Laporan Praktikum

Laporan Praktikum Nematologi Pertanian Acara I: Morfologi Nematoda

Posted by miftachurohman on May 06, 2018
Laporan Praktikum, Nematologi Pertanian / No Comments

LAPORAN PRAKTIKUM
NEMATOLOGI PERTANIAN
ACARA I

MORFOLOGI NEMATODA

Disusun oleh:
Miftachurohman
12/334974/PN/12969

LABORATORIUM NEMATOLOGI
DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016

PENDAHULUAN

Dalam melakukan usaha tani, ada beberapa kendala yang dihadapi petani. Salah satu kendala tersebut adalah adanya gangguan dari Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). OPT ini menjadi sangat penting keberadaanya jika keberadaan OPT sudah melampaui ambang batas ekonomi. Salah satu OPT penting di Indonesia adalah nematoda. Akhir-akhir ini nematoda parasit menjadi OPT yang mulai dilirik cukup serius keberadaanya karena banyak menimbulkan kerugian.

Mempelajari morfologi nematoda adalah hal dasar yang harus dipelajari karena dengan mengenali nematoda, maka kita dapat menentukan langkah-langkah selanjutnya. Nematoda tidak hanya bersifat parasite. Ada beberapa jenis nematoda yang keberadanya memberikan dampak positif, karena dapat sebagai entomopatogen dan saprofag. Untuk mengetahui hal tersebut, maka penting sekali kita untuk belajar morfologi nematoda.

Secara umum karena ukuran tubuh nemtoda sangat kecil, para petani sangat sulit membedakan dengn penyakit yang disebabkan oleh virus dan bakteri (Pracaya, 2007).Nematoda termasuk dalam Filum nemata, terdiri atas dua kelas yaitu Secernenta (Phasmidia) dan Adenophorea (Aphasmidia).  Kelas Secernenta terdiri atas tiga subkelas yaitu Rhabditia, Spiruria, dan Diplogasteria. Semua nematoda parasitik tanaman termasuk dalam ordo Thylenchida dan Dorylaimida. Kalasifikasi dari nematoda Meloidogyne spp. adalah Phylum nematoda, klas secernenta, ordo tylenchida, subordo tylenchina, dan famili heteroderidae (Tjahjadi, 2005).

Nematoda pada umumnya berbentuk silindris memanjang, meskipun demikina terdapat pengecualian pada beberapa genera. Bentuknya ada yang seperti buah alpukat atau jeruk, dan ginjal. Panjang tubub nematoda dapat mencapai 1000 mikrometer atau lebih. Lebar tubuh antara 50-250 mikrometer (Mulyadi, 2009).

CARA KERJA

Praktikum Nematologi Pertanian Acara I yang berjudul Morfologi Nematoda dilaksanakan pada kamis, 25 Februari dan 3 Maret 2016 di Laboratorium Nematologi, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Alat yang digunakan dalam pratikum ini adalah mikroskop stereo. Bahan preparat nematoda yang digunakan dalam praktikum ini yaitu jenis nematode parasite tmbuhan, nematode predator, entomopatogen, dan saprogag. Preparat-preparat tersebut antara lain adalah Xiphinema, Criconemoides, Steinernema, Dsprofag, Mononchus, Criconema, Hoplolaimus, Helicotylenchus, Hirsmaniella, Meloidogyne L2, Radhopulus, NSK, Sidik Pantat, Meloidogyne jantan, Meloidogyne betina, Pratylenchus jantan, dan Pratylenchus betina.

Cara kerja dalam praktikum ini adalah preparat awetan nematode diamati dengan menggunakan mikroskop stereo pada perbesaran lemah, yaitu perbesaran 40X atau 100X. Bentuk tubuh nematode digambar keseluruhan secara skematis. Bagian anterior (khususnya bentuk kepala) dan posterior (khususnya bentuk/ujung ekor) nematoda diamati secara seksama. Lensa objektif pada mikroskop diubah ke perbesaran kuat, yaitu 200X hingga 400X. Diamati bentuk stoma, stylet, esofagus, intestinum, organ reproduksi termasuk vulva dan spikula, serta anus dan ekor. Hasil pengamatan tubuh bagian anterior dan posterior di gambar secara skematis dan diberi keterangan bagian-bagian tubuhnematoda. Sistematika masing-maisng spesimen yang diamati di tulis dan diuraikan morfologinya pada laporan.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Xiphinema

