Nematologi Pertanian

Laporan Praktikum Pengantar Mikologi Pertanian Acara V: Budidaya Jamur Tiram

Posted by miftachurohman on July 21, 2018
Laporan Praktikum, Nematologi Pertanian / No Comments

LAPORAN PRAKTIKUM
PENGANTAR MIKOLOGI PERTANIAN
ACARA 5

BUDIDAYA JAMUR TIRAM


Disusun oleh:
Miftachurohman
12969

Asisten:
Rezki Ayu Dian Herowati
Riska Awalia Putri

LABORATORIUM ILMU PENYAKIT TUMBUHAN KLINIK
JURUSAN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015

 

TUJUAN

 

  1. Mengetahui cara budidaya jamur tiram (Pleurotus sp.)
  2. Mengetahui cara pembuatan media tanam jamur tiram (Pleurotus sp.)

 

TINJAUAN PUSTAKA

 

Jamur  tiram putih  (Pleurotus ostreatus)  mulai  dibudidayakan  pada tahun 1900 dan jamur tiram kelabu (Pleurotus sajor caju)  pada tahun  1974. Kegiatan  budidaya spesies jamur  ini sebagai bahan pangan. Salah satu faktor yang perlu diperhatikan  dalam budidaya yaitu ketersediaan substrat (Brock dan Michael, 1991).  Dari hasil penelitian dan riset Badan Kesehatan Dunia (WHO), jamur tiram memenuhi standar  gizi sebagai makanan yang layak dikonsumsi, enak dimakan, tidak beracun, dan memiliki kandungan  gizi yang tinggi serta berkhasiat sebagai obat berbagai macam penyakit (Sumiati dkk, 2005). Taksonomi dari  jamur tiram putih yaitu:

Kingdom : Fungi
Filum : Basidiomycota
Kelas : Homobasidiomycetes
Ordo : Agaricales
Family : Tricholomatacea
Genus : Pleurotus
Spesies : Pleurotus sp.

Bibit jamur merupakan faktor yang menentukan seperti halnya bibit untuk tanaman lainnya, karena dari bibit yang unggul akan menghasilkan tubuh buah yang berkualitas tinggi dan memungkinkan dapat beradaptasi terhadap lingkungan yang lebih luas (Chang dan Miles, 1989: 20-21). Dalam proses pembuatan kultur induk, para pembuat bibit pada umumnya lebih memilih media biji-bijian daripada media kayu. Hal ini dikarenakan tingginya tingkat keberhasilan, murah, dan mudah pembuatannya. Selain itu, keuntungan utama dari biji-bijian adalah ketersediaan nutrisi yang tinggi bagi pertumbuhan jamur. Kekurangannya adalah tingginya kandungan nutrisi ini juga berakibat tingginya resiko kontaminasi dibandingkan bahan-bahan lain. Biji-bijian yang sering digunakan adalah gandum, sorgum, milet, beras, dan jagung.

Kayu adalah sumber karbon dan karbon dibutuhkan oleh jamur sebagai sumber energy dan untuk membangun massa sel. Jamur membutuhkan selulosa, lignin, karbohidrat, dan serat. Jamur kayu memiliki tiga enzim penting yaitu, selulase, hemiselulase dan ligninase. Ketiga enzim ini digunakan untuk mendegradasi lignoselulosa yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin sehingga menjadi siap dikonsumsi oleh jamur (Husen dkk, 2002).

Jamur  tiram putih  (Pleurotus ostreatus  L.) merupakan salah satu  jenis jamur konsumsi yang cukup  digemari masyarakat. Jamur tiram putih  termasuk dalam kelompok Basidiomicetes, yakni  kelompok jamur busuk putih yang ditandai dengan tumbuhnya miselium berwarna putih memucat pada sekujur media tanam.  Jamur tiram putih mengandung protein, lemak, fosfor, besi, thiamin dan riboflavin lebih tinggi dibandingkan jenis jamur lain (Djarijah dan Djarijah, 2001).

 

METODE PRAKTIKUM

 

Praktikum Mikologi yang berjudul Budidaya Jmur Tiram dilaksanakan pada (lupa) di Laboratorium Ilmu Penyakit Tumbuhan Klinik dan Rumah Kaca, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah petridish, sklapel, Erlenmeyer, alcohol, lampu Bunsen, jarum ent, korek, tisu, PDA, plastic, autoklaf manual. Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah jamur tiram segar, PDA, asam laktat, serbuk gergaji kayu sengon, gips, TSP, bekatul, bibit jamur tiram beli, dan bibit jamur tiram di buat sendiri.

Cara kerja dalam praktikum ini di bagi menjadi tiga bagian, yaitu pembuatan bibit jamur tiram dan, pembuatan media tanam, dan penanaman bibit jamur tiram. Pada pembuatan bibit jamur tiram, langkah kerja yang dilakukan adalah bagian dalam tangkai jamur tiram putih diiris secara aseptis dengn ukuran kurang lebih 0,5X0,5 cm. irisan tersebut diletakkan dalam plate PDA di cawan petri. Kemudian diinkubasikan selama 1 minggu dan dipindahkan biakan dalamPDA miring dalam tabung reaksi sehingga diperoleh biakan murni jamur tiram putih. Seluruh biakan jamur tiram putih dibiakkan dalam PDA miring dalam starter dan inkubasikan selama 1 minggu sehingga seluruh media starter dipenuhi oleh benang-benang (miselium) jamur.

Media starter yang telah dipenuhi miselium jamur diambik dengan pinset dan diletakkan dalam media bibit. Diinkubasikan sleama 2 minggu sampai seluurh media bibit dipenuhi oleh miselium jamur. Pada pembuatan media tanam, serbuk gergaji dengan bahan tambahan lainya dicampur sambal diperciki dengan air sehingga diperoleh kandungan air kurang lebih sebesar 60%. Selanjutnya bahan-bahan tersebut dimasukkan ke dalam plastic yang tahan panas, dipadatkan dan selanjutnya dikukus selama minimal 4 jam dan kemudian didinginkan selama 24 jam.

