Monthly Archives: June 2018

Daur Hidup Penyakit pada Tanaman Hias

Posted by miftachurohman on June 14, 2018
Tugas Kuliah / No Comments

***

Artikel ini di tulis sebagai tugas mata kuliah

***

Saat ini tanaman hias sudah menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat golongan menengah ke atas. Tanaman hias telah menjadi bagian dari budaya bangsa sejak zaman dahulu kala, seperti pada upacara kelahiran, pesta ulang tahun, perkawinan, upacara adat atau kematian. Tanaman hias juga berfungsi memperindah lingkungan.

Tanaman hias yang memiliki penampilan cantik, unik, dan menarik dengan kualitas yang prima senantiasa dituntut oleh konsumen. Namun upaya memenuhi keinginan konsumen tersebut menghadapi berbagai masalah, terutama organisme pengganggu tumbuhan (OPT) seperti serangga hama, nematoda, bakteri, virus, dan jamur. Hama dan penyakit dapat merusak tanaman secara langsung atau mengganggu penampilan tanaman sehingga kualitasnya menurun atau bahkan tidak layak jual (Balai Penelitian Tanaman Hias, 2009).

Salah satu OPT penting tanaman hias adalah jamur. Jamur pathogen meyebabkan tanaman penampilan tanaman hias menjadi tidak menarik. Hal ini menyebabkan kualitas dan nilai jual tanaman hias menjadi rendah. Selain itu, tanaman hias tersebut menjadi tidak laku untuk di ekspor. Oleh karena itu, kerugian yang ditimbulkan oleh jamur pathogen sangat merugikan bagi prospek tanaman hias.

Jamur  patogen  tumbuhan dapat  masuk ke dalam jaringan  tumbuhan melalui beberapa jalan  antara lain; a) luka; b) lubang-lubang  alami; c) menembus secara langsung permukaan jaringan yang utuh (Anonim, 2009). Jamur pathogen mengembangkan struktur infeksi khusus untuk memasuki tumbuhan inang. Struktur infeksi dibentuk agar jamur dapat melakukan penetrasi terhadap organ, jaringan, sel, dan komponen sel yangberbeda dari tumbuhan. Jamur parasite tumbuhan mengembangkan metode yang berbeda untuk tujuan berbeda pula seperti misalnya untuk menginvasi tumbuhan inang, mendapatkan nutrisi, dan untuk mengkoloni jaringan yang telah diinfeksinya (Gafur, 2003).

Setelah menempel pada permukaan tumbuhan, spora kemudian berkecambah. Saat perkecambahan merupakan factor yang penting bagi kelangsungan hidup spora. Inisiasi dari proses dikendalikan oleh factor fisik dan kimiawi yang berbeda. Dalam hal saat perkecambhan penghambatan diri perkecambahan memegang peran penting. Sesudah perkecambahan, tabung kecambah teryata menempel sangat kuat di permukaan jaringan tumbuhan. tabung kecambah menghasilkan berbagai macam enzim penghancur kutikula dan dinding sel. Kutinasi dianggap enzin yang paling penting bagi perkembangan jamur pada tahap ini (Gafur, 2003).

Apresoria dibentuk pada ujung tabung kecambah sebagai organ untuk menyangga hifa penetrasi. Apresoria menempel kuat pada substrat alami semisal epidermis daun maupun bahan buatan dan berfungsi bagi jamur untuk memasuki jaringan tumbuhan inang. Setelah itu, hifa penetrasi kemudian terbentuk. Selama proses tersebut jamur secara intensif membentuk enzim penghancur yang berperan penting dalam proses penghancuran dinding sel. Enzim tersebut adalah hidrolitik dan enzim litik (Gafur, 2003).

Lubang  alami yang  sering digunakan  sebagai tempat masuk  oleh jamur patogen adalah stomata atau mulut kulit. Dari apresorium ini akan dibentuk tabung penetrasi yang masuk ke  dalam lubang stomata dan di dalam ruang udara akan membengkak menjadi gelembung substoma yang kemudian dari tempat ini akan tumbuh hifa infeksi yang berkembang ke semua arah, membentuk  haustorium dan mengisap makanan dari sel-sel inang, sehingga infeksi sudah terjadi (Anonim, 2009).

Lentisel yang berisi sel-sel berdinding tipis yang lepas-lepas dan di dalamnya terdapat lebih banyak ruang antar sel juga merupakan salah satu tempat yang dapat dilalui oleh patogen untuk masuk ke dalam jaringan selama belum terbentuk gabus di bawahnya.  Patogen yang masuk melalui lentisel akan mendapat perlawanan oleh pembentukan gabus, sehingga agak mirip dengan penetrasi melalui luka (Anonim, 2009).

