Monthly Archives: January 2018

LAPORAN PRAKTIKUM PATOGEN TUMBUHAN ACARA II: ISOLASI DAN IDENTIFIKASI JAMUR, BAKTERI SERTA VIRUS

Posted by miftachurohman on January 29, 2018
Laporan Praktikum, Patogen Tumbuhan / No Comments
LAPORAN PRAKTIKUM
PATOGEN TUMBUHAN
ACARA II
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI JAMUR, BAKTERI SERTA VIRUS

Disusun oleh:
Nama : Miftachurohman
NIM : 12/334974/PN/12969

Asisten:
Erwin Najmudin
Niken R. Paramita

LABORATORIUM PENYAKIT TANAMAN TERPADU
JURUSAN PERLINFUNGAN TANAMANFAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014
ACARA II
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI JAMUR, BAKTERI SERTA VIRUS
 TUJUAN
    1. Mengetahui cara isolasi jamur dan bakteri patogen tumbuhan dari sampel tanaman sakit
    2. Mempelajari penularan virus secara mekanik
    3. Mempelajari gejala penyakit karena virus yang timbul pada beberapa tanaman inang
TINJAUAN PUSTAKA

Isolasi adalah cara untuk memisahkan atau memindahkan mikroba tertentu dari lingkungannya, sehingga diperoleh kultur murni atau biakan murni. Kultur murni ialah kultur yang sel-sel mikrobianya berasal dari pembelahan dari satu sel tunggal. Ada berbagai cara untuk mengisolasi bakteri dalam biakan murni yaitu, cara pengenceran, cara penuangan, cara penggesekan atau penggoresan, cara penyebaran, cara pengucilan 1 sel, dan cara inokulasi pada hewan. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan (Waluyo, 2007).

Beberapa cara umum yang dapat dilakukan untuk mengisolasi mikroba antara lain untuk mengisolasi bakteri dapat dilakukan dengan cara goresan (streak plate), cara taburan atau tuang (pour palte), cara sebar (spread plate), cara pengenceran (dilution method), serta manipulator (the micro manipulator method). Metode pengenceran bertujuan untuk memperkecil atau mengurangi jumlah mikroba yang tersuspensi dalam cairan, dengan cara melakukan pengenceran bertingkat terhadap sampel air.Sedangkan metode tuang adalah suatu metode yang dilakukan dengan cara memasukkan sampel yang telah diencerkan terlebih dahulu ke dalam cawan petri, dan dituangi dengan medium (Lay, 1992).

Apabila ingin mendapatkan kultur murni suatu mikrobia yang digunakan adalah metode streak plate, karena hasil akhir metode ini adalah berupa kumpulan sel-sel yang semakin jarang pada ujung streak sehingga dapat diambil bakteri pada jumlah seluler (satu sel). Selain itu bakteri yang didapat seharusnya merupakan bakteri yang memang ingin dibiakkan di kultur tersebut dengan kata lain bukan bakteri kontaminan, sebab yang diambil/dicuplik adalah koloni bakteri yang berada di atas streak yang dibuat dan bukan di luar streak. Kelebihan metode ini adalah dapat segera diketahui adanya kontaminasi. Sedangkan kekurangannya metode ini sulit dilakukan dan hanya dapat digunakan untuk menumbuhkan bakteri aerob saja. (Burrrow,1959).

Tobacco Mosaic Virus merupakan salah satu virus penting yang banyak menyerang tanaman. Virus ini sering menyerang famili solanaceae. Dilapangan TMV dapat menular melalui alat-alat pertanian dan secara meknaik melalui gesekan tanaman sakit dan tanaman sehat. Selain itu, daya tahan yang lama di luar tanaman inang mengakibatkan TMV dapat bertahan dalam tanah dan akan menulari tanamanbaru melalui luka mekanik pada akar tanaman(Wilkinson, 2012).

Salah  satu penyakit  yang  disebabkan  oleh  cendawan adalah penyakit  layu fusarium  yang  disebabkan  oleh  cendawan Fusarium  sp.  Penyebaran cendawan Fusariumsangat  cepat  dan dapat  menyebar ke tanaman  lain  dengan cara menginfeksi akar  tanaman dengan menggunakan  tabung  kecambah atau  miselium. Akar tanaman  dapat  terinfeksi  langsung  melalui  jaringan  akar,  atau  melalui  akar lateral  dan melalui  luka-luka, yang kemudian menetap  dan  berkembang  di berkas  pembuluh.  Setelah  memasuki  akar  tanaman,  miselium  akan berkembang  hingga  mencapai jaringan  korteks  akar.  Pada  saat  miselium cendawan  mencapai  xylem,  maka  miselium  ini  akan  berkembang  hingga menginfeksi  pembuluh  xylem.  Miselium  yang  telah  menginfeksi  pembuluh xylem, akan terbawa ke bagian lain tanaman sehingga mengganggu peredaran nutrisi  dan  air  pada  tanaman  yang  menyebabkan  tanaman  menjadi  layu (Semangun,  2005). Cendawan  Fusarium  tersebut  membentuk  polipeptida, yang  disebut  likomarasmin yang  dapat  mengganggu  permeabilitas  membran plasma dari tanaman (Chang et al.,, 2010).

Ralstonia solanacearum berkembang di dalam jaringan tanaman setelah melalui  bagian  interseluler  tanaman  dengan  bantuan  angin  dan  lubang  alami, misalnya stomata. Secara alami, patogen ini menginfeksi akar dengan kisaran inang yang luas dan secara agresif mengkolonisasi jaringan xilem, menyebabkan layu  letal  yang  diketahui  sebagai  penyakit  layu  bakteri  (Machmud and Suryadi, 2008).

METODOLOGI PRAKTIKUM

Praktikum Patogen Tumbuhan Acara II dengan judul Isolasi Jamur, Bakteri dan Virus dilaksanakan pada tanggal 10 Oktober 2014 di Laboratorium Penyakit Tanman Terpadu Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah sampel tanaman tomat yang terkena penyakit layu bakteri akibat Ralstonia solanacearum dan Fusarium oxysporum, sampel tanaman tembakau yang sakit oleh Tobacco Mosaic Virus, Kloroks, carborundum, media NA dan PDA, tanaman cenopodium, air steril, serta buffer fosfat. Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah cawan Petridis, jarum oose, tisu, Bunsen, pisau, , timbangan, mortar, dan alcohol.

Pada isolasi bakteri, langkah kerja yang dilakukan adalah batang tomat yang bergejala penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum dibersihkan kulitnya, kemudian didisinfeksi menggunakan alcohol. Kemudian batang tomat dipotong kecil-kecil dan dimasukkan kedalam tabung reaksi yang berisi air steril. Kmudian tabung reaksi digojok hingga suspense menjadi homogen. Setelah homogeny, air suspense bakteri kemudian di oleskan(streak)ke medium NA. Masing-masing petridish di beri label sesuai dengan ulangan.

Pada isolasi jamur, langkah kerja yang dilakukan adalah batang tanaman tomat yang bergejala layu akibat jamur fusarium dipoton-potong kecil pada pangkal batangnya(antara batang yang sakit dan batang yang sehat). Hasil potongan-potongan batang tersebut kemudian dimasukkan ke dalam kloroks selama kurang lebih dua menit. Setelah dimasukkan ke dalam kloroks,kemudian dimasukkan ke dalam air steril. Kemudian batang tersebut di masukkan ke dalam mediam PDA. Masing-masing petridish di beri label sesuaid dengan ulangan.