Cara penananam yang dilakukan adalah, setelah media tanam dingin, kemudian diisi dengan bibit secara aseptis di bagian permukaan media lalu dibenamkan dalam media tanam sedalam 1-1,5 cm. kemudian kantong plastic ditutup dan disimpan dalam ruangan dengan suhu kamar selama 3-4 minggu, setelah seluruh permukaan media tanam penuh ditumbuhi benag-benang jamur, kantong plastic dibuka pada bagian atas. Pemeliharaan dilakukan dengan menjaga agar kelembaban tetap tinggi yaitud dengan penyiraman dengan disemprot 2-3 kali sehari. Kebersihan jamur harus tetap terjaga untuk menghindaru adanya hama dan penyakit mengganggu pertumbuhan jamur.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

Jamur tiram merupakan termasuk ke dalam family Pleurotus. Jamur ini dapat membentuk tubuh buah yang dapat dikonsumsi. Jamur tiram adalah jamur kayu yang tumbuh berderet menyamping pada batang kayu  lapuk. Jamur ini memiliki tubuh buah yang tumbuh mekar membentuk corong dangkal seperti kulit kerang (tiram). Tubuh buah jamur ini memiliki tudung (pileus) dan tangkai (stipe atau  stalk). Pileus berbentuk mirip cangkang tiram berukuran 5-15 cm dan permukaan bagian bawah berlapis-lapis seperti insang berwarna putih dan lunak. Tangkainya dapat pendek atau panjang (2-6  cm) tergantung pada kondisi lingkungan dan iklim yang mempengaruhi pertumbuhannya. Tangkai ini menyangga tudung agak lateral (di bagian tepi) atau eksentris (agak ke tengah) (Djarijah, 2001).

Hal utama yang perlu diperhatikan dalam budidaya jamur tiram adalah mengenai nutrisi baglog yang harus tersedia di dalam baglog. Jamur tiram memiliki nutrisi yang berbeda untuk melakukan pertumbuhan vegetative dan generative. Oleh karena itu, ada bebera hal penting yang perlu di perhatikan terkait dengan penyediaan nutrisi. Penyediaan nutrisi tersebut berhubungan erat dengan bahan-bahan yang digunakan dalam membuat baglog.

Jika miselium jamur tumbuh tumbuh lebat pada masa vegetative, maka umur produksi baglog akan pendek. Hal ini sangat berbeda jika pertumbuhan miselium jamur lambat, yang berartibaha pertumbuhan vegetatifnya juga lambat. Kondisi yang demikian akan membuat pertumbuhan geberatif jamur akan berumur panjang, hal ini menjadikan baglog mempunyai umur produksi yang panjang. Hasil dari jamur yang akan di panen adalah hasil generative jamur, yaitu berupa tubuh buah. Oleh karena itu, masa generative jamur harus panjang.

Dari hasil uji bibit jamur, menunjukkan hasil sebagai berikut. Bibit jamur yang dibuat sendiri memiliki pertumbuhan miselium yang lambat. Hal ini dapat terlihat pada permukaan baglog. Pada baglog yang dengan bibit di buat sendiri, miselium memakan waktu lebih lama untuk menutupi seluruh permukaan baglog. Sementara itu, pada baglog yang digunakan bibit beli menunjukkan pertumbuhan miselium yang cepat dan pertumbuhanya lebat. hal ini menyebabkan permukaan baglog lebih cepat tertutupi oleh miselium jamur.

Dari kedua kondisi diatas dapat diketahui bahwa pada media yang sama, pertumbuhan bibit yang di buat sendiri dengan yang membeli memiliki perbedaan pertumbuhan. Miselium lebih cepat tumbuh pada bibit yang beli, sedangkan pada bibit yang dibuat sendiri, memiliki pertumbuhan yang lambat.

Bahan  yang umumnya  dijadikan sebagai  media tanam jamur antara lain serbuk  kayu, bahan ini merupakan bahan dasar  pembuatan media tanam. Serbuk kayu mengandung  beragam zat didalamnya yang dapat memacu pertumbuhan. Zat-zat yang dibutuhkan jamur untuk tumbuh yaitu karbohidrat serat dan lignin, sedangkan zat yang dapat  menghambat pertumbuhan yaitu zat metabolit sekunder atau yang umum dikenal sebagai getah dan atsiri. Selain gergaji bahan tambahan yang dicampur dalam  baglog jamur yaitu kapur, bekatul serta gips atau CaSO4 (Jazuri, 2013).

Lebih  lanjut ditambahkan  oleh Jazuri (2013), penambahan kapur sebagai sumber kalsium dan berguna untuk mengatur tingkat kemasaman media.Kandungan kalsium dan karbon sangat dibutuhkan bagi pertumbuhan  jamur dan sebagai penyumbang nutrisi pada saat jamur dikonsumsi.Penggunaan bekatul dimaksudkan sebagai sumber karbohidrat, karbon (C) dan nitrogen (N).Selain itu  vitamin B1 dan B2 juga terkandung didalamnya. Bekatul yang digunakan dapat berasal dari berbagai jenis padi yang perlu diperhatikan yaitu pemilihan harus yang masih baru dan belum bau tengik. Cahayana  dkk (1999) menerangkan bahwa kapur tohor berguna untuk mengatur pH media tanam jamur agar mendekati netral atau basa, selain itu untuk menigkatkan mineral yang diperlukan jamur untuk pertumbuhannya. Gipsum digunakan sebagai sumber kalsium dan sebagai bahan untuk memperkokoh media.

Sebelum  media siap  digunakan, diperlukan  adanya beberapa perlakuan. Perlakuan awal setelah mencampur berbagai bahan baku penyusun, selanjutnya  yaitu membiarkan campuran tersebut selama 7-10 hari, hal ini penting untuk menguapkan amoniak. Perlakuan selanjutnya adalah mensterilisasikan media tanam tersebut dengan suhu 85˚C dan dengan tekanan 2-3 atmosfir selama 48 jam. Tujuan sterilisasi adalah untuk  mencegah tumbuhnya jamur liar (jamur kontaminan) atau mikroba lain yang tidak diharapkan pertumbuhannya

Tujuan  pengomposan  bahan adalah  untuk menguraikan  senyawa-senyawa kompleks  dan bahan-bahan dengan bantuan  mikroba sehingga diperoleh senyawasenyawa  yang lebih sederhana dan lebih mudah dicerna  oleh jamur sehingga memungkinkan pertumbuhan jamur  akan lebih baik (Cahayana dkk, 1999). Namun pada proses pengomposan terjadi proses dekomposisi terhadap bahan organik melalui proses  biokomia sehingga menyebabkan berkurangnya bahan organik dan mengakibatkan menigkatnya kadar abu, sehingga hal ini menunjukan bahwa perlakuan pengomposan tidak menjamin kenaikan nilai pakan berserat tinggi.