Jika hifa infeksi mulai menguraikan dinding luar sel epidermis, keseimbangan dalam  sel mulai terganggu. Protoplas mengalami perubahan dalam strukturnya, menjadi lebih kasar dan granuler. Kadang-kadang plasma mengalami koagulasi dan mengendap  pada permukaan hifa yang telah masuk, sehingga hifa yang masuk terbungkus oleh selaput yang padat, yang dapat menghalangi difusi sekresi jamur ke dalam sel. Ada  kalanya lapisan pembungkus ini menjadi lebih kuat karena adanya endapan selulosa dan hemiselulosa yang disebut lignituher, yang dapat menghentikan pertumbuhan hifa (Anonim, 2009).

Contoh penyakit oleh jamur pada tanaman hias adalah antraknosa pada tanaman anggrek. Jamur penyebab penyakit ini adalah Colletotrichum gloesporioides. Gejala serangan jamur ini adalah pada  daun atau umbi semu mula-mula muncul bercak-bercak  berbentuk bulat, mengumpul, berwarna kuning atau hijau  muda kemudiaan berubah tubuh buah jamur. Jika menyerang  bunga, menyebabkan terjadinya bercak-bercak coklat kecil yang dapat membesar dan bersatu, sehingga menutupi seluruh bagian bunga.

Daftar pustaka:

Anonim, 2009. Patologi dan Patogenesis.http://eprints.uns.ac.id/2063/1/99020109200910451.pdf Diakses tanggal 10 Mei 2015.

Balai Penelitian Tanaman Hias. 2009. Biopestisida pengendali hama dan penyakit tanaman hias. Warta penelitian dan Pengembangan Pertanian 31:6-8

Gafur, A. 2003. Aspek fisiologis dan biokimiawi infeksi jamur pathogen tumbuhan. J. Hama dan Penyakit Tumbuhan 3: 24-28

Tags: ,

Laporan Praktikum Nematologi Pertanian Acara VII: Memerangkap dan Pembiakan Nematoda Entomopatogen

Posted by miftachurohman on June 12, 2018
Laporan Praktikum, Nematologi Pertanian / No Comments

LAPORAN PRAKTIKUM
NEMATOLOGI PERTANIAN
ACARA VII

MEMERANGKAP DAN PEMBIAKAN NEMATODA ENTOMOPATOGEN

Disusun oleh:
Miftachurohman
12/334974/PN/12969

LABORATORIUM NEMATOLOGI
DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016

PENDAHULUAN

 

Penggunaan pestisida kimia secara berlebihan berdampak tidak baik bagi lingkungan dan memicu terjadinya gangguan kesehatan. Untuk mengatasi dampak negatif dari penggunaan pestisida kimia di atas, banyak penelitian-penelitian yang dilakukan untuk mencari alternative yang solutif tentang penggunaan biokontrol yang ramah lingkungan.

Nematoda entomopatogen merupakan nematoda endoparasit khusus serangga. Jenis-jenis Nematoda entomopatogen yang umum digunakan sebagai biokontrol berasal dari famili Steinernematidae dan Heterorhabditidae (Kamariah, 2013). Famili Steinernematidae dan Heterorhabditidae dikenal sebagai biokontrol potensial bagi berbagai macam serangga hama (Weiser 1991). Kedua famili tersebut efektif dalam mengendalikan serangga hama dari ordo Lepidoptera, Coleoptera dan Diptera dalam 24-48 jam (Chaerani 1996).

Beberapa penelitian melaporkan bahwa jenis dari kedua famili tersebut telah efektif dalam mengendalikan beberapa jenis hama pertanian. Larva Spodoptera litura dapat dikendalikan oleh Steinernema carpocapsae dengan efektivitas sebesar 95,5% (Uhan 2006). Nugrohorini (2010) juga mengungkapkan bahwa Steinernematidae dan Heterorhabditidae efektif mengendalikan hama-hama golongan Lepidoptera, seperti Galleria mellonella L. dan Agrotis ipsilon H dengan efektifitas mencapai 100%.

Nematoda adalah mikroorganisme berbentuk cacing berukuran 700-1200 mikron dan berada di dalam tanah. Nematoda yang ada di dalam tanah, ada yang tergolong free living, nematode parasit tanaman dan nematode entomopatogen. Nematoda yang saat ini dikembangkan adalah nematoda entomopatogenyangdapat digunakan sebagai insektisida biologi yang sangat potensial untukmengendalikan serangga hama baik ordo Lepidoptera, Coleoptera dan Diptera (Ehler, 1996).

Nematoda entomopatogen telah dipergunakan untuk mengendalikan serangga hama pada tanaman pangan, perkebunan, rumput lapangan golfserta tanaman hortikultura. Nematoda entomopatogen dapat diisolasi dari berbagai tempat diseluruh belahan dunia, khususnya dari golongan Steinernematidae dan Heterorhabditidae dapat digunakan untuk mengendalikan hama-hama golongan Lepidoptera, seperti: Galleria mellonella (L), Spodoptera exigua Hubner, Agrotis ipsilon Hufnayel yang virulensinya mencapai 100 persen (Nugrohorini, 2010). Nematoda entomopatogen dari kelompok Steinernematidae dapat digunakan untuk mengendalikan berbagai hama. Pengendalian hayati dengan nematoda ini dalam jangka panjang dapat menghemat biaya produksi, sehingga meningkatkan keuntungan petani.

