Laporan Praktikum

laporan Praktikum Identifikasi Hama Tanaman: Hama Pada Tanaman Hortikultura dan Palawija

Posted by miftachurohman on September 13, 2018
Identifikasi Hama Tanaman, Laporan Praktikum / No Comments

LAPORAN PRAKTIKUM
IDENTIFIKASI HAMA TANAMAN
HAMA PADA TANAMAN HORTIKULTURA DAN PALAWIJA

Disusun oleh:
Miftachurohman
12/334974/PN/12969

LABORATORIUM ENTOMOLOGI DASAR
JURUSAN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014

 

Hama Tanaman Hortikultura

Kubis (Plutella xylostella)

Kubis (Plutella xylostella) Sumber:
Sumber: http://www.microlepidoptera.nl/database/photo/180490_7.jpg

 

Klasifikasi ulat kubis (Plutella xylostella) menurut Kalshoven (1981) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Lepidoptera
Famili : Plutellidae
Genus : Plutella
Spesies : Plutella xylostella L.

Morfologi dan Biologi

Plutella xylostella adalah serangga kosmopolitan pada daerah tropis dan daerah subtropis. Di Indonesia saat ini penyebaranya bukan hanya di daerah pegunungan tetapi saat ini sudah menyebar sampai di dataran rendah. P. xylostella memiliki kisaran inang yang luas. Banyak jenis kubis, sawi dan beberapa tanaman silangan lainnya, termasuk Raphanaus sativius (lobak). Ulat kubis banyak memakan daun muda dan daun tua. Jenis kerusakan oleh ulat kubis ini sangat khas: daun menampilkan jendela putih tidak teratur, jarang lebih besar dari 0,5 cm yang kemudian memecah ke lubang bentuk (Kalshoven, 1981).

Stadium telur antara 3-6 hari. Larva instar pertama setelah keluar dari telur segera menggerek masuk ke dalam daging daun. Instar berikutnya baru keluar dari daun dan tumbuh sampai instar keempat. Pada kondisi lapangan, perkembangan larva dari instar I-IV selama 3-7; 2-7; 2-6; dan 2-10 hari. Larva atau ulat mempunyai pertumbuhan maksimum dengan ukuran panjang tubuh mencapai 10-12 mm. Prepupa berlangsung selama lebih kurang 24 jam, setelah itu memasuki stadium pupa. Panjang pupa bervariasi sekitar 4,5-7,0 mm dan lama umur pupa 5-15 hari (Hermintato, 2010).

Larva P. xylostella berukuran kecil, sekitar 0,33 inci ketika tumbuh penuh. Tubuh larva melebar di bagian tengah dan meruncing ke arah anterior dan posterior dengan dua proleg pada segmen terakhir (posterior) membentuk huruf-V. Ketika terganggu, larva bergerak panik atau cepat menempel pada garis sutra menuju daun. Larva sebagian besar makan daun luar atau daun tua baik pada tanaman tua maupun titik-titik tumbuh tanaman muda. Larva juga akan memakan tangkai bunga dan kuncup bunga (Kalshoven, 1981).

Siklus hidup larva berlangsung 10 sampai 14 hari dan membentuk kokon pada daun atau tangkai untuk pupasi. Telur imago ulat kubis (ngengat) berukuran sangat kecil, agak bulat telur. Diletakkan secara tunggal pada sisi bawah daun. Produksi telur adalah 180-320 per. Telur yang diletakkan secara terpisah pada ermukaan daun yang lebih rendah (Anonim, 2010)

Menurut Hermintato (2010) serangga dewasa atau ngengat berbentuk ramping, berwarna coklat-kelabu. Sayap depan bagian dorsal memiliki corak khas seperti berlian, sehingga hama ini terkenal dengan nama ngengat punggung berlian (diamondback moth). Nama lain dari serangga tersebut adalah ngengat tritip dan ngengat kubis (cabbage moth). Ngengat memakan sari bunga dan merupakan penerbang yang lemah serta sering terlihat pada waktu senja.

Gejala Serangan dan Kerusakan

Infestasi P. xylostella yaitu dengan meletakan telur didekat urat daun pada permukaan daun. Larva yang baru menetas memakan bagian dalam jaringan daun, dan menimbulkan gejala pada daun yang khas (Anonim, 2010). Kegiatan makannya meninggalkan pola bergaris pada permukaan daun. Larva yang lebih dewasa, yang biasanya berwarna hijau keabu-abuan dan berubah menjadi hijau cerah, akan memakan permukaan daun. Larva tidak memakan urat daun, hanya jaringan di antaranya, membuat efek “jendela” pada tanaman yang mengalami serangan serius. Larva meliuk dengan cepat saat diganggu dan bergantung pada utas sutra. Larva dewasa membentuk kepompong berwarna hijau muda atau coklat muda di dalam gulungan sutra pada batang atau bagian bawah daun (Rukmana, 2010).

Larva bisa memakan tanaman sawi pada semua tahap pertumbuhan. Serangan paling merusak saat tanaman masih muda atau pada tahap menguncup. Ngengat tidak menyebabkan kerusakan langsung terhadap kuncup, tetapi merusak daun pembungkus, walaupun tidak secara langsung mempengaruhi hasil panen, tetapi bisa mengurangi nilai panen(Rukmana, 2010).

Buah Cabai (Aphid)

Buah Cabai(Aphid) Sumber:
http://www.infonet-biovision.org/res/res/files/266.400×400.jpeg

Kutu daun atau aphid menyebabkan kerusakan tanaman gandum karena aphid secara langsung mengisap cairan tanaman pada daun juga makan kuncup bunga dan buah, umumnya aphid hidup dalam bentuk koloni atau individu. Jika keadaan sudah mendesak dimana makanan mulai berkurang, maka terjadi rangsangan untuk menghasilkan aphid yang bersayap dan siap untuk berpindah tempat atau migrasi ke tanaman lain. Pada saat perpindahan ini aphid dapat menularkan virus, selain pada tanaman gandum aphid juga dapat hidup pada tanaman lain seperti kubis, cabai, tembakau, tomat dan lain-lain (Christina 2007).

Sifat dari aphid adalah mengisap cairan tanaman selain itu aphid mengeluarkan toksin saliva pada waktu mengisap cairan, sehingga menyebabkan tanaman berubah menguning atau coklat karena jaringan tanaman mengalami kerusakan. Selain menyebabkan kerusakan tanaman aphid juga perperan dalam memindahkan atau menularkan virus barley kerdil kuning (BYDV) pada gandum (Christina, 2007).

Kutu daun ini menyerang tunas dan daun muda dengan cara menghisap cairan tanaman sehingga helaian daun menggulung. Koloni kutu ini berwarna hitam, coklat atau hijau kekuningan tergantung jenisnya. Kutu menghasilkan embun madu yang melapisi permukaan daun sehingga merangsang jamur tumbuh (embun jelaga). Di samping itu, kutu juga mengeluarkan toksin melalui air ludahnya sehingga timbul gejala kerdil, deformasi dan terbentuk puru pada helaian daun. Di antara kutu daun yang menyerang tanaman jeruk, kutu daun coklat dan hitam merupakan yang terpenting karena menularkan virus penyebab penyakit Tristeza(Christina, 2007).