Serat  yang didegradasi  oleh jamur menjadi  karbohidrat kemudian dapat digunakan  untuk sintesis protein. Air berfungsi  sebagai pembentuk kelembapan dan sumber  air bagi pertumbuhan jamur.Dedak dan kapur  merupakan bahan tambahan pada media tanam Pleurotus sp. Dedak ditambahkan pada media untuk  meningkatkan nutrisi media tanam, terutama  sebagai sumber karbohidrat, karbon, dan nitrogen.Kapur merupakan sumber  kalsium bagi pertumbuhan jamur (Vogel, 1985).

Nitrogen adalah unsur yang diperlukan untuk membentuk senyawa penting di  dalam sel, termasuk protein, DNA dan RNA. Nitrogen adalah komponen utama  dalam semua asam amino, yang nantinya dimasukkan ke dalam protein, protein adalah zat yang sangat kita butuhkan dalam pertumbuhan. Nitrogen juga hadir  di basis pembentuk asam nukleat, seperti DNA dan RNA yang nantinya membawa hereditas. Nitrogen adalah unsur yang paling berlimpah di atmosfer(78%) gas di atmosfer adalah nitrogen). Meskipun demikian, penggunaan nitrogen pada  bidang biologis sangatlah terbatas. Nitrogen merupakan unsur yang tidak reaktif (sulit bereaksi dengan unsur lain) sehingga dalam penggunaan nitrogen pada makhluk hidup diperlukan berbagai proses, yaitu fiksasi nitrogen, mineralisasi,  nitrifikasi, denitrifikasi. Nitrogen keberadaannya mutlak ada untuk kelangsungan pertumbuhan dan perkembangan tanaman, serta dibutuhkan dalam jumlah yang banyak. Tanaman menyerap N sebagian besar dalam bentuk ion NO3 -dan NH 4+, sedikit urea melalui daun  dan sedikit asam amino larut dalam air (Miftahudin, 2008).

Hal  ini sesuai  dengan Garraway  dan Evans (1984),  yang menyatakan bahwa  dalam pertumbuhannya jamur mempergunakan karbon serta nitrogen untuk komponen sel tubuh, sehingga semakin  padat konsesntrasi miselium akibat pertumbuhan jamur makin banyak nitrogen tubuh (protein murni).Peningkatan  kandungan protein murni dalam biomassa yang sejalan dengan pertumbuhan jamur terdiri dari elemen yang mengandung nitrogen. Kandungan  protein pada media bekas penanaman jamur tiram dapat meningkat sampai 22,4% sebagai akibat dari meningkatnya kandungan asam-asam amino pada substrat tersebut.

Hal ini sesuai dengan  pendapat Yuliastuti dan Adhi (2003) yang  menyatakan bahwa jamur merupakan sumber mineral yang baik, kandungan mineral utama yang tertinggi adalah kalium (K),  kemudian fosfor (P), natrium (Na), kalsium (Ca) dan magnesium (Mg). Konsentrasi K, P, Na, Ca dan Mg mencapai  56-70% dari total abu, dengan kandungan kalium sangat tinggi mencapai 45%.

 

KESIMPULAN

 

  1. Tahapan dalam budidaya jamur merang adalah mempersiapkan alat dan bahan, melakuakan isolasi bibit, membuat baglog, menginokulasikan baglog dengan bibit, dan pemeliharaan.
  2. Jamur tiram embutuhkan nutrisi yang berbeda untu pertumbuhan vegetative dan generative.

DAFTAR PUSTAKA

Brock,  T. D., and  T. M. Michael.    1991.Biology of microorganisms.  New York, Prentice Hall

Chang, S.T. dan P.G Miles. 1989. Edible Mushrooms and Their Cultivation. Florida, CRC Press, Inc.

Cahyana,Y.A.,  Muchrodji dan M.  Bakrun. 1999. Jamur  Tiram. Penebar Swadaya. Jakarta.

Djarijah  NM & Djarijah  AS. 2001. Jamur  Tiram Pembibitan Pemeliharaan  dan Pengendalian Hama-Penyakit. Yogyakarta: Penerbit Kanisius

Garraway,  M.D. and R.C.  Evans.1984.Fungal  Nutrition & Physiology.  John Wiley & Sons, Singapore.

Husen, S., U. Santoso,  dan T. Wahyudi. 2002. Pengaruh Macam Serbuk Gergaji Terhadap Produksi dan Kandungan Nutrisi Tiga Jenis Jamur Kayu. Jurnal Tropika. 10: 79-86.

Jazuri,  2013. Budidaya  Jamur Kuping. http://doublejspizzeria.com/tag/budidayajamur- kuping/. Diakses pada tanggal 7 Juni 2015.

Miftahudin, 2008.Fisiologi Tumbuhan Dasar.  Bogor: Departemen Biologi FMIPA IPB.

Rachmat, B. 2000. Dasar-Dasar Pembuatan Bibit Jamur. Bandung, Bal Publication

Sumiati,  E., E. Suryaningsih,  dan Puspitasari. 2005. Perbaikan  Jamur Tiram Putih Pleurotus ostreatus  Strain Florida dengan Modifikasi Bahan Baku Utama Substrat. J. Hort 16: 96-17.

Vogel,  1985. Analisis  Anorganik Kuantitatif  Mineral Makro dan Semimikro. Jakarta: Kalman Media Pustaka.

Yuliastuti  dan S. Adhi.  2003. Studi Kandungan  Nutrisi Limbah Media Tanam Jamur Tiram Putih Untuk Pakan Ternak.http://www.ut.ac.id/ html/ jmst/ jurnal_2003.1/Eko_Yuliastuti_ES/Studi_Kandungan_Nutrisi_Limbah_Media_Tanam.HT ML Diakses pada tanggal 7 Juni 2015.

Tags: , ,

Laporan Praktikum Nematologi Pertanian Acara VII: Memerangkap dan Pembiakan Nematoda Entomopatogen

Posted by miftachurohman on June 12, 2018
Laporan Praktikum, Nematologi Pertanian / No Comments

LAPORAN PRAKTIKUM
NEMATOLOGI PERTANIAN
ACARA VII

MEMERANGKAP DAN PEMBIAKAN NEMATODA ENTOMOPATOGEN

Disusun oleh:
Miftachurohman
12/334974/PN/12969

LABORATORIUM NEMATOLOGI
DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016

PENDAHULUAN

 

Penggunaan pestisida kimia secara berlebihan berdampak tidak baik bagi lingkungan dan memicu terjadinya gangguan kesehatan. Untuk mengatasi dampak negatif dari penggunaan pestisida kimia di atas, banyak penelitian-penelitian yang dilakukan untuk mencari alternative yang solutif tentang penggunaan biokontrol yang ramah lingkungan.