Praktikum acara VII yang berjudul Memerangkap Nematoda Entomopatogen ini memiliki tujuan yaitu agar dapat mengetahui cara memperoleh nematoda entomopatogen dari tanah serta dapat mengetahui cara membiakkan nematoda entomopatogen.

 

CARA KERJA

 

Praktikum Nematologi Pertanian acara 7 dengan judul Memerangkap dan Pembiakan Nematoda Entamopatogen dilaksanakan pada hari Kamis, 21 April 2016 di Laboratorium Nematologi, Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Alat yang digunakan berupa cawan petri (Ø 11 cm dan 14 cm), kertas saring nematoda (Ø 11 cm dan 14 cm), botol Ø ± 7,5 cm dengan volume ± 350 ml, keranjang (sebagai penyangga), toples, dan mikroskop. Bahan yang digunakan berupa tanah (diambil dari daerah pertanaman yang terserang hama Ordo Lepidoptera, Coleoptera atau Diptera karena diduga merupakan tempat sebaran nematoda entomopatogen), larva serangga sehat inang nematoda entomopatogen (ulat hongkong Tenebrio molitor), pakan anjing (dog food) basah, kain kasa dan benang kasur.

Cara kerjanya dibagi menjadi 2 yaitu Pemerangkapan Nematoda Entomopatogen dan Perbanyakan Nematoda Entomopatogen. Masing-masing kegiatan dilakukan secara in vitro (menggunakan media buatan dog food) dan in vivo (menggunakan serangga umpan ulat hongkong/ Tenebrio molitor):

 

Pemerangkapan Nematoda Entomopatogen

 

Mula-mula tanah dari lapangan yang diduga merupakan tempat sebaran nematoda entomopatogen diambil kemudian dimasukkan dalam botol volume ± 350 ml sebanyak setengah volume. Larva serangga sebanyak 10 ekor yang dibungkus kain kassa dimasukkan ke dalam masing-masing botol kemudian ditambahkan tanah lagi sampai penuh. Langkah yang sama juga dilakukan pada dog food, doog food dibungkus kain kassa dan dimasukkan dalam botol berisi tanah. Botol ditutup dan dibiarkan selama 3-5 hari. Setelah itu, larva serangga dan dog food dalam botol dipindahkan ke dalam masing-masing cawan petri Ø 11 cm tertutup dan dibiarkan selama 3-4 hari. Larva serangga yang mati dan dog food dipindahkan pada kertas saring Ø 17 cm untuk ditempatkan pada penyangga (keranjang telungkup) Ø 13 cm. Penyangga (berikut kertas saring dan larva serangga mati/dog food) dimasukkan ke dalam toples tertutup (untuk menghindari gangguan lalat pemakan bangkai). Toples diisi aquades sampai menyentuh tepi kertas saring dan dibiarkan (diinkubasikan) selama 14-21 hari. Nematoda entomopatogen hasil pemerangkapan bergerak masuk ke dalam aquades dan nematoda siap dipanen. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah nematoda entomopatogen yang diperoleh.

 

Perbanyakan Nematoda Entomopatogen

 

Mula-mula larva serangga dan dog food disiapkan masing masing dengan berat 2 gram. Masing-masing bahan tersebut diletakkan pada kertas saring Ø 17 cm di dalam cawan petri Ø 14 cm tertutup. Dog food atau larva serangga diinokulasi 200 ekor nematoda entomopatogen, dan dibiarkan selama 3-4 hari. Dog foog berikut kertas saring ditempatkan pada penyangga (keranjang telungkup) Ø 13 cm, kemudian dimasukkan ke dalam toples tertutup. Sedangkan larva serangga diambil dan ditempatkan pada kertas saring di atas penyangga. Penyangga (berikut kertas saring dan larva serangga mati/dog food) dimasukkan ke dalam toples tertutup (untuk menghindari gangguan lalat pemakan bangkai). Toples diisi aquades sampai menyentuh tepi kertas saring dan dibiarkan (diinkubasikan) selama 14-21 hari. Nematoda entomopatogen hasil perkembangbiakan bergerak masuk ke dalam aquades dan nematoda siap dipanen. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah nematoda entomopatogen yang diperoleh.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

Dalam praktikum ini digunakan jenis nematoda steinernema. Mekanisme patogenisitas nematoda entomopatogen Steinernema terjadi melalui simbiosis dengan bakteri patogen Xenorhabdus. Xenorhabdus terdiri dari lima spesies, yaitu X. nemathophilus, X. bovienii, X. poinarii, X. beddingii, dan X. japonica. Infeksi dilakukan oleh stadium larva instar III atau juvenil infektif (JI) dimana terjadi melalui mulut, anus, spirakel atau penetrasi langsung membran intersegmental integumen yang lunak. Setelah mencapai haemocoel serangga, bakteri simbion yang dibawa akan dilepaskan kedalam haemolim untuk berkembangbiak dan memproduksi toksin yang mematikan. Dua faktor ini yang menyebabkan nematoda entomopatogen mempunyai daya bunuh yang sangat cepat. Serangga yang terinfeksi dapat mati dalam waktu 24-72 jam setelah infeksi.