Pada inokulasi virus TMV, daun tanaman tembakau yang bergejala sakit akibat TMV di timbang seberat satu gram. Kemudian daun tersebut di gerus hingga halus dengan ditambahi buffer fosfat secukupnya. Setelah halus, air gerusan tersebut kemudian di saring menggunakan kapas. Setelah itu, daun tanaman chenopodium diolesi dengan karborundum. Kemudian air gerusan daun tembakau tersebut dioleskan kepermukaan daun hingga merata. Ditunggu hingga daun mongering. Setelah daun mongering, kemudian daun tersebut disemprot dengan menggunakan air steril hingga karborundum yang ada di daun tidak tersisa. Masing-masing daun diberi label sesuai dengan ulangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Salah satu tahapan dalam postutal Koch untuk membuktikan bahwa jasad yang ada dalam tumbuhan yang sakit tersebut merupakan penyebab penyakit, diperlukan adanya isolasi penyakit serta inokulasi . Isolasi ini dilakukan menumbuhkan penyebab penyakit pada biakan murni. Inokulasi dilakukan agar dapat mengetahui apakah biakan murni hasil isolasi tersebut merupakan sumber penyakit yang sama atau bukan. Dalam praktikum ini, dilakukan isolasi terhadap organisme yang menyebabkan penyakit layu pada tomat, serta inokulasi penyakit kuning pada tembakau.

Organisme sasaran dalam isolasi ini adalah bakteri Ralstonia solanacearum dan jamur Fusarium oxysporum yang menyebabkab penyakit layu bakteri pada tanaman tomat. Selain itu, juga akan dilakukan isolasi virus TMV yang menyerang tanaman tembakau ke tanaman Chenopodium sebagai tanaman indicator.

Ralstonia solanacearum

Pengamatan mikroskopis bakteri R. solanacearum

Sumber: Dokumen pribadi. Perbesaran 10×40

Nama penyakit            : Layu bakteri pada tanaman tomat

Nama patogen             : Ralstonia solanacearum

Nama inang                 : Solanum lycopersicum

Isolasi bakteri pathogen Ralstonia solanacearum diperoleh dari pangkal batang tanaman tomat yang terinfeksi penyakit layu bakteri. Hasil  pengamatan  akar  dan  batang  secara  visual menunjukkan  adanya  nekrotik  pada  jaringan  pembuluh pada  akar  dan  batang  yang  ditandai  warna  cokelat  sampai hitam sepanjang jaringan kayu dan kambium. Gejala ini sebagai bentuk serangan dan perkembangan bakteri patogen di  dalam  jaringan   pembuluh  kayu  dalam  bentuk  massa bakteri (Kelman, 1953)

Hasil identifikasi gejala penyakit layu bakteri tomat yang didapatkan, merupakan analisa awal dari karakterisasi bakteri  patogen,  dan  untuk  mengetahui  bakteri  patogen sebagai  penyebab  penyakit  layu  bakteri  selanjutnya dilakukan  isolasi  dan  pengamatan  morfologi  bakteri patogen seperti berikut ini. Hasil  isolasi  bakteri  patogen  pada  medium  PDA menunjukkan bahwa koloni bakteri berbentuk tidak teratur, putih dan fluidal. Hal ini sesuai dengan yang diutarakan oleh (Denny at al, 2001).

Hasil  isolasi  dan  pengamatan  morfologi  bakteri patogen  merupakan  karakterisasi  awal  dari  R. solanacearum yang diduga sebagai bakteri patogen penyebab  penyakit  layu  bakteri  tomat.  Selanjutnya  untuk memastikan  isolat  bakteri  patogen  yang  diuji  sebagai  R. solanacearum yang  dapat  menginfeksi  tomat,  maka  perlu dilakukan  pengujian  patogenisitas yang dilakukan pada acara praktikum berikutnya.

solanacearum bersifat Gram negatif, berbentuk batang dengan ukuran 0,5 µmx 1,5 µm, dapat bergerak dengan satu atau beberapa flagela,aerobik, dapat mereduksi nitrat dan  memproduksi  amonia.  Bakteri  ini  diklasifikasikan  menjadi Ras berdasarkan perbedaan kisaran inang dan Biovar  berdasarkan sifat biokimia (penggunaan  sumber  karbon).  Karakteristik  lain  adalah  tidak membentuk  pigmen  pendar  fluor,  katalase  dan  kovac’s oksidase  positif, kemoorganotrof,  tidak  mampu  tumbuh  pada  suhu  4o C  atau  40oC,  tumbuh  pada medium  yang  mengandung  1%  NaCl,  tetapi  tidak  tumbuh pada  medium  yang mengandung  2%  NaCl  (Denny and Hayward,  2001).  Dari deskripsi diatas menunjukkan bahwa bakteri yang diidentifikasi dalam praktikum ini adalah bukan dari bakteri R.  solanacearum. Namun, bakteri yang diidentifikasi jika dilihat dari koloninya merupakan bakteri R.  solanacearum.

Gejala layu pada tanaman disebabkan bakteri ini menyerang sistem vascular, terutama pada tanaman herbaceus. Sistem transportasi ait dan nutrien diblok dalam pembuluh  xylem sehingga tanaman kekurangan air dan nutrisiahirnya mengakibatkan layu atau kadang – kadang kerdil. Oleh karena itu terjadinya layu mungkin bukan disebabkan secara langsung oleh toksin bekteri, tetapi karena pertumbuhan bakteri secara masif dalam  xylem dan produksi lender polisakarida ekstraseluler yang menyumbat sistem vascular. Koloni bakteri ini banyak di jumpai  dalam xylem baik pada bagian batang, akar atau tangkai. Masa inkubasi  R. solanacearum atau waktu antara inokulasi dan munculnya gejala lebih lama dibandingkan penyakit bakteri lain, sering lebih dari dua minggu.

Dalam isolasi bakteri, batang tanaman tomat setelah dikuliti akan didisinfeksi. Hal ini dialkukan untuk menghindari kontaminasi terhadap patogen non target. Pembuatan suspense dimaksudkan karena isolasi pada bakteri ini akan dilakukan dengan cara streak . Kelebihan metode ini adalah dapat segera diketahui adanya kontaminasi. Selain itu, alat-alat yang digunakan dalam isolasi ini harus di sterilisasi dulu utnuk menghindari kontaminasi.

Fusarium oxysporum

Pada isolasi jamur, batang tomat yang sudah dipotong-potong dimasukkan ke dalam kloroks. Hal ini bertujuan agar batang tomat menjadi steril dari jamur non target. Penggunaan kloroks dilakukan karena kloroks digunakan untuk mendisinfeksi pada jaringan yang tebal, seperti batang tomat tersebut. Sehingga jasad-jasad sekunder dapat dibersihkan. Batang diambil antata batang yang sehat dan batang yang sakit. Hal ini dilakukan agar jamur tersebut masih mendapatkan nutrisi dari jaringan tanaman yang sehat.