Gambar skematik Xiphinema sp.
Sumber: http://entnemdept.ufl.edu/creatures/nematode/dagger_nematode.htm


Xiphinema 
spp. bertubuh panjang, silindris dan bersifat ektoparasitik. Pada beberapa jenis terdapat jenis kelamin jantan, tetapi tidak pada semua jenis. Panjang nematoda dewasa berkisar antara 1,7 sampai 5,5 mm atau lebih. Bagian bibirnya berbentuk setengah bola dan tidak berlekuk dari tubuhnya. Stiletnya terdiri atas dua bagian, yaitu: odontostilet (bagian bersklerotin) dan odontofor( perpanjangan stilet, tidak bersklerotin). Cincin pengarah melingkari stilet di dekat pangkalnya. Panjang stilet berkisar antara 70 sampai 150 µm dan bentuknya menggarpu pada bagian pangkalnya. Perpanjangan stilet mempunyai tiga bingkai pangkal yang besar dan panjangnya berkisar 45-85 µm (Dropkin, 1992).

Esofagusnya panjang, ramping dan silindris, merentang tiba-tiba ke arah posterior menuju ke bulbus silindris. Bulbus tersebut lebarnya sama dengan setengah lebar tubuh pada pangkalnya dan panjangnya dua setengah kali. Kelenjar esofagus berada dalam bulbus. Vulvanya berada pada pertengahan panjang tubuh atau lebih ke arah anterior, umumnya mempunyai dua gonad, satu merentang ke arah anterior dan yang lain ke posterior. Pada beberapa jenis, gonad anterior kurang berkembang atau tidak ada µm (Dropkin, 1992).

Criconemoides

Gambar Criconemoides: A: Kepala; B: bentuk Criconemoides betina ; C: Gambar bagian belakang Criconemoides D: Bagian depan Cricenemoides E: bentuk bagian skeleton kepala F: Bentuk ujung kepala
Sumber: http://insect.naas.go.kr1

Nematoda Criconemoides spp. mempunyai bentuk tubuh pendek, dengan ukuran panjang kurang lebih 0.5mm. Kutikula kasar, bentuknya seperti duri, dengan jumlah berkisar 40 — 160 pada sepanjang tubuhnya. Stilet relatif sangat panjang, dengan bagian anterior kurang lebih 3 kali panjang shaftnya, basal knob konkav ke arah anterior dan seringkali nampak melengkung. Median usofagus sangat besardan menyatu dengan prokarpus, isthmus pendek dan menyempit, basal bulbul mengecil dengan sedikit memgelembung. Vulva dengan kedudukan kurang lebih 90% kea rah posterior dari pajang tubuhnya. Ovarium tunggal, prodelphic. Jantan jarang ditemukan, hanya diketahui ada pada beberapa spesies sala µm (Dropkin, 1992).


Steinernema

Gambar Steinernema carcocapsae
Sumber: http://www.evergreengrowers.com/

Nematoda memiliki sistem syaraf, sistem pencernaan dan sistem reproduksi. Sistem pencernaan terdiri dari stoma, esophagus yang terdiri atas corpus (pro dan metacorpus), isthmus dan basal bulbs. Nematoda ini mempunyai kulit tubuh yang halus, bentuk kepala tumpul, enam bibir masing-masing memiliki paila dan stomata yang dangkal (Prabowo 2012).

Saprofag

Contoh nematode saprofag dari ordo Rhabditida
Sumber: http://plpnemweb.ucdavis.edu/

Nematoda saprophagus (non-parasit) memiliki moroflogi yang hampir sama dengan nematoda parasit. Perbedaan pokok antara keduanya terletak pada bentuk dan susunan alat mulut. Alat mulut pada nematoda non parasit berbentuk seperti corong yang terbuka lebar dan tidak memiliki alat penusuk (stylet) seperti halnya pada nematoda parasit. Nematoda parasit kebanyakan hidup dengan memakan bahan-bahan organik (sebagai nematoda saprofag).