Senyawa antimikroba ini mampu menghasilkan lingkungan yang sesuai untuk reproduksi nematoda dan bakteri simbionnya sehingga mampu menurunkan dan mengeliminasi populasi mikroorganisme lain yang berkompetisi mendapatkan sumber makanan di dalam serangga mati. Keadaan demikian memungkinkan nematoda entomopatogen menyelesaikan siklus perkembangannya dan meminimalkan terjadinya pembusukan serangga inangnya. Faktor penentu patogenisitas nematoda entomopatogen terletak pada bakteri mutualistiknya yaitu dengan diproduksinya toksin intraseluler dan ekstraseluler yang dihasilkan bakteri dalam waktu 24-48 jam.

Pada praktikum ini, pemerangkapan dan pembiakan Steinernema dilakukan secara in vitro dan in vivo untuk membandingkan keefektifan dua media pada kedua cara tersebut. Secara in vitro digunakan media semi padat buatan yaitu makanan anjing (dog food) dan secara in vivo digunakan serangga umpan larva kumbang Tenebrio molitor (ulat hongkong).

Menurut Gaugler & Kaya (1990), prinsip dari pembiakan massal nematoda entomopatogen secara in vitro adalah kandungan nutrisi media harus memenuhi kebutuhan nutrisi nematoda dan bakteri seperti karbohidrat, protein dan lemak, kemudian media tersebut diperlakukan sedemikian rupa sehingga suhu dan kelembabannya sesuai bagi kehidupan nematoda. Disamping itu keaseptisan media juga perlu dijaga agar tidak terjadi kontaminasi oleh bakteri asing atau jamur yang dapat menurunkan produktivitas nematoda.

Ulat hongkong  (Tenebrio molitor) adalah serangga ordo Coleoptera yang merupakan salah satu inang dari nematoda entomopatogen. Nematoda Steinernema diambil dari tanah dengan menempatkan serangga umpan pada tanah kemudian ditunggu beberapa hari untuk dipindahkan cawan petri sampai 3-4 hari, kemudian setelah itu dipindah pada stoples berisi air untuk kemudian diamati ekstraksi.

No Jenis Kegiatan U1 (ekor/100ml) U2 (ekor/100ml) U3 (ekor/100ml) Rata-rata (ekor/100ml)
1 Perbanyakan dg Dog Food 117.000 175000 141.750 144.583,33
2 Perbanyakan dg Ulat Hongkong 12.600 21.600 14.850 16.350
3 Perangkap 31 44 43 39,33/20gr tanah

Tabel 1. Hasil perhitungan nematoda entomopatogen

Dari hasil pengamatan dapat diketahui bahwa perbanyakan nematoda entomopatogen degan menggunakan dog food dan ulat hongkong memiliki jumlah yang sangat besar. Pada perbanyakan dengan menggunakan dog food, didapatkan hasil populasi sebanyak 144.583,33 ekor/100 ml sedangkan pada perbanyakan dengan menggunakan ulat hongkong didapatkan populasi nematoda sebanyak 16.350 ekor/100ml. Populasi yang terdapat pada perbanyakan dengan menggunakan dog food memberikan hasil yang lebih banyak dari pada perbanyakan dengan menggunakan ulat hongkong.

Dog food merupakan bahan makanan bagi anjing yang dijual dalam bentuk kemasan kaleng dengan berbagai merk dagang. Komponen utama dari dog food adalah daging sapi dengan mutu yang rendah. Kandungan nutrisinya secara umum mencakup karbohidrat, protein, dan lemak yang diperlukan bagi nematoda untuk perkembangannya.

Pada perangkap nematoda entomopatogen, didapatkan hasil populasi sebesar 39,33/20 gr tanah. Hal ini menunjukkan tiap 20 gram tanah yang digunakan dalam praktikum mengandung jumlah nematoda sebanyak 39,33 ekor.

Untuk ulat hongkong yang terserang nematoda ini menunjukkan gejala warna tubuh coklat kehitaman, tubuh lembek dan sedikit mengeluarkan cairan. Setelah larva mati, nematoda memperbanyak diri dengan memanfaatkan nutrisi yang ada di dalam tubuh larva tersebut. Selanjutnya induk nematoda menghasilkan 2-3 generasi baru di dalam tubuh inangnya tersebut. Setelah nutrisi di dalam tubuh larva tersebut habis maka nematoda melakukan migrasi dengan cara keluar dari tubuh larva dan mencari inang lain (Kamariah dkk., 2013).