Nematoda entomopatogen merupakan nematoda endoparasit khusus serangga. Jenis-jenis Nematoda entomopatogen yang umum digunakan sebagai biokontrol berasal dari famili Steinernematidae dan Heterorhabditidae (Kamariah, 2013). Famili Steinernematidae dan Heterorhabditidae dikenal sebagai biokontrol potensial bagi berbagai macam serangga hama (Weiser 1991). Kedua famili tersebut efektif dalam mengendalikan serangga hama dari ordo Lepidoptera, Coleoptera dan Diptera dalam 24-48 jam (Chaerani 1996).

Beberapa penelitian melaporkan bahwa jenis dari kedua famili tersebut telah efektif dalam mengendalikan beberapa jenis hama pertanian. Larva Spodoptera litura dapat dikendalikan oleh Steinernema carpocapsae dengan efektivitas sebesar 95,5% (Uhan 2006). Nugrohorini (2010) juga mengungkapkan bahwa Steinernematidae dan Heterorhabditidae efektif mengendalikan hama-hama golongan Lepidoptera, seperti Galleria mellonella L. dan Agrotis ipsilon H dengan efektifitas mencapai 100%.

Nematoda adalah mikroorganisme berbentuk cacing berukuran 700-1200 mikron dan berada di dalam tanah. Nematoda yang ada di dalam tanah, ada yang tergolong free living, nematode parasit tanaman dan nematode entomopatogen. Nematoda yang saat ini dikembangkan adalah nematoda entomopatogenyangdapat digunakan sebagai insektisida biologi yang sangat potensial untukmengendalikan serangga hama baik ordo Lepidoptera, Coleoptera dan Diptera (Ehler, 1996).

Nematoda entomopatogen telah dipergunakan untuk mengendalikan serangga hama pada tanaman pangan, perkebunan, rumput lapangan golfserta tanaman hortikultura. Nematoda entomopatogen dapat diisolasi dari berbagai tempat diseluruh belahan dunia, khususnya dari golongan Steinernematidae dan Heterorhabditidae dapat digunakan untuk mengendalikan hama-hama golongan Lepidoptera, seperti: Galleria mellonella (L), Spodoptera exigua Hubner, Agrotis ipsilon Hufnayel yang virulensinya mencapai 100 persen (Nugrohorini, 2010). Nematoda entomopatogen dari kelompok Steinernematidae dapat digunakan untuk mengendalikan berbagai hama. Pengendalian hayati dengan nematoda ini dalam jangka panjang dapat menghemat biaya produksi, sehingga meningkatkan keuntungan petani.

Praktikum acara VII yang berjudul Memerangkap Nematoda Entomopatogen ini memiliki tujuan yaitu agar dapat mengetahui cara memperoleh nematoda entomopatogen dari tanah serta dapat mengetahui cara membiakkan nematoda entomopatogen.

 

CARA KERJA

 

Praktikum Nematologi Pertanian acara 7 dengan judul Memerangkap dan Pembiakan Nematoda Entamopatogen dilaksanakan pada hari Kamis, 21 April 2016 di Laboratorium Nematologi, Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Alat yang digunakan berupa cawan petri (Ø 11 cm dan 14 cm), kertas saring nematoda (Ø 11 cm dan 14 cm), botol Ø ± 7,5 cm dengan volume ± 350 ml, keranjang (sebagai penyangga), toples, dan mikroskop. Bahan yang digunakan berupa tanah (diambil dari daerah pertanaman yang terserang hama Ordo Lepidoptera, Coleoptera atau Diptera karena diduga merupakan tempat sebaran nematoda entomopatogen), larva serangga sehat inang nematoda entomopatogen (ulat hongkong Tenebrio molitor), pakan anjing (dog food) basah, kain kasa dan benang kasur.

Cara kerjanya dibagi menjadi 2 yaitu Pemerangkapan Nematoda Entomopatogen dan Perbanyakan Nematoda Entomopatogen. Masing-masing kegiatan dilakukan secara in vitro (menggunakan media buatan dog food) dan in vivo (menggunakan serangga umpan ulat hongkong/ Tenebrio molitor):

 

Pemerangkapan Nematoda Entomopatogen

 

Mula-mula tanah dari lapangan yang diduga merupakan tempat sebaran nematoda entomopatogen diambil kemudian dimasukkan dalam botol volume ± 350 ml sebanyak setengah volume. Larva serangga sebanyak 10 ekor yang dibungkus kain kassa dimasukkan ke dalam masing-masing botol kemudian ditambahkan tanah lagi sampai penuh. Langkah yang sama juga dilakukan pada dog food, doog food dibungkus kain kassa dan dimasukkan dalam botol berisi tanah. Botol ditutup dan dibiarkan selama 3-5 hari. Setelah itu, larva serangga dan dog food dalam botol dipindahkan ke dalam masing-masing cawan petri Ø 11 cm tertutup dan dibiarkan selama 3-4 hari. Larva serangga yang mati dan dog food dipindahkan pada kertas saring Ø 17 cm untuk ditempatkan pada penyangga (keranjang telungkup) Ø 13 cm. Penyangga (berikut kertas saring dan larva serangga mati/dog food) dimasukkan ke dalam toples tertutup (untuk menghindari gangguan lalat pemakan bangkai). Toples diisi aquades sampai menyentuh tepi kertas saring dan dibiarkan (diinkubasikan) selama 14-21 hari. Nematoda entomopatogen hasil pemerangkapan bergerak masuk ke dalam aquades dan nematoda siap dipanen. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah nematoda entomopatogen yang diperoleh.