Mononchus

Gambar kepala mononchus
Sumber: http://nematode.unl.edu/

Gambar ekor mononchus
Sumber: http://wp.natsci.colostate.edu/

Nematoda mononchus memiliki ciri ciri morfologi yaitu pada nematode betina, ukuranya sedang, pada daerah bibir memiliki bentuk yang kontinyu dengan bagian tubuh. Busal cavity memiliki ukuran sedang kemudian terus menerus membesar. Gigi pada bagian dorsal berada pada 25-30% dari busal cavity bagian anterior. Nematoda ini memiliki bentuk ekor silindris panjang dan pada nematode jantan tidak (Tahsen and Rajan, 2009).

Criconema

Gambar Criconema murrayi
Sumber: http://plpnemweb.ucdavis.edu/

Bentuk tubuh nematoda Criconema hampir sama dengan Criconemoides, kecuali pada anulasi tubuhnya. Anulasi menyerupai bentuk cincin yang terlihat seperti tersusun melingkar di sepanjang tubuhnya, jumlah antara 45 — 100 anulasi. Bagian kepala datar dan ujung ekornya konoid. Panjang stilet 50 — 122 mikron. Vulva terletak pada bagian posterior. Siklus hidup dan sifat parasitasi nematoda tersebut tidak banyak diketahui µm (Dropkin, 1992).

Hoplolaimus

Gambar Hoplolaimus galeatus
Sumber: http://entnemdept.ufl.edu/

Hoplolaimus memiliki Kepala tinggi, membulat konoid atau lebar membulat. Kedua jenis kelamin aktif. Berbentuk memanjang. Kerangka kepala berkembang baik. Stilet lebar dengan basal knob nampak jelas. Nematoda ini panjangnya sedang (1-2 mm), apabila mati karena perlakuan panas, maka tubuhnya sedikit melengkung pada bagian ventral. Bagian kepalanya tinggi, berlekuk, tumpul dan mengalami sklerotinisasi yang padat. Anula bibir basal terbagi menjadi segiempat kecil-kecil. Stiletnya kuat, panjangnya 40-50 µm, dengan basal knob yang tumbuhnya sempurna dan ujungnya meruncing seperti gigi. Nematoda betina, vulvanya terletak pada bagian tengah, alat genitalnya terdiri atas dua saluran yang terletak berlawanan. Ekornya pedek, tumpul dan membulat. Fasmidnya membesar membentuk skutelle, satu berada diatas anus dan vulva, dan yang lain terletak di depan vulva. Nematoda jantan, ekornya pendek, spikulanya timbul sempurna dan melengkung. Bursanya berkembang mencapai ujung ekor. Skutellanya berada pada posisi yang relatif sama dengan posisi skutelle pada nematode betina µm (Dropkin, 1992).

Helicotylenchus

Gambar nematode Helicotylenchus S: Stilet; V: Vulva
Sumber: http://entnemdept.ufl.edu/

Tubuh nematoda Helicotylenchus pada umumnya seperti spiral sehingga seringkali disebut ‘spiral nematoda”. Daerah bibir tidak “set off’ atau tidak ada lekukan antara bagian kepala dengan tubuhnya. Anulasi pada tubuhnya kasar sampai pada bagian melengkung ekornya.Daerah labial mengalami sklerotisasi yang kuat. Panjang stilet 20 mikron dengan basal knob yang berkembang kuat µm (Dropkin, 1992).

Hirschmanniella

Gambar kepala Hirschmanniella
Sumber: http://www.wageningenur.nl

Gambar ekor Hirschmanniella
Sumber: http://plpnemweb.ucdavis.edu/

Hirschmanniella dewasa memiliki ukuran tubuh berkisar antara 0,9-4,2 mm. Kerangka pekala berkembang dengan baik dan berbentuk merata kea rah anterior. Stylet nematode ini lumayan pendek dengan ukuran tiga sampai lima kali panjang diameter tubuh. Ada bagian yang tumpeng tindih pada ventral yaitu dari kerongkongan ke usus. Hirschmanniella betina memiliki ovarium yang terletak pada bagian posterior, panjangnya sekitar tiga sampai lima kali lebar tubuh, berbentuk lonjong, dan berakhir di bagian mucron. Nematoda jantan tidak ditemukan caudal alae yang berkembang di ekor. Selain itu juga tidak ditemukan dimorfisme pada bagian anterior tubuh (Maung et al, 2010).