Nama patogen : Fusarium oxysporum

Nama inang     : Solanum lycopersicum

Pengamatan secara mikroskopis koloni F. oxysporum dilakukan dengan menggunakan mikroskop menggunakan biakan murni hasil isolasi. Pengamatan mikroskopis dilakukan  secara  langsung  dengan  melihat  perkembangan masing-masing koloni yaitu  mulai  dari diameter  koloni, warna  koloni, miselium udara, dan profil koloni.Hasil pengamatan isolatisolat Fusarium sp secara mikroskopis adalah sebagai berikut:

Pengamatan mikroskopis F. oxysporum

Sumber: Dokumentasi pribadi. Perbesaran 10×40

Hasil  pengamatan  menunjukkan bahwa isolat  yang berhasil  diisolasi dapat  diidentifikasi  berdasarkan  karakter  mikroskopis  yang  dimunculkan, antara  lain  diameter  koloni,  warna  koloni,  miselium  udara  dan  profil  koloni. Diameter koloni isolat berpengaruh pada proses pembentukan konidia, yang  pada  akhirnya  juga  akan  mempengaruhi  tingkat  perkembangan cendawan Fusarium sp. Pertumbuhan koloni isolat cendawan berikutnya akan tetap  terjadi  meskipun  pertumbuhannya  lambat,  hal  ini  dikarenakan  konidia merupakan  alat  perkembangan  pada  kelas  Deuteromycetes  yang  dihasilkan secara  aseksual,  sehingga  jumlahnya  menentukan  perkembangan  pada generasi berikutnya, dan dalam kondisi yang menguntungkan jumlah konidia cenderung  berbanding  lurus  dengan  laju  perkembangan cendawan Fusarium (Burnett and Hunter, 1988).

Penampakan warna koloni isolat Fusarium sp pada masing-masing kelompok  praktikum   berbeda-beda.  Perbedaan  warna koloni  isolat  ini didasarkan  pada  warna  yang  muncul  pada  bagian  dasar  koloni  dan  bagian permukaan atas koloni. Warna koloni  yang  tampak adalah  krem  halus,  ungu,  merah  jambu, putih  seperti  kapas,  putih  krem.

Menurut Semangun (2001), pigmen hifa Fusarium sp umumnya bervariasi, berpigmen hialin  (tidak  berwarna),  jika  berwarna  berarti  jamur  tersebut  berpigmen, umumnya adalah pigmen melanin  yang terikat pada dinding sel hifa.  Dalam Sastrahidayat (1989), jamur yang ditumbuhkan pada medium PDA mula-mula miselium berwarna putih, semakin tua warna menjadi krem atau kuning pucat, dalam  keadaan  tertentu  berwarna  merah  muda  agak ungu dengan miselium bersekat  dan  membentuk  percabangan.  Pengaruh  cahaya  terhadap pertumbuhan  hifa  vegetatif  jamur  biasanya  berupa  penghambatan  ataupun pemicuan  pertumbuhannya  sehingga  cahaya  dapat  berpengaruh  pada konsentrasi produksi pigmen dan pertumbuhan hifa. Secara umum cendawan yang ditumbuhkan pada kondisi terang terus akan mempunyai miselium udara yang  lebih  banyak  dibandingkan  pada  kondisi  yang  lain.  Hal  ini  disebabkan adanya sifat jamur yang tumbuh mengikuti arah cahaya (fototropi). Secara umum, isolat Fusarium sp secara  mikroskopis  memiliki  bentuk  mikrospora  ovoid yang umumnya  memiliki  0-1  sekat sedangkan bentuk  mikrospora umumnya panjang ujungnya  meruncing dan memiliki  2-6 sekat. Pengamatan isolat jamur Fusarium sp secara mikroskopis adalah dengan mengamati ukuran dan bentuk konidia/spora isolat,dan kerapatan spora Fusarium sp. Bentuk makrokonidia  dan  mikrokonidianya  secara  umum  adalah sama  yaitu berbentuk  ovoid. (mikrokonidia) dan  berbentuk memanjang dengan ujung meruncing (makrokonidia).

Dalam Domsch et  al.,  (1993),  makrokonidium  berbentuk  gelendong,  lonjong,  ujung  tajam, mempunyai 3-5 sekat, dan ukuran sporanya [(20-27) – (46-60) x (3,5-4,5)] µm. Mikrokonidia tersusun  1  sel,  transparan,  tersusun  membentuk  rantai  basipetal  yang  panjang.  Menurut Agrios (1996) bahwa mikrokonidium mempunyai satu atau dua sel, terdapat dalam jumlah yang banyak, dan sering dihasilkan pada semua kondisi. Jenis spora ini banyak dijumpai di dalam  jaringan  tanaman  terinfeksi.  Sementara  itu,  makrokonidium  mempunyai dua sampai lima sel dan berbentuk lengkung. Jenis spora ini umumnya banyak dijumpai di permuakaan tanaman yang mati karena infeksi jamur ini.

Cendawan  Fusarium oxysporum  mempunyai  3  alat  reproduksi,  yaitu mikrokonidia  (terdiri  dari  1-2  sel),  makrokonidia  (3-5  septa),  dan klamidospora  (pembengkakan  pada  hifa).  Makrokonidia  berbentuk melengkung, panjang dengan ujung yang mengecil dan mempunyai satu atau tiga buah sekat. Mikrokonidia merupakan konidia bersel 1 atau 2, dan paling banyak  dihasilkan  di  setiap  lingkungan  bahkan  pada  saat  patogen  berada dalam  pembuluh  inangnya.  Makrokonidia  mempunyai  bentuk  yang  khas, melengkung seperti bulan sabit, terdiri dari 3-5 septa, dan biasanya dihasilkan pada  permukaan  tanaman  yang  terserang  lanjut.  Klamidospora  memiliki dinding  tebal,  dihasilkan  pada  ujung  miselium  yang  sudah  tua  atau  didalam makrokonidia, terdiri dari 1-2 septa dan merupakan fase atau spora bertahan pada  lingkungan  yang  kurang  baik. Miselium yang dihasilkan oleh cendawan patogen penyebab penyakit layu  ini  mulanya  berwarna  putih  keruh,  kemudian  menjadi  kuning  pucat, merah muda pucat sampai keunguan(Susetyo, 2010).

Cendawan ini tumbuh  dari  spora  dengan  struktur yang menyerupai benang,  ada  yang  mempunyai  dinding  pemisah  dan  ada  yang  tidak.  Benang secara  individu  disebut  hifa,  dan  massa  benang  yang  luas  disebut  miselium. Miselium  adalah  struktur  yang  berpengaruh  dalam  absorbsi  nutrisi secara terus-menerus  sehingga  cendawan dapat  tumbuh  dan  pada  akhirnya menghasilkan  hifa  yang  khusus  menghasilkan  spora  reproduktif  (Foth,  1991 cit. Saragih  2009).  Miselium terutama  terdapat  di  dalam  sel  khususnya  di dalam  pembuluh,  juga  membentuk  miselium  yang  terdapat  di  antara  sel-sel, yaitu  di  dalam  kulit  dan  di  jaringan  parenkim  di  dekat  terjadinya  infeksi. Fusarium hidup sebagai parasit dan saprofit pada berbagai tanaman terutama pada bagian  pembuluhnya,  sehingga  tanaman  menjadi  mati  karena  toksin (Sastrahidayat, 1989).

Stadium terakhir merupakan stadium  yang tahan pada segala cuaca. Cendawan menginfeksi akar terutama melalui luka, menetap dan berkembang di berkas pembuluh. Setelah jaringan pembuluh mati dan keadaan udara  lembab,  cendawan  membentuk  spora  yang  berwarna  putih  keunguan pada  akar  yang  terinfeksi.  Penyebaran spora dapat  terjadi  melalui  angin,  air pengairan dan alat pertanian (Anonim, 2009).