 

Perbanyakan Nematoda Entomopatogen

 

Mula-mula larva serangga dan dog food disiapkan masing masing dengan berat 2 gram. Masing-masing bahan tersebut diletakkan pada kertas saring Ø 17 cm di dalam cawan petri Ø 14 cm tertutup. Dog food atau larva serangga diinokulasi 200 ekor nematoda entomopatogen, dan dibiarkan selama 3-4 hari. Dog foog berikut kertas saring ditempatkan pada penyangga (keranjang telungkup) Ø 13 cm, kemudian dimasukkan ke dalam toples tertutup. Sedangkan larva serangga diambil dan ditempatkan pada kertas saring di atas penyangga. Penyangga (berikut kertas saring dan larva serangga mati/dog food) dimasukkan ke dalam toples tertutup (untuk menghindari gangguan lalat pemakan bangkai). Toples diisi aquades sampai menyentuh tepi kertas saring dan dibiarkan (diinkubasikan) selama 14-21 hari. Nematoda entomopatogen hasil perkembangbiakan bergerak masuk ke dalam aquades dan nematoda siap dipanen. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah nematoda entomopatogen yang diperoleh.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

Dalam praktikum ini digunakan jenis nematoda steinernema. Mekanisme patogenisitas nematoda entomopatogen Steinernema terjadi melalui simbiosis dengan bakteri patogen Xenorhabdus. Xenorhabdus terdiri dari lima spesies, yaitu X. nemathophilus, X. bovienii, X. poinarii, X. beddingii, dan X. japonica. Infeksi dilakukan oleh stadium larva instar III atau juvenil infektif (JI) dimana terjadi melalui mulut, anus, spirakel atau penetrasi langsung membran intersegmental integumen yang lunak. Setelah mencapai haemocoel serangga, bakteri simbion yang dibawa akan dilepaskan kedalam haemolim untuk berkembangbiak dan memproduksi toksin yang mematikan. Dua faktor ini yang menyebabkan nematoda entomopatogen mempunyai daya bunuh yang sangat cepat. Serangga yang terinfeksi dapat mati dalam waktu 24-72 jam setelah infeksi.

Senyawa antimikroba ini mampu menghasilkan lingkungan yang sesuai untuk reproduksi nematoda dan bakteri simbionnya sehingga mampu menurunkan dan mengeliminasi populasi mikroorganisme lain yang berkompetisi mendapatkan sumber makanan di dalam serangga mati. Keadaan demikian memungkinkan nematoda entomopatogen menyelesaikan siklus perkembangannya dan meminimalkan terjadinya pembusukan serangga inangnya. Faktor penentu patogenisitas nematoda entomopatogen terletak pada bakteri mutualistiknya yaitu dengan diproduksinya toksin intraseluler dan ekstraseluler yang dihasilkan bakteri dalam waktu 24-48 jam.

Pada praktikum ini, pemerangkapan dan pembiakan Steinernema dilakukan secara in vitro dan in vivo untuk membandingkan keefektifan dua media pada kedua cara tersebut. Secara in vitro digunakan media semi padat buatan yaitu makanan anjing (dog food) dan secara in vivo digunakan serangga umpan larva kumbang Tenebrio molitor (ulat hongkong).

Menurut Gaugler & Kaya (1990), prinsip dari pembiakan massal nematoda entomopatogen secara in vitro adalah kandungan nutrisi media harus memenuhi kebutuhan nutrisi nematoda dan bakteri seperti karbohidrat, protein dan lemak, kemudian media tersebut diperlakukan sedemikian rupa sehingga suhu dan kelembabannya sesuai bagi kehidupan nematoda. Disamping itu keaseptisan media juga perlu dijaga agar tidak terjadi kontaminasi oleh bakteri asing atau jamur yang dapat menurunkan produktivitas nematoda.

Ulat hongkong  (Tenebrio molitor) adalah serangga ordo Coleoptera yang merupakan salah satu inang dari nematoda entomopatogen. Nematoda Steinernema diambil dari tanah dengan menempatkan serangga umpan pada tanah kemudian ditunggu beberapa hari untuk dipindahkan cawan petri sampai 3-4 hari, kemudian setelah itu dipindah pada stoples berisi air untuk kemudian diamati ekstraksi.

No Jenis Kegiatan U1 (ekor/100ml) U2 (ekor/100ml) U3 (ekor/100ml) Rata-rata (ekor/100ml)
1 Perbanyakan dg Dog Food 117.000 175000 141.750 144.583,33
2 Perbanyakan dg Ulat Hongkong 12.600 21.600 14.850 16.350
3 Perangkap 31 44 43 39,33/20gr tanah

Tabel 1. Hasil perhitungan nematoda entomopatogen

Dari hasil pengamatan dapat diketahui bahwa perbanyakan nematoda entomopatogen degan menggunakan dog food dan ulat hongkong memiliki jumlah yang sangat besar. Pada perbanyakan dengan menggunakan dog food, didapatkan hasil populasi sebanyak 144.583,33 ekor/100 ml sedangkan pada perbanyakan dengan menggunakan ulat hongkong didapatkan populasi nematoda sebanyak 16.350 ekor/100ml. Populasi yang terdapat pada perbanyakan dengan menggunakan dog food memberikan hasil yang lebih banyak dari pada perbanyakan dengan menggunakan ulat hongkong.

Dog food merupakan bahan makanan bagi anjing yang dijual dalam bentuk kemasan kaleng dengan berbagai merk dagang. Komponen utama dari dog food adalah daging sapi dengan mutu yang rendah. Kandungan nutrisinya secara umum mencakup karbohidrat, protein, dan lemak yang diperlukan bagi nematoda untuk perkembangannya.

Pada perangkap nematoda entomopatogen, didapatkan hasil populasi sebesar 39,33/20 gr tanah. Hal ini menunjukkan tiap 20 gram tanah yang digunakan dalam praktikum mengandung jumlah nematoda sebanyak 39,33 ekor.

Untuk ulat hongkong yang terserang nematoda ini menunjukkan gejala warna tubuh coklat kehitaman, tubuh lembek dan sedikit mengeluarkan cairan. Setelah larva mati, nematoda memperbanyak diri dengan memanfaatkan nutrisi yang ada di dalam tubuh larva tersebut. Selanjutnya induk nematoda menghasilkan 2-3 generasi baru di dalam tubuh inangnya tersebut. Setelah nutrisi di dalam tubuh larva tersebut habis maka nematoda melakukan migrasi dengan cara keluar dari tubuh larva dan mencari inang lain (Kamariah dkk., 2013).

Nematoda entomopatogen masuk ke dalam tubuh serangga melalui berbagai cara, baik secara langsung melalui lubang tubuh alami (mulut, spirakel, anus), kutikula, atau secara kebetulan termakan oleh larva serangga. Setelah berada di dalam tubuh larva, Nematoda entomopatogen melepaskan bakteri simbion ke dalam sistem hemolimfa. Bakteri kemudian berkembang secara cepat sehingga mampu membunuh inang antara 24-48 jam setelah proses infeksi (Ehlers 1996).