Nematoda entomopatogen masuk ke dalam tubuh serangga melalui berbagai cara, baik secara langsung melalui lubang tubuh alami (mulut, spirakel, anus), kutikula, atau secara kebetulan termakan oleh larva serangga. Setelah berada di dalam tubuh larva, Nematoda entomopatogen melepaskan bakteri simbion ke dalam sistem hemolimfa. Bakteri kemudian berkembang secara cepat sehingga mampu membunuh inang antara 24-48 jam setelah proses infeksi (Ehlers 1996).

 

KESIMPULAN

 

    1. Nematoda entomopatogen dapat diperoleh dari tanah dengan metode bait trap atau pemerangkapan dengan umpan. Umpan dapat berupa serangga seperti ulat hongkong (Tenebrio molitor) ataupun media buatan seperti makanan anjing (dog food).
    2. Nematoda entomopatogen dapat dibiakkan pada media serangga atau pun media buatan dog food yaitu dengan menginokulasikan sejumlah nematoda entomopatogen pada media tersebut. Media dog food lebih efektif memperbanyak nematoda entomopatogen daripada serangga umpan.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Chaerani M. 1996. Nematoda Patogen Serangga Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan Bogor, Bogor

Ehlers, R.U. 2001. Mass production of entomopathogenic nematodes for plant protection. Appl. Microbiol. Biotechnol. 56 : 623-633.

Kamariah., B. Nasir., dan J. Pangeso. 2012. Efektivitas berbagai konsentrasi nematoda entomopatogen (Steinernema sp) terhadap mortalitas larva Spodoptera exiqua Hubner. e-J. Agrotekbis 11: 17-22

Nugrohorini. 2010. Eksplorasi Nematoda Entomopatogen Pada Beberapa Wilayah di Jawa Timur. Jurnal Pertanian MAPETA. 7:-

Uhan T. 2006. Bioefikasi Steinernema carpocapsae (Rhabditidae : Steinernematidae) Strain Lembang terhadap Larva Spodoptera litura di Rumah Kaca. Jurnal Agric. 17 : 225-229.

Simoes N and Rosa J S. 1996. Pathogenicity and Host Spesificity of Enthomopatogic Nematodes. J. Biocontrol Sci and technol 6: 403- 4011.

Weiser J. 1991. Biological Control of Vectors Manual for Collecting, Field Determination and Handling of Biofactors for Control Vectors. John Willey and Sons, England

LAMPIRAN

Gambar 1 . Tenebrio molitor yang digunakan untuk memerangkap nematoda

Gambar 2. Dog food yang digunakan dalam perbanyakan nematoda entomopatogen

Gambar 3. Ulat hongkong yang digunakan dalam perbanyakan nematoda entomopatogen

Tags: , , , ,

Laporan Praktikum Nematologi Pertanian Acara VI: Interaksi Tanaman Inang dengan Nematoda Parasit

Posted by miftachurohman on June 08, 2018
Laporan Praktikum, Nematologi Pertanian / No Comments

LAPORAN PRAKTIKUM
NEMATOLOGI PERTANIAN
ACARA VI

INTERAKSI TANAMAN INANG DENGAN NEMATODA PARASIT

Disusun oleh:
Miftachurohman
12/334974/PN/12969

LABORATORIUM NEMATOLOGI
DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016

PENDAHULUAN

 

Tomat merupakan komoditas yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Permintaan tomat tidak pernah turun. Dalam proses budidaya tomat, petani sering mengalami kendala. Salah satu kendala dalam budidaya tomat adalah adanya serangan nematoda. Nematoda parasitik tanaman merupakan salah satu jenis hama penting, karena menimbulkan kerugian besar pada tanaman dalam sistem produksi pertanian di daerah tropis maupun sub tropis. Serangan nematoda mengakibatkan berkurangnya fungsi akar secara normal, mengakibatkan pengangkutan unsur hara ke bagian jaringan tanaman di atas permukaan tanah makin berkurang (Dropkin, 1991).

Menurut Panggeso (2010) apabila tanaman terinfeksi berat oleh nematoda, sistem perakaran yang normal akan berkurang dan menyebabkan jaringan berkas pengangkut mengalami gangguan secara total, akibatnya tanaman mudah layu khususnya dalam keadaan kering dan tanaman sering menjadi kerdil, pertumbuhan terhambat dan mengalami klorosis.

Beberapa nematoda parasit tanaman adalah ektoparasit, hidup di luar inangnya. Spesies jenis ini menyebabkan kerusakan berat pada akar dan dapat menjadi vektor virus yang penting. Spesies lain, ada yang hidup di dalam akar, bersifat endoparasit migratori dan sedentari. Parasit migratori bergerak melalui akar dan menyebabkan nekrosis, sedangkan yang endoparasit sedentari dari famili Heteroderidae menyebabkan kehancuran yang paling banyak di seluruh dunia (Williamson & Richard, 1996).