Fisiologi  dari  jamur  Fusarium sp  yaitu  bermula  dari  adanya pembelahan  reduksi  dan  penentuan  jenis  kelamin  inti yang akan  terjadi jika zigot  telah  mengalami  waktu  istirahat.  Dari  zigot  itu  tumbuh  suatu  benang dengan  sporangium  pada  ujungnya.  Sporangium  ini  berlainan  dengansporangium  biasa,  sporangium  ini  hanya  mempunyai  satu  inti  saja,  sebagian bersifat  positif  (+)  dan  sebagian  bersifat  negatif (-).  Miselium  yang  tumbuh dari spora ini hanya mempunyai inti yang sama jenis kelaminnya, oleh sebab itu spora tadi sebagian akan menjadi miselium positif (+) dan negatif (-). Pada marga  ini  umumnya  sporangiumnya  memiliki  banyak  spora  akan  tetapi terdapat juga sporangium yang hanya mengandung sedikit spora, bahkan ada yang  setiap  sporangium  yang  hanya  mengandung  satu  inti  saja  yang dindingnya berdekatan dengan dinding sporangium (Anonim, 2009).

Cendawan Fusarium sp mengalami 2 fase dalam siklus hidupnya yakni patogenesa dan saprogenesa. Patogen ini hidup sebagai parasit pada tanaman inang  yang  masuk  melalui  luka  pada  akar  dan  berkembang  dalam  jaringan tanaman  yang  disebut  sebagai  fase  patogenesa  sedangkan  pada  fase saprogenesa  merupakan  fase  bertahan  yang  diakibatkan  tidak  adanya  inang, hidup sebagai saprofit dalam tanah dan sisa-sisa tanaman dan menjadi sumber inokulum  untuk  menimbulkan  penyakit  pada  tanaman  yang  lain.  Agrios (1997)  dalam Susetyo  (2010),  mengemukakan  bahwa  patogen  ini  dapat menimbulkan  gejala  penyakit  karena  mampu  menghasilkan  enzim,  toksin, polisakarida dan antibiotik dalam jaringan tanaman. Cendawan mengadakan infeksi pada akar terutama melalui luka-luka. Bila  luka  telah  menutup,  patogen  berkembang  sebentar  dalam  jaringan parenkim,  lalu  menetap  dan  berkembang  dalam  berkas  pembuluh. Huda (2010) menyebutkan  bahwa cendawan  Fusarium  tidak  dapat  menginfeksi batang  atau  akar-rimpang  meskipun  bagian  ini  dilukai.  Nematoda (Radopholus  similis)  membantu  dalam  infeksi  Fusarium  sp.  Penularan penyakit  melalui  bibit  terinfeksi,  pemindahan  bibit,  angin,  air,  tanah terinfestasi, permukaan air drainase, pembubunan, luka karena serangga, alat pertanian,  dan  lain-lain  (Booth,  1985  dan  Semangun,  2001).  Maria  et  al (2004) cit.

Winarsih  (2007)  menerangkan  bahwa  inokulum  patogen  dapat masuk  melalui  akar  dengan  penetrasi  langsung  atau  melalui  luka.  Di  dalam jaringan  tanaman,  patogen  dapat  berkembang  secara  interseluler  maupun intraseluler.  Klamidospora  dapat  berkecambah  bila  ada  rangsangan  eksudat akar  yang mengandung gula dan asam amino, juga dapat dirangsang dengan penambahan  residu  tanaman  ke  dalam  tanah .  Klon tanaman yang rentan tidak dapat ditanam kembali hingga 30 tahun pada tanah yang  sudah  terinfeksi Fusarium sp.  Di  dalam  tanah,  cendawan Fusarium sp dapat  bertahan  sebagai  parasit  pada  tanaman  gulma  yang  bukan  inangnya. Ujung akar atau bagian permukaan rizoma yang luka merupakan daerah awal utama dari infeksi (Sastrahidayat,  1986).

Gangguan  pada  jaringan  xylem,  tanaman  menunjukkan  gejala  layu, daun  menguning,  dan  akhirnya  mati.  Gejala  layu  seringkali  disertai  gejala klorosis  dan  nekrosis  pada  daun. Gejala  yang  terjadi  pada  tanaman cabai merah yang terserang penyakit layu fusarium adalah menguningnya daun dari tepi daun selanjutnya menjadi coklat dan mati secara perlahan hingga tulang daun.  Menguning  dan  matinya  daun-daun  dimulai  dari  daun  yang  lebih  tua. Hal ini disebabkan patogen menginfeksi tanaman melalui luka pada akar dan masuk  kedalam  jaringan  xylem  melalui  aktivitas  air  sehingga  merusak  dan menghambat  proses  menyebarnya  air dan  unsur  hara  keseluruh  bagian tanaman  terutama  pada  bagian  daun  yang  tua.

Tobacco Mosaic Virus (TMV)

Pada isolasi virus, digunakan tanamn Chenopodium amaranticolor karena tanaman ini adalah tanaman yang baik untuk digunakan sebagai tanaman indicator. Hal ini karena tanaman ini merupakan tanaman yang rentan. Pada tanaman C. amaranticolor, gejala lesion local biasanya berkembang dengan baik pada daun yang telah dewasa. Karborundum memiliki partikel yang kecil. Ketika dioleskan pada daun, maka daun akan mengalami luka-luka kecil, sehingga luka tersebut digunakan untuk jalan masuknya virus ke jaringan tanaman. Penggunaan buffer fosfat pada saat penggerusan adalah agar partikel virus tetap dapat virulen, karena penggerusan ini menyebabkan virus terdisleksi dari sel daun tembakau. Dalam praktikum ini, virus TMV diidentifikasi dengan melihat gejala yang tampak pada daun tembakau yang bergelaja mosaic.

Virus mosaik tembakau (Tobacco mosaic virus, TMV) adalah virus yang menyebabkan penyakit pada tembakau dan tumbuhan anggota suku terung-terungan (Solanaceae) lain. Gejala yang ditimbulkan adalahbercak-bercak kuning pada daun yang menyebar, seperti mosaik.

Tembakau virus mosaik memiliki tampilan seperti batang. kapsid adalah terbuat dari 2130 molekul protein mantel (lihat gambar ke kiri) dan satu molekul basa RNA genom 6.400 panjang. Protein mantel merakit diri ke dalam batang seperti struktur heliks (16,3 protein per helix putar) di sekitar RNA yang membentuk struktur loop jepit rambut (lihatmikrograf elektron di atas). Monomer protein terdiri dari 158 asam amino yang dirakit menjadi empat-alfa heliks utama, yang bergabung dengan loop terkemuka proksimal dengan sumbu virion tersebut. Virion ~ 300 nm panjang dan ~ 18 nm dalam diameter. microphotographs elektron negatif bernoda menunjukkan saluran batin yang berbeda ~ 4 nm. RNA terletak di radius ~ 6 nm dan dilindungi dari tindakan enzim seluler oleh mantel protein Ada tiga RNA nukleotida per monomer protein. X-ray difraksi serat struktur virus utuh berdasarkan kerapatan elektron 3,6 Å peta pada resolusi(Akin dan Nurdin, 2003).