 

KESIMPULAN

 

    1. Nematoda entomopatogen dapat diperoleh dari tanah dengan metode bait trap atau pemerangkapan dengan umpan. Umpan dapat berupa serangga seperti ulat hongkong (Tenebrio molitor) ataupun media buatan seperti makanan anjing (dog food).
    2. Nematoda entomopatogen dapat dibiakkan pada media serangga atau pun media buatan dog food yaitu dengan menginokulasikan sejumlah nematoda entomopatogen pada media tersebut. Media dog food lebih efektif memperbanyak nematoda entomopatogen daripada serangga umpan.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Chaerani M. 1996. Nematoda Patogen Serangga Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan Bogor, Bogor

Ehlers, R.U. 2001. Mass production of entomopathogenic nematodes for plant protection. Appl. Microbiol. Biotechnol. 56 : 623-633.

Kamariah., B. Nasir., dan J. Pangeso. 2012. Efektivitas berbagai konsentrasi nematoda entomopatogen (Steinernema sp) terhadap mortalitas larva Spodoptera exiqua Hubner. e-J. Agrotekbis 11: 17-22

Nugrohorini. 2010. Eksplorasi Nematoda Entomopatogen Pada Beberapa Wilayah di Jawa Timur. Jurnal Pertanian MAPETA. 7:-

Uhan T. 2006. Bioefikasi Steinernema carpocapsae (Rhabditidae : Steinernematidae) Strain Lembang terhadap Larva Spodoptera litura di Rumah Kaca. Jurnal Agric. 17 : 225-229.

Simoes N and Rosa J S. 1996. Pathogenicity and Host Spesificity of Enthomopatogic Nematodes. J. Biocontrol Sci and technol 6: 403- 4011.

Weiser J. 1991. Biological Control of Vectors Manual for Collecting, Field Determination and Handling of Biofactors for Control Vectors. John Willey and Sons, England

LAMPIRAN

Gambar 1 . Tenebrio molitor yang digunakan untuk memerangkap nematoda

Gambar 2. Dog food yang digunakan dalam perbanyakan nematoda entomopatogen

Gambar 3. Ulat hongkong yang digunakan dalam perbanyakan nematoda entomopatogen

Tags: , , , ,

Laporan Praktikum Nematologi Pertanian Acara VI: Interaksi Tanaman Inang dengan Nematoda Parasit

Posted by miftachurohman on June 08, 2018
Laporan Praktikum, Nematologi Pertanian / No Comments

LAPORAN PRAKTIKUM
NEMATOLOGI PERTANIAN
ACARA VI

INTERAKSI TANAMAN INANG DENGAN NEMATODA PARASIT

Disusun oleh:
Miftachurohman
12/334974/PN/12969

LABORATORIUM NEMATOLOGI
DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016

PENDAHULUAN

 

Tomat merupakan komoditas yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Permintaan tomat tidak pernah turun. Dalam proses budidaya tomat, petani sering mengalami kendala. Salah satu kendala dalam budidaya tomat adalah adanya serangan nematoda. Nematoda parasitik tanaman merupakan salah satu jenis hama penting, karena menimbulkan kerugian besar pada tanaman dalam sistem produksi pertanian di daerah tropis maupun sub tropis. Serangan nematoda mengakibatkan berkurangnya fungsi akar secara normal, mengakibatkan pengangkutan unsur hara ke bagian jaringan tanaman di atas permukaan tanah makin berkurang (Dropkin, 1991).

Menurut Panggeso (2010) apabila tanaman terinfeksi berat oleh nematoda, sistem perakaran yang normal akan berkurang dan menyebabkan jaringan berkas pengangkut mengalami gangguan secara total, akibatnya tanaman mudah layu khususnya dalam keadaan kering dan tanaman sering menjadi kerdil, pertumbuhan terhambat dan mengalami klorosis.

Beberapa nematoda parasit tanaman adalah ektoparasit, hidup di luar inangnya. Spesies jenis ini menyebabkan kerusakan berat pada akar dan dapat menjadi vektor virus yang penting. Spesies lain, ada yang hidup di dalam akar, bersifat endoparasit migratori dan sedentari. Parasit migratori bergerak melalui akar dan menyebabkan nekrosis, sedangkan yang endoparasit sedentari dari famili Heteroderidae menyebabkan kehancuran yang paling banyak di seluruh dunia (Williamson & Richard, 1996).

Nematoda parasit menyerang pada organ tumbuhan yang vital seperti akar, daun dan bunga. Nematoda parasit umumnya menyerang bagian tanaman yang lunak dengan cara menginfeksinya. Kerusakan terbesar yang disebabkan oleh nematoda parasit adalah hancurnya jaringan pada akar. Pada stadium kronis, tanaman yang diserang oleh nematoda parasit tidak dapat tumbuh, kerdil, mengalami disfungsi organ dan akhirnya mati (Dropkin, 1991 cit. Prabowo, 2012).

Meloidogyne sering disebut root-knot nematodes atau nematoda puru akar karena menyebabkan terjadinya puru atau bengkak pada akar yang terserang nematoda tersebut. Dalam satu siklus hidup Meloidogyne terjadi perubahan morfologis yaitu bentuk telur, larva (juvenil), dan dewasa (jantan serta betina) (Mulyadi, 2009).

Pada acara praktikum ini, dilakukan kegiatan inokulasi tanaman tomat dengan larva Meloidogyne incognita dan kemudian tanaman diamati dengan periode 2 kali dalam 49 hari hari setelah tanam. Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mempelajari perkembangan gejala dan tanda serangan nematoda parasit tumbuhan, mengetahui kerusakan tanaman akibat serangan nematoda parasit tumbuhan, dan mengetahui cara menilai kerusakan akar akibat serangan nematoda puru akar dengan skor menurut Zeck.

 

CARA KERJA

 

Praktikum Nematologi Pertanian acara 5 dengan judul Interaksi Tanaman Inang dengan Nematoda Parasit dilaksanakan pada hari Kamis, 3 Maret 2016 hingga Kamis, 28 April 2016 di Laboratorium dan Rumah Kaca Nematologi, Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Alat yang digunakan berupa besek, pot Ø 12,5 cm, alat ukur panjang/lebar, timbangan dan mikroskop. Bahan yang digunakan berupa benih tomat, tanah steril, pupuk kompos, bahan inokulum (larva nematoda Meloidogyne incognita) dan air.