Nematoda parasit menyerang pada organ tumbuhan yang vital seperti akar, daun dan bunga. Nematoda parasit umumnya menyerang bagian tanaman yang lunak dengan cara menginfeksinya. Kerusakan terbesar yang disebabkan oleh nematoda parasit adalah hancurnya jaringan pada akar. Pada stadium kronis, tanaman yang diserang oleh nematoda parasit tidak dapat tumbuh, kerdil, mengalami disfungsi organ dan akhirnya mati (Dropkin, 1991 cit. Prabowo, 2012).

Meloidogyne sering disebut root-knot nematodes atau nematoda puru akar karena menyebabkan terjadinya puru atau bengkak pada akar yang terserang nematoda tersebut. Dalam satu siklus hidup Meloidogyne terjadi perubahan morfologis yaitu bentuk telur, larva (juvenil), dan dewasa (jantan serta betina) (Mulyadi, 2009).

Pada acara praktikum ini, dilakukan kegiatan inokulasi tanaman tomat dengan larva Meloidogyne incognita dan kemudian tanaman diamati dengan periode 2 kali dalam 49 hari hari setelah tanam. Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mempelajari perkembangan gejala dan tanda serangan nematoda parasit tumbuhan, mengetahui kerusakan tanaman akibat serangan nematoda parasit tumbuhan, dan mengetahui cara menilai kerusakan akar akibat serangan nematoda puru akar dengan skor menurut Zeck.

 

CARA KERJA

 

Praktikum Nematologi Pertanian acara 5 dengan judul Interaksi Tanaman Inang dengan Nematoda Parasit dilaksanakan pada hari Kamis, 3 Maret 2016 hingga Kamis, 28 April 2016 di Laboratorium dan Rumah Kaca Nematologi, Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Alat yang digunakan berupa besek, pot Ø 12,5 cm, alat ukur panjang/lebar, timbangan dan mikroskop. Bahan yang digunakan berupa benih tomat, tanah steril, pupuk kompos, bahan inokulum (larva nematoda Meloidogyne incognita) dan air.

Cara yang dilakukan dalam praktikum ini yaitu mula-mula benih tomat ditanam pada tanah steril di dalam besek untuk memperoleh bibit umur 21 hari. Bibit tomat umur 21 hari (sebanyak 1 batang) ditanam pada media steril (3 bagian tanah dan 1 bagian pupuk kompos steril) dalam masing-masing pot. Disiapkan tanaman umur 7 hari setelah tanam (hst) sejumlah 36 pot. Kemudian separo jumlah tanaman diinokulasi 20.000 ekor larva nematoda M. incognita untuk setiap pot tanaman dan separo jumlah tanaman yang lain tidak diinokulasi nematoda atau sebagai pembanding (18 pot untuk perlakuan inokulasi nematoda dan 18 pot untuk perlakuan tanpa inokulasi nematoda, 4 pot pada masing-masing perlakuan untuk cadangan). Pengamatan dilakukan sebanyak 2 kali dengan interval waktu 14 hari yaitu dengan mengamati 7 tanaman untuk masing-masing perlakuan. Pengamatan pertama dimulai pada tanaman umur 14 hari setelah inokulasi (hsi) atau 21 hst. Pengamatan kedua pada tanaman umur 35 hsi atau 42 hst. Parameter pengamatan meliputi: tinggi tanaman, panjang akar, berat bagian tanaman di atas permukaan tanah (berat brangkasan basah), warna daun, kerusakan akar (menggunakan skor Zeck), dan jumlah puru pada akar.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

Hasil

 

 

Gambar 1. Tabel hasil pengamatan tanaman tomat selama 14 HIS

Gambar 2. Tabel hasil pengamatan tanaman tomat selama 28 HSI

 

Pembahasan

 

Pada praktikum ini dilakukan inokulasi nematoda Meloidogyne incognita pada tanaman tomat berumur 28 hari setelah tanam benih. Kemudian diamati perubahan pertumbuhan tanaman setiap 14 hari selama 2 kali pengamatan (14 hari dan 28 hari setelah inokulasi/hsi). Parameter pengamatan meliputi: tinggi tanaman, panjang akar, berat bagian tanaman di atas permukaan tanah (berat brangkasan basah), warna daun, kerusakan akar (menggunakan skor Zeck), dan jumlah puru pada akar.

Gambar 3. Tabel hasil pengamatan tinggi tanaman tomat selama 14 HSI

Gambar 4. Tabel hasil pengamatan tinggi tanaman tomat selama 14 HSI

Dari hasil pengamatan selama 14 HSI dapat diketahui bahwa rata-rata tinggi tanaman tomat tanpa inokulasi yaitu sepanjang 22,10 cm, sementara itu rata-rata tinggi tanaman tomat dengan inokulasi nematoda yaitu sepanjang 9,56 cm. Sementara itu, pada tanaman tomat tanpa inokulasi yang diamati pada 28 HIS mengalami pemanjangan akar menjadi 22,59 cm dan tinggi tanaman yang diinokulasi memiliki tinggi tanaman 16.03 cm.