Secara umum kutu berukuran antara 1-6 mm, tubuh lunak, berbentuk seperti buah per, pergerakan rendah dan biasanya hidup secara berkoloni (bererombol). Perkembangan optimal terjadi pada saat tanaman bertunas. Satu generasi berlangsung selama 6-8 hari pada suhu 250 C dan 3 minggu pada suhu 150 C.Secara visual, bentuk dan ukuran spesies-spesies kutu daun ini serupa. Perbedaan antara Kutu Daun Coklat dan Kutu Daun Hitam, terlihat pada pembuluh sayap bagian depan. Kutu Daun Hitam berwarna hitam dan tidak bercabang sedangkan pada Kutu Daun Coklat bercabang dan tubuh berwarna coklat. Bentuk kutu kadang-kadang bersayap, kadang-kadang tidak bersayap, seksual atau aseksual, menetap atau berpindah-pindah tempat. Pada daerah tropis yang perbedaan musimnya kurang tegas, kutu ini tinggal pada inangnya selama setahun sebagai betina-betina yang vivipar partenogenesis. Kutu dewasa biasanya berpindah tempat untuk menghasilkan kutu-kutu baru yang belum dewasa dan membentuk koloni baru(Christina, 2007).

Terong

Scutelleridae

Scutelleridae sumber: http://inflight.ph/wp-content/uploads/2013/02/Photo-by-Allen-Hipolito-Mayor.jpg

Kingdom :Animalia
Phylum :Arthropoda
Subphylum : Hexapoda
Class :Insecta
Order :Hemiptera
Suborder :Heteroptera
Infraorder :Pentatomomorpha
Superfamily :Pentatomoidea
Family :Scutelleridae

Kumbang ini memiliki ukuran dari kecil hingga sedang. Berbentuk ova; dengan ukuran panjang tubuhnya rata-rata adalah 5-20mm. Memiliki scutellum yang sangat besar sehingga dapat seluruhnya menutupi sayap dan abdomen seperti perisai. Memiliki warna dan pola yang bervariasi dan jarang dapat digunaka dalam pengenalan spesies. Memiliki habitat yang sangat luas, meliputi lahan, semak, tepi kayu dengan kondisi yang basah atau kering. Mereka menghasilkan bau ofensif keyika diganggu(Peredo, 2002).

Empoasca

Empoasca sumber:

Kingdom : Animalia
Famili : Cicadellidae
Genus : Empoasca
Spesies : Empoasca sp

Imago berukuran panjang 2,3-2,7 mm, berwarna hijau muda kekuning-kuningan, dapat terbang kemana-mana apalagi bila tertiup angin. Imago jantan berumur 8 hari dan yang betina 6 hari. Produksi telur 200-300 butir/ekor. Telur diletakkan satu persatu dan diselipkan pada dengan mata telanjang. Setelah 4-7 hari telur menetas jadi nimfa. Nimfa berwarna putih kekuning-kuningan dan berganti kulit 4 kali dalam 7-12 hari. Nimfa hidup di permukaan bawah daun, sesekali naik ke atas permukaan daun, dengan menusuk dan menghisap cairan terutama dari tulang daun muda. Ciri khas serangga ini adalah jalannya menyamping, sesekali saja naik ke atas daun. Lama daur hidup dari telur sampai dewasa berkisar 14-18 hari (Departemen Pertanian, 2004).

Wereng kapas berukuran kecil, sekitar 3 mm. Gerakannya sangat gesit, jika terganggu akan meloncat dengan cepat. Hama tersebut mengisap cairan tanaman yang mengakibatkan tanaman menjadi lemah. Wereng kapas juga menghasilkan racun yang dapat merusak tanaman. Beberapa spesies dapat menyebabkan penyakit yang disebabkan oleh mikoplasma seperti penyakit “aster yellow” dan “witches- broom”. Kisaran inangnya sangat luas termasuk kapas, mentimun, terung, tomat, kentang, dan lain-lain.

Serangan berat biasanya terjadi pada musim kemarau. Gejala serangan dari hama ini menyebabkan bintik-bintik putih pada daun, karena cara makannya dengan menusuk dan mengisap, terutama pada permukaan atas daun. Jika terjadi serangan hebat, semua permukaan daun penuh dengan bintik-bintik putih. Nimfa dan wereng dewasa dapat diamati pada permukaan bawah daun, selain itu wereng hijau juga menyebabkan pinggir daun kering seperti terbakar dengan ujungnya menggulung dan daun-daun berwarna kekuningan. Tanaman dapat mati muda. Departemen Pertanian. 2004. Musuh Alami, Hama dan Penyakit Tanaman Teh. Direktorat Perlindungan Perkebunan, Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta.

Aphid

Buah Cabai(Aphid)
Sumber: http://www.semena.org/agro/diseases4/image/21-1.jpg

Kutudaun ini mempunyai ciri-ciri: kauda berbentuk lidah, lebih panjang daripada lebar pangkalnya, pucat, lebih pucat daripada sifunkuli. Kauda dengan 5–6 rambut. Tidak ada mekanisme stridulatori. Sifunkuli berimbrikasi, gelap merata, biasanya lebih gelap daripada warna tubuh secara umum. Sifunkuli lebih panjang daripada kauda. Spirakel kecil dan berbentuk seperti ginjal. Tuberkel antena tidak berkembang. Proses terminal 2–3,1 kali lebih panjang daripada pangkal ruas antena terakhir. Tuberkel lateral ada paling tidak pada ruas abdomen 1 dan 7. Rambut-rambut pada femur belakang lebih pendek daripada diameter pangkal femur(Mardiningsih et al. 2011).

Serangga hidup berwarna kuning, hijau, atau hijau kekuningan. Imago bersayap dan tidak bersayap. Selain merupakan hama, A. gossypii juga merupakan vektor penyakit virus yang dapat menularkan lebih dari 50 virus tanaman). A. gossypii juga ditemukan pada tanaman nilam yang menunjukkan gejala virus mosaic. Kutudaun ini merupakan hama utama di pembibitan rumah kaca. Bibit nilam yang tidak dilindungi dengan penyemprotan insektisida satu minggu saja pucuknya dapat terserang kutudaun ini sehingga pertumbuhan pucuk dapat terhambat. Pucuk tanaman yang terserang kutudaun akan mengeriting karena cairan tanaman diisap. Di lapangpun tanaman nilam juga terserang kutu ini, namun karena tanaman sudah besar, tidak terlalu mengganggu  pertumbuhan tanaman (Mardiningsih et al. 2011).

Pada tanaman nilam A. gossypii terdiri atas 4 instar nimfa. Rata-rata lama nimfa instar I, II, III, dan IV berturut-turut adalah 1,8; 1,4; 1,2, dan 1,6 hari. Secara keseluruhan rata-rata lama masa nimfa ialah 6 hari. Ratarata masa prereproduksi, reproduksi, dan pasca reproduksi berturut-turut adalah 0,7; 6,9; dan 0,3 hari. Rata-rata masa imago ialah 7,9 hari. Ratarata masa nimfa sampai imago mati ialah 13,9 hari. Rata-rata siklus hidup dari nimfa sampai menghasilkan nimfa lagi 6,7 hari. Rata-rata banyaknya keturunan yang dihasilkan oleh seekor imago ialah 22,8 hari dan rata-rata banyaknya keturunan yang dilahirkan per hari rata-rata 3,9 ekor ((Mardiningsih et al. 2011).