Gejala yang disebabkan oleh virus mosaik tembakau (TMV) adalah agak tergantung pada tanaman inang dan dapat termasuk mosaik, bintik-bintik (gambar 1 dan 2), nekrosis (gambar 3 dan 4), pengerdilan, daun keriting, dan menguning dari jaringan tanaman. Gejala tersebut sangat tergantung pada umur tanaman terinfeksi, kondisi lingkungan, strain virus, dan latar belakang genetik dari tanaman inang, temperatur, kondisi cahaya, faktor gizi, dan stres air(Akin dan Nurdin, 2003)

Karena virus tidak memiliki metode aktif untuk masuk ke sel tanaman, mereka harus mengandalkan menyebabkan luka mekanis, perbanyakan vegetatif tanaman, mencangkok, biji, serbuk sari, dan sedang dilakukan pada bagian mulut serangga mengunyah. virus mosaik tembakau ini paling sering dimasukkan ke dalam tanaman melalui luka kecil yang disebabkan penanganan dan oleh serangga pencucuk penghisap bagian-bagian tanaman(Akin dan Nurdin, 2003).

Nama patogen : TMV (Tobacco Mosaik Virus)

Nama inang     : Nicotiana tabacum

KESIMPULAN
  1. Isolasi adalah cara untuk memisahkan atau memindahkan mikroba tertentu dari lingkungannya, sehingga diperoleh kultur murni atau biakan murni.    Isolasi jamur dan bakteri dilakukan dengan cara mengambil jamur dan bakteri tersebut dari bagian tanaman yang menunjukkan gejala sakit kemudian ditumbuhkan kemedium untuk memeperoleh biakan murni.
  2. Inokulasi virus dilakukan dengan cara mengekstraksi virus dari bagian tanaman yang menunjukkan gejala sakit   , kemudian ditularkan ke tanaman yang sehat.
  3. Bakteri yang diidentifikasi dalam praktikum ini merupakan bukan bakteri dari R. solanacearum. Jamur yang diidentifikasi dalam praktikum ini adalah jamur F. oxysporum. Virus yang diidentifikasi secara visual dalam praktikum ini merupakan jenis virus TMV.
DAFTAR PUSTAKA

Agrios GN. 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Akin, H.M. dan M. Nurdin. 2003. Pengaruh infeksi TMV (Tobacco Mosaic Virus) terhadap pertumbuhan vegetative dan generative beberapa varietas cabai merah (Capsicum annum l.). J. Hama dan Pneyakit Tumbuhan Tropika. 3:10-12.

Barnet  dan  Hunter.  1988. Illustrated  Genera  of  Imperfect  Fungi.  West  Virginia  : Burgress Publishing Company

Booth S. 1985. The Genus Fusarium. England. The Lavenham Press Ltd.

Burrow,W.1959.Textbook of Microbiology.W.B. Saunders Company:Philadelpia

Chang, T.H., Lin, Y.H., and Chen, K.S. 2014. Cell wall renforcement in watermelon shoot base related to its resistance to fusarium wilt caused by Fusarium oxysporum. Journal of Agriculture Science 1-10.

Denny,  T.P., and  A.C.  Hayward.  2001.  Ralstonia solanacearum. In: Schaad, N.W., J.B. Jones, and W. Chun.  Laboratory  Guide  for  Identification  of  Plant Pathogenic  Bacteria.  Third  Edition.  APS  Press, St.Paul Minnessota.

Domsch K.H., T.H Anderson. , W. Gams. 1993. Compendium of Soil Fungi. IHW-Velag I:-

Huda,  M.  2010.  Pengendalian  Layu  Fusarium  pada  Tanaman  Pisang  (Musa  paradisiaca L.)  secara  Kultur  Teknis  dan  Hayati.  Skripsi.  Fakultas  Pertanian.  Institut  Pertanian Bogor.

Kelman,   A.  1953.  The  bacterial  wilt  caused  by Pseudomonas  solanacearum.  A  Literature  review and Bibiography. Tech. Bull. N. Carolina

Lay, W. 1992. Mikrobiologi . Jakarta : Rajawali Pers.

Machmud, M. and Y. Suryadi. 2008. Detedtion and identification of Ralstonia solanacearum strains using the indirect Elisa technique. Indonesia Journal of Agriculture 1:13-21.

Saragih,  S.D.  2009.  Jenis-jenis  Fungi  pada  Beberapa  Tingkat  Kematangan  Gambut.  Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatra Utara.

Sastrahidayat, I. R. 1986. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Usaha Nasional. Surabaya.

Semangun, H. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. UGM Press. Yogyakarta.

Semangun, H. 2001. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Susetyo, Aryo Pratomo. 2010. Hubungan Keanekaragaman Cendawan Rizosfer Tanaman Pisang Anonim.  2009.  Hama,  Penyakit  Dan  Defisiensi  Pada  Tanaman  Cabai. http://indonesiachili.com/pestanddiseasesmanagement.htm. Diakses tanggal 1 Desember 2014.

Waluyo, L. 2007. Mikrobiologi Umum . Malang : UMM Press.

Wilkinson, L. 2012. The development of the virus concept as reflected in corpora on individual pathogens – Lesson of the plant viruses -Tobacco Mosaic Virus. Medical History 20: 111-134.

Winarsih, S.  2007. Pengaruh  bahan  organik  pada  pertumbuhan Gliocladium  virens dan  daya antagonisnya terhadap Fusarium oxysporum secara in-vitro. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. 3:386 – 390

Tags: , , , , ,

LAPORAN PRAKTIKUM PATOGEN TUMBUHAN: ANALISIS VIRUS RGSV DAN R DENGAN MENGGUNAKAN PCR

Posted by miftachurohman on January 23, 2018
Laporan Praktikum, Patogen Tumbuhan / No Comments
LAPORAN PRAKTIKUM PATOGEN TUMBUHAN
ANALISIS VIRUS RGSV DAN R DENGAN MENGGUNAKAN PCR

Oleh:
Miftachurohman
12/334974/PN/12969

Asisten:
Destania Putri
Erwin Najamuddin
Niken R Paramita
Rusmi S. W.

LABORATORIUM PENYAKIT TERPADU
JURUSAN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014
TUJUAN

Mengetahui teknik analisis molekuler dengan menggunakan PCR

TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit tungro adalah salah satu penyakit penting yang menyebabkan kehilangan hasil pada tanaman padi  di  beberapa  negara  Asia  Tenggara,  termasuk Indonesia.  Penyakit ini disebabkan oleh dua jenis  virus  tungro,  yaitu  rice  ragged  stunt  virus (RRSV) dan  rice grassy stunt virus  (RGSV). Kedua virus tersebut ditularkan oleh wereng colat, Nilaparvata lugens(Chettanachi et al. 1987).

Kesulitan yang dihadapi di dalam mengidentifikasi  RGSV dengan hanya berdasarkan pada gejala  luar  tanaman  sakit  adalah  sukarnya  mem bedakan gejala yang disebabkan oleh RRSV  dengan dengan gejala yang disebabkan oleh virus lain pada tanaman padi(Frischmuth, 2002). Untuk mengatasi kesulitan  tersebut berbagai pendekatan telah dikembangkan, misalnya  implementasi bioteknologi berbasis biologi  molekuler  seperti  teknik  hibridisasi  asam  nuk leat  dengan  menggunakan  metode  perpanjangan rantai polimerasi (polymerase chain reaction, PCR) (Raga dkk2004).