Gambar 5. Tabel hasil pengamatan panjang akar tanaman tomat selama 14 HSI

Gambar 6. Tabel hasil pengamatan panjang akar tanaman tomat selama 28 HSI

Dari hasil pengamatan dapat diketahui bahwa rata-rata panjang akar mengalami penurunan. Penurunan panjang akar ini terjadi pad 14 HSI dan 28 HSI. Penurunan panjang akr ini diduga karena terjadinya intensitas serangan yang semakin banyak. Pada tanaman tomat tanpa inokulasi bahkan ditemukan beberapa gall dengan tingkat keparahan yang ringan.

Gambar 7. Tabel hasil pengamatan skor zeck tanaman tomat selama 14 HSI

Gambar 8. Tabel hasil pengamatan skor zeck tanaman tomat selama 28 HIS

Skor zeck menunjukkan keparahan intensitas serangan nematoda yang diukur pad tingkat keparahan nematoda menyerang bagian akar tanaman. Pada tanaman tanoa inokulasi nematoda terlihat bahwa tanaman memiliki skor zeck yang rendah yang berarti bahwa kondisi perakaran tanaman tomat sehat. Skor pada 14 HIS tanpa inokulasi menunjukkan rata-rata 1,54 dan pada 28 HSI menunjukkan angka 3,71. Pada penamatan akar dengan inokulasi nematoda menunjukkan skor pada pengamatan 14 HSI dan 28 HSI berturut-urut 7,54 dan 7,38. Rata rata keparahan tingkat serangan ini relatif mendekati sama.

Gambar 9. Tabel hasil pengamatan berat tajuk tanaman tomat selama 14 HSI

Gambar 10. Tabel hasil pengamatan berat tajuk tanaman tomat selama 28 HSI

Berat tajuk menunjukkan timbunan asimilat tanaman hasil fotosintesis yang dapat disimpan oleh tanaman tomat. Dari hasil perhitungan berat tajuk dapat diketahui bahwa rata-rata berat tajuk mengalami kenaikan pada pengamatan 14 HSI dan 28 HSI. Rata-rata kenaikan berat tajuk tanpa inokulasi pada 14 HSI dan 28 HSI adalah 3,92 gr dan 4,24. Pada tanamn tomat yang diinokulasi menunjukkan kenaikan berat tajuk pada pengamatan 14 HIS dan 28 HIS berturut-urut sebesar 1,18 gr dan 2,72 gr.

Kerusakan jaringan akar akibat serangan Meloidogyne spp. dapat menghambat penyerapan dan translokasi nutrisi serta air dari akar, sehingga terjadi defisiensi pada daun (antara lain N, P, K, Ca, Mg, dan Fe). Namun sebaliknya terjadi akumulasi nutrisi dalam akar yang mungkin disebabkan karena: peningkatan absorbsi oleh akar, terjadi hambatan translokasi nutrisi ke daun, serta mobilisasi nutrisi ke dalam akar. Mobilisasi nutrisi ke dalam akar disebabkan terjadinya fenomena zink dalam akar (terjadinya hipertrofi dan hyperplasia sel-sel akar serta kebutuhan nutrisi yang tinggi nematoda puru akar untuk bereproduksi) (Mulyadi, 2009).

Gejala serangan khas akibat serangan Meloidogyne spp. yaitu terbentuknya puru pada akar, pertumbuhan terhambat tanaman dapat kerdil, klorosis, dan pada cuaca terik matahari tanaman cepat layu dibanding yang sehat. Pada tanaman terserang Meloidogyne spp. Laju fotosintesis terhambat, antara lain disebabkan karena: adanya hambatan aliran nutrisi dan air ke daun, terjadinya klorosis, dan terjadinya penutupan stomata daun (tanaman layu) (Mulyadi, 2009).

Gambar: (Kiri) Tanaman tomat yang tidak diinokulasi suspense nematoda (Kanan) Tanaman tomat yang diinokulasi suspense nematoda

Mekanisme penyerangan oleh Meloidogyne spp dimulai dengan masuknya nematoda kedalam akar tumbuhan melalui bagian-bagian epidermis yang terletak dekat tudung akar. Nematoda ini mengeluarkan enzim yang dapat menguraikan dinding sel tumbuhan terutama terdiri dari protein, polisakarida seperti pektin sellulase dan hemisellulase serta patin sukrosa dan glikosid menjadi bahan-bahan lain. Meloidogyne spp mengeluarkan enzim sellulase yang dapat menghidrolisis selulosa enzim endopektin metal transeliminase yang dapat menguraikan pektin. Dengan terurainya bahan-bahan penyusun dinding sel ini maka dinding sel akan rusak dan terjadilah luka. Selanjutnya nematode ini bergerak diantara sel-sel atau menembus sel-sel menuju jaringan sel yang terdapat cukupcairan makanan, kemudian menetap dan berkembang biak kemudian nematoda tersebut masih mengeluarkan enzim proteolitik dengan melepaskan IAA ( Asam indol asetat) yang merupakan heteroauksin tritopan yang diduga membantu terbentuknya puru.