Tingidae

Tingidae
Sumber:
https://pubs.ext.vt.edu/3104/3104-1548/L_IMG_eggplant_lacebug_2.jpg

Genus : Gargaphia
Family : Tingidae
Ordo : Hemiptera
Kelas : Hexapoda

Famili ini memiliki ukuran sekitar 2 mm. Famili ini dapat dikenali pada antennal bagian pertama yang berwarna sangat gelap dan keberadaan segitiga pronutum bagian depan. Tingidae dewasa menjaga telur dan nimfa muda. Nimfa dan dewasa biasanya ditemukan pad apermukaan ventral daun. Gejala kerusakan daun berupa bercak kuning, kotor dengan kotoran, berwarna bercak coklat kekuningan( Anonimous, 2014).

Tomat (Helicoverpa armigera)

Helicoverpa armigera
Sumber:
http://www.iranicaonline.org/uploads/files/Pests_Agricultural/pests_agric_fig_26.jpg

Larva ulat buah tomat masuk ke dalam buah dengan menembus dinding buah dan hidup dari bagian dalam buah cabai yang belum masak. Kerusakan yang diakibatkannya yaitu berupa lubang-lubang pada buah cabai. Ngengat berwarna coklat kekuning-kuningan dengan bintikbintik dan garis yang berwarna hitam. Ngengat jantan mudah dibedakan dari ngengat betina karena ngengat betina mempunyai bercak-bercak berwarna pirang muda. Telur berbentuk bulat dan berwarna putih agak kekuning-kuningan, kemudian berubah menjadi kuning tua dan akhirnya ketika mendekati saat menetas berbintik hitam. Fase telur berkisar antara 10-18 hari (Setiawati 2001).

Larva muda berwarna kuning muda kemudian berubah warna dan terdapat variasi warna dan pola corak antara sesama larva. Fase larva sekitar 12-25 hari. Pupa yang baru terbentuk berwarna kuning, kemudian berubah kehijauan dan akhirnya berwarna kuning kecokelatan. Fase pupa berlangsung sekitar 15-21 hari. Tanaman inangnya antara lain adalah tomat, tembakau, jagung, dan kapas. Larva H. armigera melubangi buah-buah cabai. Buah cabai yang terserang menjadi busuk lalu jatuh ke tanah. Kadangkadang  larva juga menyerang pucuk tanaman dan melubangi cabangcabang cabai. Intensitas serangannya dapat mencapai 47% (Sastrosiswojo dan Basuki 2002)

Hama Tanaman Palawija

Jagung (Helicoverpa armigera)

Helicoverpa armigera. Sumber:
http://cdn.c.photoshelter.com/img-get/I0000PmxYlvk7TgE/s/600/600/531189.jpg

Telur diletakkan secara single (satu) diatas rambut jagung, setelah menetas berpindah kebagian tongkol jagung yang masih muda dan memakan langsung biji-biji jagung. Dari telur hingga stadia dewasa berupa kupu kecil berkisar 35 hari dan terbang mengisap madu dari bunga. Masa telur kurang lebih 4 hari, larva baru menetas biasanya langsung memakan cairan daun atau bagian tanaman yang lain, kemudian pada instar berikutnya menyerang bagian generatif tanaman yaitu kuncup bunga, bunga dan buah. Masa hidup larva 16-19 hari dan mengalami 6 instar. Selama masa larva dapat merusak buah muda, larva berpupa didalam tanah masa pupa 10-12 hari. Serangga dewasa berupa kupu berumur 10-12 hari, aktif pada malam hari dan terbang cukup jauh. Seekor serangga betina mampu bertelur 600-1000 butir. Gejala serangan ulat penggerek tongkol dimulai pada saat pembentukan kuncup bunga, bunga dan buah muda. Larva masuk ke dalam buah muda, memakan biji-biji jagung, karena larva hidup di dalam buah, biasanya serangan serangga ini sulit diketahui dan sulit dikendalikan dengan insektisida(Kalshoven, 1981).

Kacang Tanah

Pseudococcus sp.

Pseudococcus sp.. Sumber:
http://bugwoodcloud.org/images/768×512/5439543.jpg

Serangga hama ini dikenal dengan kutu lilin, termasuk ordo Homoptera, famili Pseudococcidae. Serangga hama ini disebut kutu lilin karena tubuhnya diselimuti serbuk lilin berwarna putih. Bentuknya lonjong dan disekeliling tubuhnya terdapat duri-duri yang ukuranya hampir sama kecuali dua buall di bagian belakang lebih panjang dari yang lain. Telur kutu lilin diletakkan pada permukaan daun tanaman. Telurnya ditutupi dengan lapisan-lapisan lembut lilin putih seperti kapas. Larva aktif bergerak. Kutu lilin mempunyai keperidian yang cukup tinggi. Seekor betina dapat menghasilkan telur 300-600 butir dalarn waktu tidak lebih dari 2 minggu Bagian tanaman yang terserang berwarna kuning kemudian hitam. Bila akarnya terserang pertumbuhan tanaman terhambat dan menjadi kerdil serta memperlihatkan tanaman yang abnormal. Demikian pula daun menjadi kering dan mati. Kutu lilin menghasilkan eksudat yang disebut “honeydew” dan keberadaan honeydew menyembabkan timbulnya penyakit embun jelaga(Kalshoven, 1981)

Coreidae

Coreidae. Sumber:
https://thelifeofyourtime.files.wordpress.com/2011/06/dscf0937.jpg

Kedudukan taksonomi walang sangit(Anonim (2007),
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropada
Kelas : Insecta
Ordo : Hemiptera
Famili : Coreidae
Subfamili : Alynidae
Genus : Leptocorisa
Spesies : (Leptocorisa acuta Thunberg.)

Serangga dewasa berbentuk ramping dan berwarna coklat dengan ukuran panjang sekitar 14-17 mm dan lebar 3-4 mm dengan tungkai dan antena yang panjang. Perbandingan antara jantan dan betina 1:1, setelah menjadi imago serangga ini baru dapat kawin. Lama periode bertelur rata-rata 57 hari sedangkan walang sangit dapat hidup selama rata-rata 80 hari. Walang sangit dikenal karena baunya yang busuk atau sangit, kalau digangu walang sangit akan terbang sambil mengeluarkan bau yang berasal dari abdomennya. Sekresi zat cair berbau tidak enak ini merupakan pertahanan walang sangit terhadap serangan musuh (Devensive secretion) (Thanjono dan Harahap, 1994).

Sesuai dengan sifat serangan dari hama walang sangit maka pada umumnya bulir padi menjadi hampa sebab cairan sel bulir padi yang sedang terisi dihisap sehingga bulir padi menjadi setengah hampa dan akan mudah pecah jika masuk dalam pengilingan (Himawan, dkk 1997). Hilangnya cairan menyebabkan biji padi menjadi kecil, tetapi jarang yang menjadi hampa karena mereka tidak mengosongkan seluruh isi biji yang sedang tumbuh (Tjahjono dan Harahap, 1994).