Aplikasi PCR sangat membantu dalam pengelolaan  penyakit  tungro  karena  dapat  digunakan untuk: diagnosis penyakit tungro, deteksi dini infeksi virus tungro dan  keberadaan vektor yang infektif,  identifikasi  dan  karakterisasi  strain  virus,  deteksi  munculnya  strain  virus  tungro  yang  baru, karakterisasi ketahanan varietas terhadap virus   tungro, dan perakitan varietas tahan penyakit tungro me lalui  upaya  pemuliaan  konvensional  dan  rekayasa genetik,  seperti  tanaman  transgenik  tahan  tungro (Praptana dan Yasin 2008).

Reaksi berantai polymerase (Polymerase Chain Reaction, PCR) adalah suatu metode enzimatis untuk amplifikasi DNA dengan cara in vitro.  PCR ini pertama kali dikembangkan  pada  tahun  1985  oleh  Kary  B.  Mullis.  Amplifikas  DNA  pada  PCR dapat  dicapai  bila  menggunakan  primer  oligonukleotida  yang  disebut  amplimers. Primer  DNA  suatu  sekuens  oligonukleotida  pendek  yang  berfungsi  mengawali sintesis  rantai  DNA.  PCR  memungkinkan  dilakukannya  pelipatgandaan  suatu  fragmen   DNA.  Umumnya  primer  yang  digunakan  pada  PCR  terdiri  dari  20 -30 nukleotida. DNA template (cetakan) yaitu fragmen DNA yang akan dilipatgandakan dan  berasal  dari  patogen  yang  terdapat  dalam  spesimen  klinik.  Enzim  DNA polimerase  merupakan  enzim  termostabil  Taq  dari  bakteri  termofilik  Thermus aquaticus.  Deoksiribonukleotida  trifosfat  (dNTP)  menempel  pada  ujung  3’  primer ketika proses pemanjangan dan ion magnesium menstimulasi aktivasi polymerase(Yusuf, 2010)

(Polymerase  Chain  Reaction,  PCR)  adalah  suatu  metode  enzimatis  untuk amplifikasi  DNA  dengan  cara  in  vitro.  Pada  proses  PCR  diperlukan   beberapa komponen utama, yaitu  DNA cetakan,    Oligonukleotida primer,  Deoksiribonukelotida trifosfat  (dNTP),  Enzim  DNA  Polimerase,  dan  Komponen  pendukung  lain  adalah senyawa  buffer.  Pada  proses  PCR  menggunakan  menggunakan  alat  termosiklus. Sebuah  mesin  yang  memiliki  kemampuan  untuk  memanaskan  sekaligus mendinginkan  tabung  reaksi  dan  mengatur  temperatur  untuk  tiap  tahapan  reaksi. Ada  tiga  tahapan  penting  dalam  proses  PCR  yang  selalu  terulang  dalam  30-40 siklus  dan  berlangsung  dengn  cepat  yaitu  denaturasi,  anneling,  dan  pemanjangan untai  DNA.  Produk  PCR  dapat  diidentifikasi  melalui  ukurannya  dengan menggunakan elektroforesis gel agarosa. Teknik PCR dapat dimodifikasi ke dalam beberapa jenis diantaranya : PCR-  RFLP, PCR –  RAPD, nested-  PCR,QuantitativePCR, RT- PCR dan inverse – PCR. Keunggulan PCR dikatakan sangat tinggi. Hal ini didasarkan atas spesifitas, efisiensi dan keakuratannya(Yuwono dan Tribowo, 2006).

METODE PRAKTIKUM

Praktikum Patogen Tumbuhan Acara 5 dengan judul  Deteksi Molekular RNA Virus pada Vektor dilaksanakan pada hari Jumat sebanyak dua kali pengamatan yaitu pada tanggal, 14 dan 21 November 2014 di laboratorium integrated of plant diseases , Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Alat yang digunakan dalam praktikum ini diantaranya, tube 1.5 ml, tube micropastle, tube filtercolumn, vortex, mesin sentrifugasi, micro pipet, sarung tangan, PCR, mesin elektroforesis, uv transluminator. Adapun bahan yang digunakan adalah wereng coklat, RB buffer, merkapto etanol, etanol, buffer W1, wash buffer, RNAse free water, kapataq extra hot start, kapatq buffer, MgCl2, dNTP, primer (F), Primer (R), taq polymerase, air, CDNA, gel agarose 1.5%, air 3.5 mikroliter, 5x reaction buffer 2 mikroliter, ribolock 0.5 mikroliter, 10 mM dNTP mix 1 mikroliter, rever aid 0.5 mikroliter, oligo primer 0.5 mikroliter, RNA template 2 mikroliter.

Praktikum dilakukan dalam empat tahap, yaitu ekstraksi wereng (RNA virus), RT PCR, PCR dan elektroforesis. Pada tahap ekstraksi wereng (RNA virus) dilakukan empat tahap inti, yaitu: 1) Lisis sel yang terdiri dari penggerusan 3 ekor wereng sebanyak 25 gr menggunakan 400 mikroliter RB buffer dan 4/8 mikroliter beta-mercaptoetanol di dalam tube 1.5 mikroliter menggunakan mikropastle lalu divortek. Hasil vortek diinkubasi pada suhu ruang selama 3 menit. Lalu supernatan dipindahkan ke filter column sebanyak 200-250 mikroliter. Kemudian disentrifuge 1000g selama 30 detik. Setelah itu supernatan dipindah hati-hati kedalam tube 1.5ml (jangan sampai ada endapan yang terikut). 2)Presipitasi sel yang terdiri dari  hasil dari tahap lisis sel dengan 400 mikroliter etanol 70% steril divortek untuk dihomogenkan. Hasilnya dipindahkan ke RB column kemudian di sentrifuge 9690g selama 2 menit. Supernatan dibuang. 3) Pencucian adalah tahap untuk menghilangkan sisa etanol, DNA dan protein yang terdiri dari 400 mikroliter buffer W1 disentifuge 9690 selama 1 menit. Supernatan dibuang ditambah 600 mikroliter wash buffer yang disentrifuge 9690g selama 1 menit. Tahap ini dilakukan sebanyak 2 kali. Kemudian supernatan dibuang lalu di dry sentrifuge 9690g selama 5 menit. 4) RNA Elution yang terdiri dari RB column dipindahkan ke tube 1.5 ml ditambah 30 mikroliter RNAse freewater. Kemudian didiamkan selama 2 menit lalu disentrifuge 9690 selama 2 menit. Lalu didapatkanlah tube dengan RNA total wereng. Setelah tahap ekstraksi wereng masuk ke tahap RT PCR yaitu tahap reverse transkiptase dari RNA menjadi DNA. Kemudian dilakukanlah PCR.

