebut organisme penganggu tumbuhan, OPT), tetapi juga untuk meminimalkan efek negatif dari ketentuan SPS terhadap perdagangan(Trisyono, -).
Kesepakatan SPS mengakui hak anggota WTO untuk melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan, atau tumbuhan dengan pemahaman bahwa persyaratan tertentu tetap dipenuhi. Persyaratan utama adalah bahwa ketentuan SPS harus didasarkan pada kaidah keilmuan; ketentuan tersebut harus tidak membatasi dalam perdagangan melebihi apa yang dipersyaratkan; ketentuan tidak boleh mengada-ada atau bersifat tidak adil dan diskriminatif; dan ketentuan tidak boleh mempunyai tujuan tersembunyi untuk membatasi perdagangan internasional. Tujuan secara menyeluruh adalah perdagangan yang bebas dan sehat(Trisyono, – ).
Dalam hal ini, Badan Karantina di Indonesia secara tidak langsung memiliki peran ganda. Selain sebagai filter masuknya OPT ke Indonesia, Badan Karantina juga secara tidak langsung dapat berfungsi sebagai barrier masuknya produk-produk pertanian ke Indonesia agar produk pertanian Indonesia bias dilindungi dari persaingan perdagangan bebas.
Dalam peraturan SPS telah disebutkan bahwa seharusnya ketentuan SPS dilakukan agar Negara tersebut dapat melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan. Namun dengan peraturan-peraturan yang sangat rumit dan kadang tidak diperlukan, peraturan SPS tersebut seperti menjadi penghalang masuknya produk-produk pertanian dari luar negeri ke Indonesia.
Kejadian semacam ini rawan terjadi di Negara-negara yang belum siap menghadapi AEC 2015. Indonesia merupakan Negara yang persiapanya belum maksimal di bidang pertanian. Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi persaingan produk-produk pertanian dengan Negara lain. Persiapan tersebut dilakukan secara terintegrasi, tidak hanya dalam bidang pertanian.
Lalu upaya-upaya apa saja yang sekiranya bisa ditempuh agar petani di Indonesia dalam rangka menghadapi pemberlakuan AEC 2015 nanti, diantaranya adalah(Elizani, 2014):
- Pemerintah dan pihak-pihak terkait harus segera menganalisa kekuatan dan kelemahan di sektor pertanian dan membuat rumusan.
- Perlu adanya sosialisasi intensif mengenai pemberlakuan AEC dan strategi untuk menghadapinya, kepada petani yang dibuat dengan bahasa sederhana agar mudah diterima petani.
- Menemukan teknologi efisien, yang bertujuan untuk menghasilkan produk dengan BEP rendah. BEP serendah mungkin bila dibandingkan dengan komoditas yang sama dari negara pesaing, sehingga harga jual produk pertanian Indonesia dipasaran bisa lebih terjangkau. Bagaimana hal ini dapat dicapai, salah satunya adalah dengan kembali menerapkan prinsip sistem pertanian organik dimana selain dapat menjaga kelestarian ekosistem / lingkungan juga dapat meningkatkan produktivitas. Selain itu dapat ditempuh dengan melakukan penerapan SOP/GAP spesifik lokasi dan komoditas.
- Membangun dan memperkuat kelembagaan gapoktan/kelompok tani. Kemampuan teknik budidaya dan manajemen petani yang masih rendah harus ditingkatkan, dan hal ini tidak lepas dari peran serta petugas dan pemerintah. Petani diajarkan bagaimana caranya berbudidaya yang baik, menguntungkan dan dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga tani itu sendiri.
- Menjalin kerjasama / kemitraan dan jejaring pasar secara nasional. Harus ada kemitraan yang kuat antar wilayah-wilayah pertanian di Indonesia. Serta perlu pengembangan sentra / daerah kawasan dengan komoditas spesifik lokasi.
- Membangun rasa cinta / semangat nasionalisme terhadap produk pertanian nasional.
- Menerapkan standar mutu internasional dalam rangka peningkatan kualitas produk, kuantitas dan kontinuitas.
Pemberlakuan AEC di tahun 2015 ini bisa menjadi ancaman tetapi bisa juga menjadi peluang bagi dunia pertanian Indonesia. Ancaman tersebut dating ketika Indonesia tidak siap mengahdapi AEC 2015. Dengan ketidaksiapan tersebut, Badan Karantina bias mempunyai peran ganda. Selain sebagai filter OPT, namun juga sebagai barrier bagi masuknya produk-produk pertanian ke Indonesia. Dengan segala macam peraturan SPS yang dibuatnya, Badan Karantina dapat melakukan hal tersebut. Oleh karena itu, Indonesia harus bersiap agar Indonesia tidak hanya menjadi penonton, namun juga dapat bermain dalam pasar bebas ASEAN ini. Selain itu, dengan adanya AEC 2015 ini bisa digunakan sebagai ajang pemanasan dalam menghadapi perdagangan bebas APEC 2020 nantinya yang dianggap lebih berat tantangannya daripada AEC 2015.
DAFTAR PUSTAKA
Djani, T.D. 2007. ASEAN Selayang Pandang. Jakarta: Dir. Jen. Kerjasama ASEAN Departemen Luar Negeri Republik Indonesia.
Elizani, P. 2014. Persiapan Sektor Pertanian dalam Menghadapi Pemberlakuan AEC 2015. <
http://distan.pemda- diy.go.id/distan11/index.php?option=com_content&view=article&id=8344:persiapan- sektor-pertanian-dalam-menghadapi-pemberlakuan-aec- 2015&catid=41:artikel&Itemid=514>. Diakses tanggal 26 Juni 2014.
Kadin Indoensia. 2014. http://bkp.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/file/bahanseminarkadinpenas.pdf. Diakses tanggal 26 Juni 2014.
Sholeh. 2013. Persiapan Indonesia dalam menghadapi AEC(Asean Economic Community) 2015. eJournal Ilmu Hubungan Internasional 2:509-522.
Trisyono, Y.A. Kesepakatan Organisasi Perdagangan DUnia(WTO) Tentang Sanitari dan Fitosanitari. Booklet.
***
Artikel ini di buat sebagai tugas mata kuliah Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Tumbuhan
***