Nimfa dan imago tidak hanya menghisap bulir padi pada fase masak susu akan tetapi mereka juga menghisap cairan batang padi. Nimfa lebih aktif dari pada imago, akan tetapi imago dapat merusak lebih hebat karena hidupnya lebih lama. Cara penghisapan walang sangit tidak seperti kepik lainnya, walang sangit tidak melubangi bulir padi pada waktu menghisap tetapi menusuk melalui rongga diantara lemma dan palea. Dalam keadaan yang tidak terdapat bulir yang masak susu, walang sangit masih dapat memakan bulir padi yang mulai mengeras dengan mengeluarkan enzim yang dapat mencerna karbohidrat (Tjahjono dan Harahap, 1994).

Kira-kira bulan Maret, padi akan berbunga dan mulai masak susu maka walang sangit mulai berkeliaran di sekitar tanaman padi. Jika panen selesai walang sangit pindah tempat ke padang rumput untuk mencari makanan. Penyebaran hama walang sangit tidak hanya terbatas di Jawa barat tetapi di daerah Jawa tengah, Jawa timur, Sumatera, dan Kalimantan. Cara membasmi walang sangit ini bermacam-macam misalnya ditangkap dengan jaring bambu, jaring dipasang di tengah sawah di beri getah ada pula yang memancing dengan cahaya lampu yang dibawahnya dipasang ember berisi air (Sribimawati, 1995)

Kedelai

Phaedonia inclusa

Bertubuh kecil, hitam bergaris kuning. Bertelur pada permukaan daun Jenis hama ini sering dijumpai pada pagi dan sore hari. Penyerangan terjadi pada semua bagian tanaman diantaranya adalah: daun muda, pucuk, tunas, polong muda dan bunga. Siklus hidupnya adalah antara 20-21 hari yang berarti dalam satu kali musim pertanaman kedelai dapat diserang oleh 2 atau 3 generasi. Kumbang tersebut memiliki bentuk tubuh yang kecil, hitam bergaris kuning, dan bertelur pada permukaan daun(Suprapto, 1999).

Kumbang daun (Phaedonia inclusa Stal.) menyerang kedelai sejak stadia ulat (larva) sampai kumbang . Dalam Tabel 1 dapat kita lihat bahwa hanya ada satu jenis varietas saja yang terserang hama kumbang daun tersebut. Imago dari pada hama kumbang daun ini dapat hadir di pertanaman sejak awal pertumbuhan tanam sampai panen. Cahyono (2007) mengemukakan bahwa imago memiliki ciri-ciri kepala dan toraknya (dada) berwarna merah, sayap depan berwarna hitam kebiruan mengkilap dengan bagian pinggir berwarna kuning. Kumbang jantan memiliki ukuran tubuh lebih pendekdari kumbang betina. Kumbang dewasa dan larvanya sama-sama merusak pucuk daun, tangkai daun, bunga, dan polong. Bentuk kerusakan. Menurut Ismunadji et al (1990) telur diletakkan berkelompok dalam 5-10 butir/kelompok dipermukaan bawah daun. Larva terdiri dari 4 instar. Larva muda berwarna hitam keabu-abuan. Umur larva rata-rata 12 hari. Pupa dibentuk di dalam tanah, berwarna kuning pucat dan umur pupa rata-rata 8 hari.

 

Etiella zenkiniella

Etiella zenkiniella. Sumber:
http://www.nbaii.res.in/insectpests/images/Etiella-zinckenella7.jpg

zinkenella termasuk kedalam ordo Lepidoptera dan family Pyralidae. Ngengat dewasa mempunyai warna sayap yang jelas, bagian depan dan dasar sayap depan berbelang berwarna biru abu-abu kehijauan yang menyerupai pita kotor. SAyap belakang seluruhnya berwarna kehijauan. Betina dewasa mampu menghasilkann 200 butir telur (Singh, 1990).

Telur diletakkan berkelompok 4-15 butir dibagian bawah daun, kelopak bunga atau pada polong. Telur berbentuk lonjong, dengan diameter 0,6 mm. pada saat diletakkan, telur berwarna putih mengkilap, kemudian berubah menjadi kemerahan dan berwarna jingga ketika akan menetas. Stelah 3-4 hari, telur menetas dan keluar larva berwarna putih kekuningan (Marwoto, 2006).

Larva dewasa mempunyai kepala berwarna coklat keemasan pada bagian tasnya dengan bagian mulut coklat gelap, tetapi pada larva yang masih muda, kepalanya berwarna hitam. Di bagian belakang kepala terdapat sebuah perisai berwarna hitam, tetapi pada waktu istirahat, tubuhnya berwarna hijau sedikit kemerahan yang akan lebih jelas dengan bertambahnya usia. Ada beberapa belang berwarna abu-abu kecoklata disepanjang tubuh yang lebih jelas pada saat larva masih muda(Austin et al., 1993).

Pupa berwarna coklat dengan panjang 8-1- mm dan lebar 2 mm dibentuk dalam tanah denga terlebih dahulu emmbuat sel dari tanag. Setelah 9-15hari, pupa berubah menjadi ngengat(Kalshoven, 1981).

Gejala serangan berupa luang gerek berbentuk bundar pada kulit polong. Apabila terdapat dua lubang berkas gerekan [ada polong, berarti ulat sudah menigngalkan polong. Polong yang mengalami rusak berat, biji kedela didalamnya keropos dan tidak ada gunanya lagi. Ini berarti kedelai petani mengalami kegagalan (Kartasapoetra, 1993).

DAFTAR PUSTAKA


Anonimous. 2014. Eggplant lace bug. http://www.forestryimages.org/browse/detail.cfm?imgnum=5512011 Diakses tanggal 5 Desember 2014.

Anonim. 2010. Diamondback Moth (Plutella xylostella). Kementrian Pertanian Republik Indonesia. Tersedia dalam www.indopetani.com. diakses 10 Oktober 2011.

Anonim, 2007a , Walang Sangit (Leptocorisa oratorius) Http: //www.biogen.Litbang. Deptan.go.id./berita_artikel/berita walang sangit php. Diakses tanggal 5 Desember 2014

Austin, A.D., T.C.R. White., D.A. Lawlzer and D.G. Taylor. 1993. Biology of Etiella behirii zeller (Lepidoptera: Pyralidae): pest of seed Lucerne in South Australia. Transactions of the Royal Society of South Australia 117: 67-76.

Cahyono, Bambang. 2007. Kedelai, Teknik Budidaya dan Analisis Usaha Tani.

Christina, D. 2007. Aphids in wheat. http://bulletin. ipm.illinois.edu/pastpest/Articles/200306d.htm Diakses tanggal 5 Desember 2014.

Harahap, I. S. dan B. Tjahjono. 1994. Pengendalian Hama Penyakit Padi. Penebar             Swadaya. Jakarta.