Siklus PCR terdiri dari denaturasi awal pada suhu 94oC selama 3 menit. Pada saat ini, molekul DNA cetakan mengalami denaturasi sehingga kedua untaiannya terpisah. Pemisahan untaian ini diperlukan agar primer dapat menempel. Setelah beberapa menit pada suhu denaturasi, suhu alat diturunkan sehingga mencapai suhu yang sesuai untuk penempelan primer pada DNA cetakan. Suhu yang digunakan pada siklus ini adalah 53oC. Proses penempelan primer memerlukan waktu 1 menit, selanjutnya suhu alat dinaikkan ke suhu yang optimum yaitu 72oC untuk aktivitas polimerisasi DNA. Pada suhu inilah terjadi proses polimerisasi (sintesis) DNA baru dengan adanya aktivitas DNA polimerase, dNTP, primer dan DNA cetakan. Proses ini berlangsung selama 2 menit. Setelah proses polimerisasi, kemudian dilakukan lagi siklus seperti semula, yaitu dengan menaikkan suhu menjadi 94oC (denaturasi), kemudian diturunkan menjadi 53oC (penempelan primer), dan kemudian dinaikkan lagi menjadi 72oC (polimerisasi). Siklus perubahan suhu ini dilakukan berulang-ulang sekitar 30-40 kali. Hasil PCR kemudian dianalisis menggunakan elektroforesis gel agarose.

HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL

Keterangan

M         : Marker (100 Bp)

SHR     : wereng sehat dengan primer RRSV

SHG     : Wereng Sehat dengen Primer RGSV

SKR     : Wereng sakit dengan primer RRSV

SKG     : Wereng sakit dengan Market RGSV

PEMBAHASAN

PCR adalah singkatan dari Polymerase Chain Reaction. Teknik ini merupakan teknik perbanyakan DNA secara in vitro. Teknik ini memungkinkan adanya amplifikasi antara dua region DNA yang diketahui, hanya di dalam tabung reaksi, tanpa perlu memasukkannya ke dalam sel (in vivo). Dalam sistem kerjanya, PCR dilandasi oleh struktur DNA. Dalam keadaan nativenya, DNA merupakan double helix, yang terdiri dari dua buah pita yangberpasangan antiparalel antara satu dengan yang lain dan berikatan dengan ikatan hidrogen. Ikatanhidrogen terbentuk antara basa-basa yang komplementer, yaitu antara basa Adenin (A) dengan Thymine (T), dan Guanine (G) dengan Cytosin (C). Basa-basa itu terikat dengan molekul gula, deoksiribosa, dan setiap satu molekul gula berikatan dengan molekul gula melalui ikatan fosfat.

Terdapat tiga tahap utama di dalam setiap siklusnya, yaitu :

  1. Denaturasi: Selama  proses  denaturasi, double strandedDNA akan membuka menjadi  single strandedDNA. Hal ini disebabkan karenasuhu denaturasi yang tinggi menyebabkan putusnya ikatan hidrogen diantara basa-basa yang komplemen. Pada tahap ini, seluruh reaksi enzim tidak berjalan, misalnya reaksi polimerisasi pada siklus yang sebelumnya.
  1. Annealing: Primer akan menuju daerah yang spesifik, dimana daerah tersebut memiliki komplemen dengan primernya. Pada proses annealing ini, ikatan hidrogen akan terbentuk. Selanjutnya, DNA polymerase akanberikatan sehingga ikatan hidrogen tersebut akan menjadi sangat kuat dan tidak akan putus kembali apabila dilakukan reaksi polimerisasi selanjutnya, misalnya pada 72oC.
  1. Reaksi polimerisasi (extension): Umumnya, reaksi polimerisasi atau perpanjangan rantai ini, terjadi pada suhu 72oC. Primer yang telah menempel tadi akan mengalami perpanjangan dengan dNTP yang komplemen pada sisi 3’nya.

Komponen – komponen dalam reaction mixture PCR yaitu H2O steril, fungsinya sebagai pelarut campuran. Bufer berfungsi untuk mengkondisikan reaksi agar berjalan optimum dan menstabilkan enzim DNA polymerase. Bufer biasanya terdiri atas bahan-bahan kimia. Komponen lainnya yaitu dNTP (deoxynucleoside triphosphate) sebagai pembentuk basa komplementer dan penyusun DNA, terdiri atas 4 macam sesuai dengan basa penyusun DNA, yaitu dATP, dCTP, dGTP dan dTTP. Primer berfungsi untuk menginisiasi sintesis DNA pada sekuens target yang spesifik dan membatasi reaksi polimerisasi DNA. Primer terdiri dari dua macam, yaitu primer forward dan primer reverse. Primer forward untuk menginisiasi sintesis untai DNA dari ujung 5’ ke ujung 3’, sedangkan primer reverse menginisiasi sintesis DNA dari ujung 3’ ke ujung 5’. Kation divalen terdiri dari ion logam bivalen (umumnya Mg2+) dan ion logam monovalen (K+), berfungsi sebagai kofaktor bagi enzim DNA polymerase. Tanpa ion-ion tersebut enzim DNA polymerase tidak dapat bekerja. DNA template adalah DNA yang memiliki sekuens target untuk penempelan primer, berfungsi sebagai cetakan DNA yang akan diamplifikasi. Komponen yang terakhir yaitu enzim DNA polymerase berfungsi untuk membaca kode DNA serta menghubungkan pasangan nukleotida dalam menghasilkan salinan DNA.

Untuk mendapatkan hasil PCR yang optimal perlu dilakukan optimasi proses PCR. Secara umum optimasi proses PCR dapat dilakukan dengan cara memvariasikan kondisi yang digunakan pada proses PCR tersebut. Optimasi kondisi berkaitan erat dengan faktor-faktor seperti jenis polimerase DNA; suhu; konsentrasi, dalam hal ini berkaitan dengan dNTPs, MgCl2 dan DNA polimerase; buffer PCR dan waktu.