Cara yang dilakukan dalam praktikum ini yaitu mula-mula benih tomat ditanam pada tanah steril di dalam besek untuk memperoleh bibit umur 21 hari. Bibit tomat umur 21 hari (sebanyak 1 batang) ditanam pada media steril (3 bagian tanah dan 1 bagian pupuk kompos steril) dalam masing-masing pot. Disiapkan tanaman umur 7 hari setelah tanam (hst) sejumlah 36 pot. Kemudian separo jumlah tanaman diinokulasi 20.000 ekor larva nematoda M. incognita untuk setiap pot tanaman dan separo jumlah tanaman yang lain tidak diinokulasi nematoda atau sebagai pembanding (18 pot untuk perlakuan inokulasi nematoda dan 18 pot untuk perlakuan tanpa inokulasi nematoda, 4 pot pada masing-masing perlakuan untuk cadangan). Pengamatan dilakukan sebanyak 2 kali dengan interval waktu 14 hari yaitu dengan mengamati 7 tanaman untuk masing-masing perlakuan. Pengamatan pertama dimulai pada tanaman umur 14 hari setelah inokulasi (hsi) atau 21 hst. Pengamatan kedua pada tanaman umur 35 hsi atau 42 hst. Parameter pengamatan meliputi: tinggi tanaman, panjang akar, berat bagian tanaman di atas permukaan tanah (berat brangkasan basah), warna daun, kerusakan akar (menggunakan skor Zeck), dan jumlah puru pada akar.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

Hasil

 

 

Gambar 1. Tabel hasil pengamatan tanaman tomat selama 14 HIS

Gambar 2. Tabel hasil pengamatan tanaman tomat selama 28 HSI

 

Pembahasan

 

Pada praktikum ini dilakukan inokulasi nematoda Meloidogyne incognita pada tanaman tomat berumur 28 hari setelah tanam benih. Kemudian diamati perubahan pertumbuhan tanaman setiap 14 hari selama 2 kali pengamatan (14 hari dan 28 hari setelah inokulasi/hsi). Parameter pengamatan meliputi: tinggi tanaman, panjang akar, berat bagian tanaman di atas permukaan tanah (berat brangkasan basah), warna daun, kerusakan akar (menggunakan skor Zeck), dan jumlah puru pada akar.

Gambar 3. Tabel hasil pengamatan tinggi tanaman tomat selama 14 HSI

Gambar 4. Tabel hasil pengamatan tinggi tanaman tomat selama 14 HSI

Dari hasil pengamatan selama 14 HSI dapat diketahui bahwa rata-rata tinggi tanaman tomat tanpa inokulasi yaitu sepanjang 22,10 cm, sementara itu rata-rata tinggi tanaman tomat dengan inokulasi nematoda yaitu sepanjang 9,56 cm. Sementara itu, pada tanaman tomat tanpa inokulasi yang diamati pada 28 HIS mengalami pemanjangan akar menjadi 22,59 cm dan tinggi tanaman yang diinokulasi memiliki tinggi tanaman 16.03 cm.

Gambar 5. Tabel hasil pengamatan panjang akar tanaman tomat selama 14 HSI

Gambar 6. Tabel hasil pengamatan panjang akar tanaman tomat selama 28 HSI

Dari hasil pengamatan dapat diketahui bahwa rata-rata panjang akar mengalami penurunan. Penurunan panjang akar ini terjadi pad 14 HSI dan 28 HSI. Penurunan panjang akr ini diduga karena terjadinya intensitas serangan yang semakin banyak. Pada tanaman tomat tanpa inokulasi bahkan ditemukan beberapa gall dengan tingkat keparahan yang ringan.

Gambar 7. Tabel hasil pengamatan skor zeck tanaman tomat selama 14 HSI

Gambar 8. Tabel hasil pengamatan skor zeck tanaman tomat selama 28 HIS

Skor zeck menunjukkan keparahan intensitas serangan nematoda yang diukur pad tingkat keparahan nematoda menyerang bagian akar tanaman. Pada tanaman tanoa inokulasi nematoda terlihat bahwa tanaman memiliki skor zeck yang rendah yang berarti bahwa kondisi perakaran tanaman tomat sehat. Skor pada 14 HIS tanpa inokulasi menunjukkan rata-rata 1,54 dan pada 28 HSI menunjukkan angka 3,71. Pada penamatan akar dengan inokulasi nematoda menunjukkan skor pada pengamatan 14 HSI dan 28 HSI berturut-urut 7,54 dan 7,38. Rata rata keparahan tingkat serangan ini relatif mendekati sama.

Gambar 9. Tabel hasil pengamatan berat tajuk tanaman tomat selama 14 HSI

Gambar 10. Tabel hasil pengamatan berat tajuk tanaman tomat selama 28 HSI

Berat tajuk menunjukkan timbunan asimilat tanaman hasil fotosintesis yang dapat disimpan oleh tanaman tomat. Dari hasil perhitungan berat tajuk dapat diketahui bahwa rata-rata berat tajuk mengalami kenaikan pada pengamatan 14 HSI dan 28 HSI. Rata-rata kenaikan berat tajuk tanpa inokulasi pada 14 HSI dan 28 HSI adalah 3,92 gr dan 4,24. Pada tanamn tomat yang diinokulasi menunjukkan kenaikan berat tajuk pada pengamatan 14 HIS dan 28 HIS berturut-urut sebesar 1,18 gr dan 2,72 gr.

Kerusakan jaringan akar akibat serangan Meloidogyne spp. dapat menghambat penyerapan dan translokasi nutrisi serta air dari akar, sehingga terjadi defisiensi pada daun (antara lain N, P, K, Ca, Mg, dan Fe). Namun sebaliknya terjadi akumulasi nutrisi dalam akar yang mungkin disebabkan karena: peningkatan absorbsi oleh akar, terjadi hambatan translokasi nutrisi ke daun, serta mobilisasi nutrisi ke dalam akar. Mobilisasi nutrisi ke dalam akar disebabkan terjadinya fenomena zink dalam akar (terjadinya hipertrofi dan hyperplasia sel-sel akar serta kebutuhan nutrisi yang tinggi nematoda puru akar untuk bereproduksi) (Mulyadi, 2009).