Hermintato. 2010. Hama ulat daun kubis Plutella xylostella L. Dan upaya pengendaliannya. Tersedia dalam http://www.gerbangpertanian.com/2010/08/hama-ulat-daun- kubisplutella.html. Diakses tanggal 5 Desember 2014.

Himawan, T, Raharjo, dan T.B. Mudjiono, G. 1991, Hama-hama penting Tanaman Pangan. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang.

Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. Resivel and Translated by P.A. van der laan. PT. Ichtiar Baru – van hoeve, Jakarta.

Kartasapoetra. 1993. Hama Tanaman Pangan dan perkebunan. Bumi Aksara, Jakarta.

Mardiningsih, T.L. Rohimatin, dan M. Rizal. Hama Terong dan STrategi Pengendalianya. http://balittro.litbang.pertanian.go.id/ind/images/publikasi/monograph/nilam/HAMA%20 NILAM%20DAN%20STRATEGI%20PENGENDALIANNYA.pdf. Diakses tanggal 5 Desember 2014.

Marwoto. 2006. Hama, Penyakit dan Masalah hara pada Tanaman kedelai. Pusat Penelitian dan pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.

Peredo, L.C. 2002. Description, Biology, and Maternal Care of Pachycoris Khughii (heteroptera: Scutelleridae). Florida Entomologist 85: 464-473.

Rukmana, R. 1994. Budi Daya Kubis Bunga & Brokoli. Kanisius. Yogyakarta.
Setiawati, W. 2001. Kehilangan hasil buah tomat akibat seranganHelicoverpa armigera Hubn Bull. Penel. Hort 19: 14-17.

Sastrosiswojo, S. dan R.S. Basuki. 2002. Identifikasi masalah, karakterisasi dan penanggulangan masalah – masalah kritis pembangunan sayuran. Lap. Tengah Tahun. Balitsa.

Singh,S.R. 1990. Insect Pest of Tropical Food Legumes. John Wiley and Sons, New York.

Sribimawati, T.,1995, Serangga Dalam Linkungan Hidup. Penerbit Okodoma, Jakarta.

Suprapto. 1999. Bertanam Kedelai. Penebar Swadaya, Jakarta.

Widjono, Atsushi Naito dan Shigero Naito. 1990. Petunjuk Bergambar Untuk Identifikasi Hama dan Penyakit Kedelai di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. C.V. Aneka Ilmu, Semarang.

Tags: , ,

Laporan Praktikum Dasar-Dasar Pemuliaan Tanaman Acara II: Pengamatan Polen dan Kantung Embrio

Posted by miftachurohman on August 30, 2018
Laporan Praktikum, Pemuliaan Tanaman / No Comments

LAPORAN PRAKTIKUM
DASAR-DASAR PEMULIAAN TANAMAN
ACARA II

PENGAMATAN POLEN DAN KANTUNG EMBRIO

Disusun oleh:
Miftachurohman

LABORATORIUM PEMULIAAN TANAMAN DAN GENETIKA
JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2013

 

 

Hasil Pengamatan

Viabilitas Polen

Polen Bunga Jagung (Zea Mays)

Polen Bunga Jagung (Zea Mays)

1517+4546+4348+55574X100%=93%
Keterangan: Viabel
Persentase viabel = 92%

Polen Bunga Cabai (Capsicum sp.)

Polen Bunga Cabai (Capsicum sp.)

22+02+33+22+115X100%=80%
Keterangan: Viabel
Persentase viabel = 80%

Polen Bunga Terong (Solanum lycopersicum)

Polen Bunga Terong (Solanum lycopersicum)

78+45+2021+44+60605X100%=93%
Keterangan: Viabel
Persentase viabel = 93%

Polen Bunga Sepatu (Hibiscus sabdarifa)

Polen Bunga Sepatu (Hibiscus sabdarifa)

66+66+663X100%=100%
Keterangan: Viabel
Persentase viabel = 100%

Polen Bunga Pepaya (Carica papaya)

Polen Bunga Pepaya (Carica papaya)

241X100%=50%
Keterangan: Tidak Viabel
Persentase viabel = 50%

Perkecambahan Polen

Perkecambahan Polen Terong (Solanum lycopersicum)

Perkecambahan Polen Terong (Solanum lycopersicum)

15+01+14+05+035X100%=9%
Keterangan : Berkecambah

Perkecambahan Polen Cabai (Capsicum sp.)

Perkecambahan Polen Cabai (Capsicum sp.)

14+24+22+12+1125X100%=47%
Keterangan : Berkecambah

Perkecambahan Polen Jagung (Zea mays)

Perkecambahan Polen Jagung (Zea mays)

Keterangan : Polen tidak berkecambah

Perkecambahan Polen Bunga Sepatu(Hibiscus sabdarifa)

Perkecambahan Polen Bunga Sepatu(Hibiscus sabdarifa)

414+48+914+514+8175X100%=45%
Keterangan : Berkecambah

Perkecambahan Polen Pepaya (Carica papaya)

Perkecambahan Polen Pepaya (Carica papaya)

114+17+111+112+1125X100%=9%
Keterangan : Berkecambah

Hasil Pengamatan Kantung Embrio Torenia spp.

Hasil Pengamatan Kantung Embrio Torenia spp.

Keterangan: Yang di tandai dengan lingkaran warna merah adalah embyio sac Torenia spp.

Pembahasan

 

Sebagian besar tumbuhan mempunyai siklus hidup dengan 2 generasi yang berbeda: generasi gametofit (tumbuhan pembawa gamet) dan generasi sporofit (tumbuhan pembawa spora). Gemetofit menghasilkan gamet-gamet yang bergabung untuk membentuk sporofit, yang kelak akan berkembang menghasilkan spora yang akan berkembang menjadi gametofit. Sporogenesis merupakan proses gametogenesis pada bagian jantan bunga yang menghasilkan spora-spora produktif yang disebut serbuk sari/polen (Elrod dan Stanfield, 2007).

Menurut Garcia-Lobredo et al (2003), serbuk sari atau polen adalah alat reproduksi jantan yang terdapat pada tumbuhan dan mempunyai fungsi yang sama dengan sperma sebagai alat reproduksi jantan pada hewan. Serbuk sari berada dalam kepala sari (antera) tepatnya dalam kantung yang disebut ruang serbuk sari (theca). Setiap antera rata-rata memiliki dua ruang serbuk sari yang berukuran relative besar.

Perkecambahan secara in vitro adalah perkecambahan serbuk sari dengan bantuan medium yang kondisinya hampir sama dengan kepala putik sehingga serbuk sari dapat berkecambah dengan maksimal. Untuk perkecambahan serbuk sari pada umumnya diperlukan suhu yang berkisar antara 15º – 35º C. Pada suhu yang lebih tinggi akan terjadi banyak penguapan air dan banyak serbuk sari yang akan mengering. Pada suhu antara 40º – 50º C banyak serbuk sari yang mati. Sebaliknya pada suhu yang terlalu rendah, misalnya di bawah 10º C, tidak ada serbuk sari yang berkecambah. Pada umumnya suhu optimum yang diperlukan untuk pertumbuhan tabung serbuk sari (pollen tube) berkisar pada 25º C (Darjanto dan Satifah, 1982).