  1. Jenis polimerase DNA: Kemampuan mengkatalisis reaksi polimerasi DNA pada proses PCR yang terjadi pada tahap ekstensi untuk DNA rantai panjang akan berbeda dengan untuk DNA rantai pendek. Penggunaan jenis DNA polimerase tergantung pada panjang DNA target yang akan diamplifikasi. Untuk panjang fragmen DNA lebih besar dari tiga kilobasa akan memerlukan jenis polimerase dengan aktivitas tinggi.
  1. Konsentrasi dNTPs, MgCl2, polimerase DNA: Konsentrasi optimal dNTPs ditentukan oleh panjang target DNA yang diamplifikasi. Untuk panjang target DNA kurang dari satu kilobasa biasanya digunakan konsentrasi dNTPs sebanyak 100 uM, sedangkan untuk panjang target DNA lebih besar dari satu kilobasa diperlukan konsentrasi dNTPs sebanyak 200 uM. Umumnya konsentrasi optimal MgCl2 berkisar antara 1,0 – 1,5 mM. Konsentrasi MgCl2 yang terlalu rendah akan menurunkan perolehan PCR. Sedangkan konsentrasi yang terlalu tinggi akan menyebabkan akumulasi produk non target yang disebabkan oleh terjadinya mispriming. Jumlah polimerase DNA yang digunakan tergantung pada panjang fragmen DNA yang akan diamplifikasi. Untuk panjang fragmen DNA kurang dari dua kilobasa diperlukan 1,25 – 2 unit per 50 uL campuran reaksi, sedangkan untuk panjang fragmen DNA lebih besar dari dua kilobasa diperlukan 3 – unit per 50 uL campuran reaksi.
  1. Suhu: Pemilihan suhu pada proses PCR sangat penting karena suhu merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan suatu PCR. Dalam hal ini suhu berkaitan dengan proses denaturasi DNA templat, annealingdan ekstensi primer. Suhu denaturasi DNA templat berkisar antara 93 – 95 o C, ini semua tergantung pada panjang DNA templat yang digunakan dan juga pada panjang fragmen DNA target. Suhu denaturasi yang terlalu tinggi akan menurunkan aktivitas polimerase DNA yang akan berdampak pada efisiensi PCR. Selain itu juga dapat merusak DNA templat, sedangkan suhu yang terlalu rendah dapat menyebabkan proses denaturasi DNA templat tidak sempurna. Pada umumnya suhu denaturasi yang digunakan adalah 94 o Secara umum suhu annealingyang digunakan berkisar antara 37 – 60 o Pemilihan suhu annealingberkaitan dengan Tm primer yang digunakan untuk proses PCR. Suhu annealingyang digunakan dapat dihitung berdasarkan (Tm – 5) o C sampai dengan (Tm + 5)o C. Dalam menentukan suhu annealingyang digunakan perlu diperhatikan adanya mispriming pada daerah target dan nontarget, dan keberhasilan suatu proses PCR akan ditentukan oleh eksperimen. Proses ekstensi primer pada proses PCR selalu dilakukan pada suhu 72 O C karena suhu tersebut merupakan suhu optimum polimerase DNA yang biasa digunakan untuk proses PCR.
  1. Buffer PCR: Buffer PCR yang digunakan berkaitan dengan pH dan kapasitas buffer nya. Dalam perdagangan ada dua jenis buffer PCR yaitu “Low-salt buffer” (pH 8,75 dan kapasitas buffer rendah) dan “High-salt buffer” (pH 9,2 dan kapasitas buffer tinggi). Umumnya buffer PCR tersedia sesuai dengan jenis polimerase DNA nya. Penggunaan jenis buffer ini tergantung pada DNA target yang akan diamplifikasi. Untuk panjang DNA target antara 0 – 5 kilobasa biasanya diperlukan “low-salt buffer” sedangkan untuk panjang DNA target lebih besar dari lima kilobasa digunakan “high-salt buffer”.
  1. Waktu: Pemilihan waktu yang digunakan berkaitan dengan proses denaturasi DNA templat, annealingdan ekstensi primer. Untuk denaturasi DNA templat umumnya dilakukan selama 30 – 90 detik, ini semua tergantung pada DNA templat yang digunakan. Waktu denaturasi yang terlalu lama akan merusak templat DNA dan sekaligus dapat menurunkan aktivitas polimerase DNA. Sedangkan waktu denaturasi yang terlalu pendek akan menyebabkan proses denaturasi tidak sempurna. Penentuan waktu untuk proses annealing berkaitan dengan panjang primer. Untuk panjang primer 18 – 22 basa cukup dengan 30 detik, sedangkan untuk panjang primer lebih besar dari 22 basa diperlukan waktu annealing 60 detik.  Pemilihan waktu ekstensi primer tergantung pada panjang fragmen DNA yang akan diamplifikasi. Secara umum untuk mengamplifikasi setiap satu kilo basa DNA diperlukan waktu 30 – 60 detik. Pada setiap melakukan PCR harus dilakukan juga kontrol positif, ini diperlukan untuk memudahkan pemecahan masalah apabila terjadi hal yang tidak diinginkan. Selain itu juga harus dilakukan terhadap kontrol negative untuk menghindari kesalahan positif semu.

Teknik PCR memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari teknik PCR untuk deteksi molekuler adalah antara lain:

  1. Memiliki spesifisitas tinggi.
  2. Sangat cepat, dapat memberikan hasil yang sama pada hari yang sama.
  3. Dapat membedakan varian mikroorganisme.
  4. Mikroorganisme yang dideteksi tidak harus hidup.
  5. Mudah di set up.

Adapun kekurangan dari teknik PCR adalah anatra lain:

  1. Sangat mudah terkontaminasi.
  2. Biaya peralatan dan reagen mahal.
  3. Interpretasi hasil PCR yang positif belum tervalidasi untuk semua penyakit infeksi (misalnya infeksi pasif atau laten).
  4. Teknik prosedur yang kompleks dan bertahap membutuhkan keahlian khusus untuk melakukannya.

Hasil praktikum ini menunjukkan bahwa pita fragmen DNA yang disinari oleh sinar UV adalah negative karena tidak menunjukkan adanya pergerakan. Pergerakan yang terjadi merupakan pergerakan dari marker DNA pada tepi sel agarose. Jika pita fragmen ini menunjukkan hasil yang positif, maka fragmen DNA RRSV dan RGSV yang terdeteksi akan mencapai migrasi hingga 500bp, dimana fragmen ini merupakan fragmen paling terang yang terdapat pada marker. Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan keadaan ini tejadi, diantaranya adlalah karena penyimpanan ekstraksi DNA yang terlalu lama setelah diisolasi pada praktikum sebelumnya. Selain itu, pada saat menuangkan ektraksi DNA ke sumuran terjadi kesalahan, yaitu penuangan tidak sepenuhnya tertuang ke sumuran. Bahan yang digunakan untuk PCR juga dapat menyebabkan hasil PCR menjadi error, karena terlalu lama penimpanan ataupun terkontaminasi. Selain itu, wereng yang di ekstrak juga mungkin steril, sehingga tidak ditemukan DNA virus target, yaitu virus tungro.

KESIMPULAN

PCR adalah teknologi  canggih yang dapat mendeteksi DNA dengan cara amplifikasi  DNA.  Hasil  pemeriksaan  PCR  dapat  membantu  untuk  menegakkan  diagnosa  sepanjang  pemeriksaan  tersebut  dikerjakan  dengan  cara  yang  benar   dan  sesuai  dengan  standar  internasional.  Keunggulan  PCR  dikatakan  sangat  tinggi.  Hal  ini  didasarkan  atas  spesifitas,  efisiensi  dan  keakuratannya.  Masalah  yang  berkenaan  dengan PCR yaitu biaya PCR yang masih tergolong tinggi

DAFTAR PUSTAKA

Chettanachit,   D.,   W.  Rattanakarn,   and  J. Hongkajorn.  1987.  Studies   of   factors  causing   variation    of   varietal  reaction   to yellow orange leaf virus. Annual Report of  Division  of  Plant       Pathology  and  Microbiology, Deparlment of Agriculture, Bangkok.pp.78-87

Frischmuth, T. 2002. Plant Viruses AS Molecular Pathogens. The Haworth Press Inc, USA.

Praptana,  R.H.  dan  M.  Yasin.  2008.  Peranan bioteknologi  dalam  pengelolaan  penyakit tungro. Iptek Tanaman Pangan. 3: 98-103.

Raga, I.N., W. Murdita, M.P.L. Tri, S.W. Edi, dan  Oman,  2004.  Sistem  surveillance antisipasi ledakan penyakit tungro di Indonesia. Prosiding  Seminar  Nasional  Status  Program  Penelitian  Tungro Mendukung  Keberlanjutan Produksi  Padi  Nasional.  Makassar,  7-8 September 2004

Yusuf, Z.K. 2010. Polymerase Chain Reaction (PCR). Saintek 5: –

Yuwono  dan  Tribowo,  2006.  Teori  dan  Aplikasi  Polymerase  Chain  Reaction, Panduan Eksperimen     PCR untuk Memecahkan Masalah Biologi Terkini, Penerbit Andi, Yogyakarta

Tags: , , , ,