Pada akar tanaman yang terserang menjadi bisul bulat atau memanjang dengan besar bervariasi. Di dalam bisul ini terdapat nematoda betina, telur dan juvenil. Bisul akar yang membusuk akan membebaskan nematoda dan telurnya ke dalam tanah kemudian masuk kedalam akar tanaman lain. Ukuran dan bentuk puru tergantung pada spesies, jumlah nematoda didalam jaringan, inang dan umur tanaman.

Apabila tanaman terinfeksi berat oleh Meloidogyne sistem akar yang normal berkurang sampai pada batas jumlah akar yang berpuru berat dan menyebabkan sistem pengangkutan mengalami disorganisasi secara total. Sistem akar fungsinya benar benar terhambat dalam menyerap dan menyalurkan air maupun unsur hara. Tanaman mudah layu, khususnya dalam keadaan kering dan tanaman sering menjadi kerdil (Luc et al, 1995).

Gejala serangan lainnya yang terjadi di bawah tanah antara lain adalah bintil-bintil akar, luka pada akar, nekrosis pada permukaan akar, percabangan yang berlebihan, dan ujung akar yang tidak tumbuh. Setelah Meloidogyne makan pada ujung akar tersebut sering kali berhenti tumbuh, namun demikian akar belum tentu mati. Serangan pada tanaman tomat terutama terjadi pada tanah yang bertekstur kasar atau berpasir. Disamping memperlemah tanaman, nematoda ini dapat juga menurunkan produksi. Pada populasi yang tinggi dapat menyebabkan kehilangan hasil sebanyak 25-50% (Mustika, 1992).

 

KESIMPULAN

 

  1. Gejala dan tanda serangan nematoda parasit tumbuhan Meloidogyne spp. atau dalam hal ini M. incognita berupa terbentuknya puru pada akar, pertumbuhan tanaman terhambat, klorosis pada daun dan tanaman menjadi layu.
  2. Kerusakan yang terjadi pada tanaman yang terserang nematoda parasi Meloidogyne terjadi pada akar yang kemudian berimbas pada bagian tanaman di atasnya (tajuk/brangkasan).
  3. Kerusakan akar akibat serangan nematoda Meloidogyne dapat dinilai menggunakan skor Zeck.

DAFTAR PUSTAKA

Dropkin V.H. 1991. Pengantar Nematologi Tumbuhan. Gajah Mada University Press, Yogyakarta

Luc, M, RA Sikora and J Bridge. 1995. Nematoda Parasitik Tumbuhan di Pertanian Subtropik dan Tropik. Gajah Mada University Press, Yogyakarta

Mulyadi. 2009. Nematologi Pertanian. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Mustika, I., 1992. Pengantar Nematologi Tanaman. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Bogor.

Panggeso, J. 2010. Analisis kerapatan populasi nematoda parasitik pada tanaman tomat (Lycopersicum esculentum Mill.) Asal Kabupaten Sigi Biromaru. J Agroland 17: 198- 204

Prabowo, H. 2012. Jenis nematoda yang ditemukan pada tanaman bawang merah (Allium ascalonicum) dan rhizosfer sekitarnya di area persawahan Niten, Bantul, Yogyakarta. AGROVIGOR 5: 75-79.

Rahayu, B dan A. Mukidjo. 1977. Survai populasi nematoda puru akar (Meloidogyne spp) pada pertanaman solanaceae di daerah Istimewa Yogyakarta. Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada. Yogyakarta 10 hal.

Williamson, V. M. and S. H. Richard. 1996. Nematode pathogenesis and resistance in plant. The Plant Cell 8 : 1735-1745.

LAMPIRAN

Gambar 2. Skala Zeck

Nilai Skala Keterangan
0 Seluruh akar sehat, tidak ada infeksi atau serangan
1 Kelihatan ada puru kecil yang agak sukar diamati
2 Terdapat puru kecil yang mudah diamati
3 Terdapat puru kecil yang banyak dan masih berkembang, fungsi akar belum kelihatan terganggu
4 Terdapat puru kecil yang banyak, puru besar mulai terbentuk, sebagian besar akar masih berfungsi
5 Kurang lebih 25% akar tidak berfungsi dan terdapat puru banyak
6 Kurang lebih 50% akar tidak berfungsi dan terdapat puru banyak
7 Kurang lebih 75% akar tidak berfungsi dan terdapat puru banyak
8 Seluruh akar terserang berat, tetapi tanaman masih hidup
9 Seluruh puru pada akar membusuk, tanaman layu
10 Seluruh akar dan tanaman mati

 

Tags: , , ,