Serbuk sari akanberkecambah pada permukaan kepala putik dan membentuk suatu tabung sari. Tabung sari ini akan tumbuh melalui jaringan tangkai putik menuju ke bakal biji. Di dalam kantong embrio akan terjadi pembuahan ganda yaitu satu gamet jantan dari tabung sari akan bergabung dengan sel telur membentuk embrio danyang satunya bergabung dengan inti kutub membentuk endosperm (Sutopo, 2010).

Pengecambahan polen dilakukan pada media sukrosa 8% dalam asam borat 15 ppm selama 2 jam dan dijaga kelembabannya. Larutan sukrosa 8% dalam media perkecambahan polen berfungsi sebagai sumber karbon dan untuk menjaga tekanan osmotik. Sedangkan asam borat 15 ppm berfungsi sebagai sumber boron yang menyempurnakan fungsi sukrosa dalam menjaga tekanan osmotik. Sukrosa dapat memperpanjang tabung polen dan meningkatkan persentase perkecambahan. Polen sebagian spesies tanaman, membutuhkan boron untuk kesempurnaan perkecambahan in vitro. Tanpa adanya asam borat, perkecambahan polen kentang kurang dari 5%. Konsentrasi boron yang tinggi mampu menurunkan daya kecambah. Penambahan boron di atas 1,6 mM dapat menurunkan perkecambahan polen kentang. Pengaruh penambahan boron dapat optimal apabila disertai pula dengan sukrosa. Di samping itu, kelembaban mampu mempercepat pembentukan tabung polen. Secara umum, perkecambahan polen dipengaruhi oleh beberapa faktor eksternal, yaitu sumber karbon, boron dan kalsium, potensial air, derajat keasaman media, kerapatan polen dalam media, dan aerasi dalam media kultur (Widiastuti, 2008).

Dari hasil pengamatan dapat diketahui bahwa polen jagung tidak mengalami perkecambahan. Polen terong, bunga sepatu, cabai, dan papaya mengalami perkecambahan dengan persentase beragam. Persentase perkecambahan terong sebesar 9%, bunga sepatu adalah 45%, bunga cabai adalah 47%, dan bunga papaya sebesar 9%. Bunga jangung tidak mengalami perkecambahan karena beberapa hal, Antara lain adalah karena proses pembuatan preparat yang salah, umur polen yang terlalu muda, dan juga polen sudah lama.

Viabilitas polen merupakan kemampuan polen untuk hidup,berkembang dan berkecambah jika berada pada kondisi yang menguntungkan. Serbuk sari dikategorikan viabel apabila buluh serbuk sari yang terbentuk sama atau lebih panjang dari diameter serbuk sari dan mampu menyerap zat warna aceto-carmine dengan baik (Shivanna dan Rangaswamy, 1992). Menurut Lubis (1993) serbuk sari dikatakan memiliki viabilitas rendah jika persentasenya dibawah 60%.

Dari hasil pengamatan didapatkan bahwa polen bunga pepaya tidak viabil. Hal ini karena persentase viabilitas polen bunga pepaya sebesar 50%. Sementara itu polen bunga yang lain bersifat viabil dengan persentase viabilitas masing masing polen yaitu pada polen bunga terong sebesar 93%, polen bunga jagung sebesar 92%, polen bunga sepatu sebesar 100%, dan polen bunga cabai sebesar 80%.

Masa kematangan stigma dan polen pada sebagian besar tumbuhan bunga terjadi dalam waktu singkat, yaitu antara 1-3 hari. Bahkan ada beberapa jenis tumbuhan , masa kematangan stigma dan polen hanya terjadi dalam beberapa jam saja (Heslop-Harrison dan Heslop-Harrison, 1970). Pada beberapa jenis tumbuhan lain, seperti Azadiracta indica, Averhoa carombala, Durio zibethinus, kematangan stigma dan polen terjadi dalam waktu yang berbeda, yaitu polen lebih dahulu mencapai viabilitas sementara stigma belum mencapai tahap matang (Soepadmo, 1989). Gejala itu merupakan suatu kendala yang dapat menyebabkan kegagalan dalam penyerbukan dan pembuahan baik alami maupun buatan, dan akhirnya dapat mengakibatkan gagalnya produksi buah (Garwood & Horvitz, 1985).

Mempelajari viabilitas dan perkecambahan polen mempunyai manfaat yang besar terutama bagi pemulia tanaman. Selain untuk penyimpanan plasma nutfah, juga berfungsi dalam melakukan persilangan buatan. Ada beberapa jenis tanaman yang bunga jantan dan bunga betinanya tidak mekar secara bersamaan. Oleh karena itu, perlu strategi agar tanaman tersebut dapat disilangkan. Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah dengan menanam bunga jantan lebih awal dari bunga betina, kemudian polen yang di hasilkan di simpan. Setelah bungan betina siap untuk penyerbukan, kemudian polen tersebut digunakan untuk melakukan penyerbukan.

Kesimpulan

  1. Viabilitas polen merupakan kemampuan polen untuk hidup,berkembang dan berkecambah jika berada pada kondisi yang menguntungkan. Perkecambahan secara in vitro adalah perkecambahan serbuk sari dengan bantuan medium yang kondisinya hampir sama dengan kepala putik sehingga serbuk sari dapat berkecambah dengan maksimal.
  2. Polen yang viable adalah polen bunga terong, polen bunga sepatu, polen bunga jagung, dan polen bunga cabai. Polen yang tidak viable adalah polen bunga papaya.
  3. Polen yang berkecambah adalah polen bunga terong, polen bunga sepatu, polen bunga cabai, dan polen bunga papaya. Polen bunga jagung tidak berkecambah.

 

Daftar Pustaka

Darjanto dan S. Satifah. 1982. Pengetahuan Dasar Biologi Bunga dan Teknik Penyerbukan Silang Buatan. PT. Gramedia, Jakarta.

Heslop-Harrison, J. and Y. Heslop-Harrison. 1970. Evaluation of Pollen Viability by Enzymatically Induced Fluorescence; Intracellular Hydrolysis of Florescein Diacetate. Stain Technology. 45 (1): 115-120.

Garwood, N.C. and C.C. Horvits. 1985. Factors Limiting Fruits and Seed Production of a Temperate Shrub, Staphylea Trifolia L. (Staphyleaceae). Amer. J. Scien. 50: 91-96.

Garcia-Lobredo, Carlos., G. Kattan., C. Murcia., and P. Quintero-Marin. 2003. Beetle pollination and fruit predation of Xanthosoma daguense (Araceae) in an Andean cloud forest in Colombia. Journal of Tropical Ecology 20:459–469.

Lubis, U.A. 1993. Pedoman Pengadaan Benih Kelapa Sawit. Pematang Siantar: Pusat Penelitan Kelapa Sawit.

Shivanna, K.R. dan N. S. Rangaswamy, 1992. Pollen Biology A laboratory Manual. Berlin, Springs-Verlag.

Soepadmo, E. 1989. Contribution of Reproductive Biological Studies Towards the Conservation and Development of Malaysian Plant Genetic Resources. dalam A.H. zakri (ed.) Genetic Resources of Under- utilized Plants in Malaysia. Proceeding of The National Workshop on Plant Genetic Resources. Subang Jaya, Malaysia 23 Nov. 1988. Malaysia National Committee on Plant Genetic Resources.