Gejala serangan khas akibat serangan Meloidogyne spp. yaitu terbentuknya puru pada akar, pertumbuhan terhambat tanaman dapat kerdil, klorosis, dan pada cuaca terik matahari tanaman cepat layu dibanding yang sehat. Pada tanaman terserang Meloidogyne spp. Laju fotosintesis terhambat, antara lain disebabkan karena: adanya hambatan aliran nutrisi dan air ke daun, terjadinya klorosis, dan terjadinya penutupan stomata daun (tanaman layu) (Mulyadi, 2009).

Gambar: (Kiri) Tanaman tomat yang tidak diinokulasi suspense nematoda (Kanan) Tanaman tomat yang diinokulasi suspense nematoda

Mekanisme penyerangan oleh Meloidogyne spp dimulai dengan masuknya nematoda kedalam akar tumbuhan melalui bagian-bagian epidermis yang terletak dekat tudung akar. Nematoda ini mengeluarkan enzim yang dapat menguraikan dinding sel tumbuhan terutama terdiri dari protein, polisakarida seperti pektin sellulase dan hemisellulase serta patin sukrosa dan glikosid menjadi bahan-bahan lain. Meloidogyne spp mengeluarkan enzim sellulase yang dapat menghidrolisis selulosa enzim endopektin metal transeliminase yang dapat menguraikan pektin. Dengan terurainya bahan-bahan penyusun dinding sel ini maka dinding sel akan rusak dan terjadilah luka. Selanjutnya nematode ini bergerak diantara sel-sel atau menembus sel-sel menuju jaringan sel yang terdapat cukupcairan makanan, kemudian menetap dan berkembang biak kemudian nematoda tersebut masih mengeluarkan enzim proteolitik dengan melepaskan IAA ( Asam indol asetat) yang merupakan heteroauksin tritopan yang diduga membantu terbentuknya puru.

Pada akar tanaman yang terserang menjadi bisul bulat atau memanjang dengan besar bervariasi. Di dalam bisul ini terdapat nematoda betina, telur dan juvenil. Bisul akar yang membusuk akan membebaskan nematoda dan telurnya ke dalam tanah kemudian masuk kedalam akar tanaman lain. Ukuran dan bentuk puru tergantung pada spesies, jumlah nematoda didalam jaringan, inang dan umur tanaman.

Apabila tanaman terinfeksi berat oleh Meloidogyne sistem akar yang normal berkurang sampai pada batas jumlah akar yang berpuru berat dan menyebabkan sistem pengangkutan mengalami disorganisasi secara total. Sistem akar fungsinya benar benar terhambat dalam menyerap dan menyalurkan air maupun unsur hara. Tanaman mudah layu, khususnya dalam keadaan kering dan tanaman sering menjadi kerdil (Luc et al, 1995).

Gejala serangan lainnya yang terjadi di bawah tanah antara lain adalah bintil-bintil akar, luka pada akar, nekrosis pada permukaan akar, percabangan yang berlebihan, dan ujung akar yang tidak tumbuh. Setelah Meloidogyne makan pada ujung akar tersebut sering kali berhenti tumbuh, namun demikian akar belum tentu mati. Serangan pada tanaman tomat terutama terjadi pada tanah yang bertekstur kasar atau berpasir. Disamping memperlemah tanaman, nematoda ini dapat juga menurunkan produksi. Pada populasi yang tinggi dapat menyebabkan kehilangan hasil sebanyak 25-50% (Mustika, 1992).

 

KESIMPULAN

 

  1. Gejala dan tanda serangan nematoda parasit tumbuhan Meloidogyne spp. atau dalam hal ini M. incognita berupa terbentuknya puru pada akar, pertumbuhan tanaman terhambat, klorosis pada daun dan tanaman menjadi layu.
  2. Kerusakan yang terjadi pada tanaman yang terserang nematoda parasi Meloidogyne terjadi pada akar yang kemudian berimbas pada bagian tanaman di atasnya (tajuk/brangkasan).
  3. Kerusakan akar akibat serangan nematoda Meloidogyne dapat dinilai menggunakan skor Zeck.

DAFTAR PUSTAKA

Dropkin V.H. 1991. Pengantar Nematologi Tumbuhan. Gajah Mada University Press, Yogyakarta

Luc, M, RA Sikora and J Bridge. 1995. Nematoda Parasitik Tumbuhan di Pertanian Subtropik dan Tropik. Gajah Mada University Press, Yogyakarta

Mulyadi. 2009. Nematologi Pertanian. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Mustika, I., 1992. Pengantar Nematologi Tanaman. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Bogor.

Panggeso, J. 2010. Analisis kerapatan populasi nematoda parasitik pada tanaman tomat (Lycopersicum esculentum Mill.) Asal Kabupaten Sigi Biromaru. J Agroland 17: 198- 204

Prabowo, H. 2012. Jenis nematoda yang ditemukan pada tanaman bawang merah (Allium ascalonicum) dan rhizosfer sekitarnya di area persawahan Niten, Bantul, Yogyakarta. AGROVIGOR 5: 75-79.

Rahayu, B dan A. Mukidjo. 1977. Survai populasi nematoda puru akar (Meloidogyne spp) pada pertanaman solanaceae di daerah Istimewa Yogyakarta. Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada. Yogyakarta 10 hal.

Williamson, V. M. and S. H. Richard. 1996. Nematode pathogenesis and resistance in plant. The Plant Cell 8 : 1735-1745.

LAMPIRAN

Gambar 2. Skala Zeck

Nilai Skala Keterangan
0 Seluruh akar sehat, tidak ada infeksi atau serangan
1 Kelihatan ada puru kecil yang agak sukar diamati
2 Terdapat puru kecil yang mudah diamati
3 Terdapat puru kecil yang banyak dan masih berkembang, fungsi akar belum kelihatan terganggu
4 Terdapat puru kecil yang banyak, puru besar mulai terbentuk, sebagian besar akar masih berfungsi
5 Kurang lebih 25% akar tidak berfungsi dan terdapat puru banyak
6 Kurang lebih 50% akar tidak berfungsi dan terdapat puru banyak
7 Kurang lebih 75% akar tidak berfungsi dan terdapat puru banyak
8 Seluruh akar terserang berat, tetapi tanaman masih hidup
9 Seluruh puru pada akar membusuk, tanaman layu
10 Seluruh akar dan tanaman mati

 

Tags: , , ,