Sutopo, L. 2010. Teknologi Benih. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Widiasturi, A. E.R. Palupi. 2008. Viabilitas serbuk sari dan pengaruhnya terhadap keberhasilan pembentukan buah kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Jurnal Biodiversitas 9:35-38.

Tags: , , , ,

Laporan Praktikum Dasar-Dasar Pemuliaan Tanaman Acara: Heretabilitas dan Kemajuan Genetik

Posted by miftachurohman on August 24, 2018
Laporan Praktikum, Pemuliaan Tanaman / No Comments

LAPORAN PRAKTIKUM
DASAR-DASAR PEMULIAAN TANAMAN

HERITABILITAS DAN KEMAJUAN GENETIK

Disusun oleh:
Miftachurohman

LABORATORIUM PEMULIAAN TANAMAN DAN GENETIKA
JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2013

 

Hasil Pengamatan

 

Heritabilitas

Varian genotipe (G2) = 5,32145
Varian sesatan (E2) = 12,0356
Varian fenotipe (P2) = varian Genotipe(G2) + varian sesatan (E2)
Varian fenotipe = 17,35705
Heritabilitas (H2) = G2P2
Heritabilitas (H2) = 0,306587
= 30,66 %

Kesimpulan: H2 > 20 % maka heretabilitasnya tergolong sedang, jadi terdapat pengaruh genetik dan pengaruh lingkungan terhadap fenotip tanaman. Sehingga perlu usaha yang lebih untuk memperlihatkan ekspresi genetiknya.

Hasil Seleksi

µ = 15,19
µ1 = 20,03
µ2 = 19,64
µ3 = 19,01

Perhitungan diferensial seleksi dan intensitas seleksi dengan p=0,03
S = µs – µo
S = µ1 – µo
S = 20,03 – 15,19
= 4,84

Perhitungan diferensial seleksi dan intensitas seleksi dengan p=0,05
S = µs – µo
S = µ2 – µo
S = 19,64 – 15,19
= 4,45

Perhitungan diferensial seleksi dan intensitas seleksi dengan p=0,10
S = µs – µo
S = µ3 – µo
S = 19,01 – 15,19
= 3,82

p s o S σ i
0,03 20,03 15,19 4,84 2,16 2,25
0,05 19,64 15,19 4,45 2,16 2,06
0,1 19,01 15,19 3,82 2,16 1,77

Tabel 1. Nilai Hasil Seleksi

Diagram Distribusi Normal Tinggi Seratus Tanaman

Diagram Diferensial Seleksi dengan p=0,03

Diagram Diferensial Seleksi dengan p=0,05

Diagram Diferensial Seleksi dengan p=0,10

Perhitungan Perhitungan Harapan Kemajuan Genetik

Harapan Kemajuan Genetik dengan p=0,03
R=i1.p.H2
R= 2,25. 0,84. 0,31
= 0,59

Harapan Kemajuan Genetik dengan p=0,05
R=i2.p.H2
R= 2,06. 0,8. 0,3
= 0,51

Harapan Kemajuan Genetik dengan p=0,10
R=i3.p.H2
R= 1,77. 0,88. 0,31
= 0,48

p i P H2 R
0,03 2,25 0,84 0,31 0,58
0,05 2,06 0,8 0,31 0,51
0,1 1,77 0,88 0,31 0,49

Tabel 2. Perhitungan Nilai Harapan Kemajuan Genetik

 

Dagram Harapan Kemajuan Genetik dengan p=0,03

Diagram Harapan Kemajuan Genetik dengan p=0,05

Diagram Harapan Kemajuan Genetik dengan p=0,10

Pembahasan

Heritabilitas menyatakan perbandingan atau proporsi varian genetic terhadap varian total(Varian fenotip) yang biasanya dinyatakan dengan persen(%). Heritabilitas dituliskan dengan huruf H atau h2. Heritabilitas dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu heritabilitas dalam arti sempit dan heritabilitas dalam arti luas. DAlam arti sempit, heritabilitas merupakan perbandingan Antara varian aditif dan varian fenotip. Heritabilitas dalam arti luas adalah perbandingan Antara varian genetic total dan varian fenotip(Mangoendidjodo, 2003).

Menurut Sabu et al. (2009) nilai heritabilitas yang tinggi berarti faktor genetik memberikan kontribusi penting dalam proses seleksi berikutnya. Nilai heritabilitas menunjukkan bagaimana proporsi suatu gen dapat diturunkan pada generasi berikutnya berdasarkan observasi sifat fenotipe yang diamati. Nilai heritabilitas menunjukkan bagaimana proporsi suatu gen dapat diturunkan pada generasi berikutnya berdasarkan observasi sifat fenotipe yang diamati.

Menurut Poehlman (1983), keberhasilan suatu program pemuliaan tanaman pada hakekatnya sangat tergantung kepada adanya keragaman genetik dan nilai duga heritabilitas. Sementara itu Knight (1979) menyatakan bahwa pendugaan nilai keragaman genetik, dan nilai duga heritabilitas bervariasi tergantung kepada faktor lingkungan. Bila tingkat keragaman genetik sempit maka hal ini menunjukkan bahwa individu dalam populasi tersebut relatif seragam. Dengan demikian seleksi untuk perbaikan sifat menjadi kurang efektif (Wilson, 1981). Sebaliknya , makin luas keragaman genetik , makin besar pula peluang untuk keberhasilan seleksi dalam meningkatkan frekuensi gen yang diinginkan. Dengan kata lain , kesempatan untuk mendapatkan genotipe yang lebih baik melalui seleksi semakin besar (Allard, 1960; Poespodarsono, 1988).

Heritabilitas dapat dijadikan landasan dalam menentukan program seleksi. Seleksi pada generasi awal dilakukan bila nilai heritabilitas tinggi, sebaliknya jika rendah maka seleksi pada generasi lanjut akan berhasil karena peluang terjadi peningkatan keragaman dalam populasi (Falconer, 1970).

Dahlan dan Sumarjan (2001) menyatakan bahwa heritabilitas menentukan kemajuan seleksi, makin besar nilai heritabilitas makin besar kemajuan seleksi yang diraihnya dan makin cepat varietas unggul dilepas. Sebaliknya semakin rendah nilai heritabilitas arti sempit makin kecil kemajuan seleksi diperoleh dan semakin lama varietas unggul baru diperoleh.

Kriteria nilai heritabilitas dalam arti luas menurut Bari dan Samsudin(1976) adalahs ebagai berikut:

H < 0,2 = Heritabilitas rendah
0,2<H<0,5 = Heritabilitas sedang
H>0,5 = Heritabilitas tinggi

Dari hasil praktikum, nilai H2 tinggi tanaman dari 100 tanaman padi adalah 30,66%. Nilai H2 > 20 % maka heretabilitasnya tergolong sedang. jadi terdapat pengaruh genetik dan pengaruh lingkungan terhadap fenotip tanaman. Sehingga perlu usaha yang lebih untuk memperlihatkan ekspresi genetiknya.

Nilai heritabilitas yang tinggi sangat berperan dalam meningkatkan efektifitas seleksi. Pada karakter yang memiliki heritabilitas tinggi (Tabel 2 dan Tabel 3) seleksi akan berlangsung lebih efektif karena pengaruh lingkungan kecil, sehingga faktor genetik lebih dominan dalam penampilan genetik tanaman. Pada karakter yang nilai duga heritabilitasnya rendah seleksi akan berjalan relatif kurang efektif, karena penampilan fenotipe tanaman lebih dipengaruhi faktor lingkungan dibandingkan dengan faktor genetiknya.

Suatu dugaan heritabilitas yang rendah menyatakan bahwa kolerasi yang rendah antara genotipe dan fenotipe. Dugaan heritabilitas rendah juga menyatakan bahwa ragam yang disebabkan aksi gen aditif mungkin kecil. Apabila heritabilitas satu sifat rendah maka aksi gen bukan aditif seperti dominan lebih, dominan dan epistasis adalah penting. Nilai heritabilitas tinggi yang diikuti dengan kemajuan genetik harapan tinggi akan lebih meningkatkan keberhasilan seleksi. Hal ini sesuai dengan pendapat Muliarta dkk(2003) dimana heritabilitas akan lebih bermanfaat bila dipandu dengan simpangan baku fenotipik dan intensitas seleksi untuk mengetahui kemajuan genetik atau respon seleksi suatu karakter. Nilai heritabilitas tinggi yang diikuti oleh respon seleksi tinggi merupakan hasil kerja gen aditif. Sebaliknya suatu sifat yang memiliki nilai heritabilitas tinggi dan diikuti dengan respon seleksi rendah akibat pengaruh gen bukan aditif (dominan, epistasis)

Dari diagram distribusi normal tinggi seratus tanaman, dapat dilihat bahwa diagram berwarna merah semua. . Daerah yang berwarna merah menggambarkan keseratus tanaman yang diamati. Kemudian dilakukan seleksi terhadap 3% , 5% dan 10% tanaman tertinggi. Pada diagram diferensial seleksi dengan p=0,03, maka pada diagram aka nada bagian yang berwarna biru. Tanaman yang terseleksi tersebut ditunjukkan dengan daerah biru pada diagram. Warna biru ini akan semakin banyak ketika nilai p semakin besar. Hal ini menunjukkan bahwa jika tanaman yang diseleksi semakin banyak, maka warna biru pada diagram akan semakin banyak. Jika demikian, maka hasil seleksi dengan nilai p=0,3 maka hasil dari seleksi tersebut akan menunjukkan hasil yang paling baik. Hal ini akan semakin menurun jika nilai p semakin besar.

Kemajuan genetik harapan merupakan tolak ukur dalam persen dari pergeseran nilai tengah populasi dari kondisi populasi sampai kondisi setelah dilakukan seleksi, dengan asumsi besaran differensial.  Menurut Quissenberry,(1982) besarnya. kemajuan genetik sejalan dengan hipotesis segregasi transgresif, dimana karakter hasil dikendalikan oleh sistem gen ganda yang bekerja secara efek dominan, genotipe yang mengakumulasi lebih banyak gen dominan mempunyai hasil lebih tinggi.

Dari hasil perhitungan kemajuan genetik pada p=0,03;0,05;dan 0,1, maka didapatkan nilai kemajuan genetic berturut-turut sebesar 0,58; 0,51; dan 0,49. Kemajuan genetik dapat dijadikan petunjuk dalam penentuan kegiatan seleksi. Bila nilai kemajuan generik harapan suatu karakter tinggi berarti besar peluang untuk dilakukanya perbaikan karakter tersebut melalui seleksi. Sebaliknya jika nilai kemajuan genetik harapan rendah, maka kegiatan seleksi pada karakter yang bersangkutan dapat dilakukan pada satu kali generasi untuk membentuk populasi yang seragam atau kegiatan seleksi dapat dihentikan karena perbaikan yang akan dicapai relatif rendah. Kemajuan genetik (R) dapat ditentukan melalui hubungan heritabilitas (H2), deferensial seleksi (selection differential) yaitu S (S=µs0) dan intensitas seleksi (intensity of selection) yaitu i (i = Sp).

R = H2S, dengan nilai S yang dibakukan menjadi:
Rp=H2Sp, dengan i = Sp maka bentuknya menjadi:
R= i PH2

Kesimpulan

  1. Heritabilitas menyatakan perbandingan atau proporsi varian genetic terhadap varian total(Varian fenotip) yang biasanya dinyatakan dengan persen(%).
  2. Nilai heritabilitas menunjukkan bagaimana proporsi suatu gen dapat diturunkan pada generasi berikutnya berdasarkan observasi sifat fenotipe yang diamati. Nilai heritabilitas yang tinggi berarti faktor genetik memberikan kontribusi penting dalam proses seleksi berikutnya.
  3. Nilai heritabilitas dari 100 tanaman padi adalah 30,66%

Daftar Pustaka

Allard,R.W., 1960. Principles of Plant Breeding. John Wiley and Sons Inc, New York.

Bari A.,S.Musa dan E. Samsudin. 1976. Pengantar Pemuliaan Tanaman, Departemen Agronomi Fakultas Pertanian Bogor.  

Falconer, D.S. 1970. Introduction to Quantitative Genetic, The Ronald Press Company, New York.

Knight, R. 1979. Quantitative Genetics, Statistics and Plant Breeding. In G.M. Halloran, R.

Knight, K.S. Mc Whirter and D.H.B. Sparrow (ed.) Plant Breeding. Australia Vice Consellors Comite, Brisbane.  

Mangoendidjojo, W. 2003. Dasar-dasar Pemuliaan Tanaman. Kanisius, Yogyakarta.

Muliarta, N. Kantun, Sanisah dan N. Soemenaboedhy. 2005. Upaya mendapatkan padi beras merah tahan kekeringan melalui metode seleksi “Back Cross”. Penelitian Hibah Bersaing XI/3.

Poelhman,J.M.1983. Crop breeding a hungry word,in: D.R. Wol(Ed.). Crop Breeding.Am.Soc. of Agron. Crop. Sci. Of Amirica.Madicon.Wisconsin.

Poespodarsono, S. 1988. Dasar-Dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor. Bekerja sama dengan Lembaga Sumberdaya Informasi-IPB. Bogor.

Quissenberry, J.E. 1982. Breeding for Drought resistance and plant water use efficiency. Breeding for less favorable environment , Jonh wiley and Son, INC., Wisconsin, USA.

Sabu, K.K., M.Z. Abdullah, L.S Lim, R. Wickneswari. 2009. Analysis of heritability and genetic variability of agronomically important tarits in Oryza sativa L. x O. rufipogon Cross. Agronomy Res. 7:97-102.

Sumarjan. 2001. Klasifikasi padi lokal (Oryza sativa. L.) di Lombok berdasarkan sifat dan ciri morfologi-anatomi. (Thesis). Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Wilson,D., 1981. Breeding for Morphological and Physiological traits. In K.j.Free (ed). Plat breeding II. The Gowa Sate University Press.Minnesota.

Tags: , , ,