Meloidogyne L2

Gambar tubuh Meloidogyne L2
Sumber: http://nematode.unl.edu/

Meloidogyne spp. melakukan siklus hidupnya mulai dari telur hingga masa dewasa. Meloidogyne spp. dimulai dari fase telur, fase telur ini mengalami pergantian kulit jadi juvenile I. Setelah itu, lelur menetas, ganti kulit kedua jadi memasuki fase juvenile II. Kemudian bekembang anti kulit ketiga lagi masuk ke fase juvenile III, tumbuh masuk fase juvenile IV setelah ganti kulit keempat. Dari fase juvenile IV memasuki fase dewasa jantan dan betina. Meloidogyne spp. jantan dan betina dewasa kemudian membengkak tubuhnya sehingga aktivitas geraknya terbatasi, betina akan mengandung teluryang jumlanya banyak,ukran tubuh betina akan tetap membengkak terus, tetapi jantan dewasa akan kembali ke ukuran ramping semula lagi (Thorne, 1961).

Larva pada stadium kedua muncul pada suhu dan kelembapan yang sesuai serta bergerak di dalam tanah menuju ke ujung akar yang sedang tumbuh. Mereka menerobos masuk, biasanya di daerah akar yang sedang memanjang, merusak selsel dengan mematukkan stiletnya berulang-ulang. Setelah masuk ke dalam akar, larva bergerak di antara sel-sel sampai tiba di dekat silinder pusat, sering kali berada di daerah pertumbuhan akar samping. Di tempat tersebut larva menetap dan menyebabkan pertumbuhan sel-sel yang akan menjadi makanannya (Thorne, 1961).

Radopholus

Gambar A: Nematoda Radopholus betina; B: Nematoda Radopholus jantan
Sumber: http://entnemdept.ufl.edu/

Radopholus betina memiliki kerangka erangka kepala mengeras dan nampak jelas. Kedua jenis kelamin aktif, tubuhnya memanjang. Kepada pada dua jenis kelamin rendah, lebar dan membulat atau bagian anterior mendatar, (kecuali pada Radopholus), lebar kira-kira setengah sampai tiga perlima panjang stilet. Stilet kekar dengan basal knob besar. Tiga kelenjar esofagus pada lobus bertindihan dengan usus. mempunyai satu atau dua ovarium. Panjang ekor betina dua kali atau lebih lebar dari bagian anus. Panjang nematoda jantan rata-rata 0,58 mm dan mengalami degenerasi, esofagus dan styletnya tidak berkembang sempurna.

Kepala nematoda jantan berbentuk membulat dan berlekuk yang sangat berbeda dengan betina. Mempunyai testis tunggal dan bursa meluas sampai dua per tiga ekor. Panjang spikula 18-22 μm berbentuk slindris dan melengkung. Ekor memanjang berbentuk krucut dan melengkung ke arah ventral dan pembungkus bursa antara 2-3 atau lebih. Jantan : Panjang nematoda jantan rata-rata 0,58 mm dan mengalami degenerasi, esofagus dan styletnya tidak berkembang sempurna. Kepala nematoda jantan berbentuk membulat dan berlekuk yang sangat berbeda dengan betina. Mempunyai testis tunggal dan bursa meluas sampai dua per tiga ekor. Panjang spikula 18-22 μm berbentuk slindris dan melengkung. Ekor memanjang berbentuk krucut dan melengkung ke arah ventral dan pembungkus bursa antara 2-3 atau lebih (Dropkin,1992).

NSK

Gambar: Nematoda sista kentang
Sumber: http://www.clfs.umd.edu/

Betina muda yang sudah matang tubuhnya membengkak (swollen), berukuran 500-800 µm. Tubuh nematoda betina dewasa berwarna kuning keemasan sehingga sering pula diberi nama nematoda sista kuning/emas (golden nematode), bentuk tubuh bulat, bagian posterior tidak menonjol. Nematoda jantan berbentuk cacing dengan ukuran 1200 µm. Nematoda betina dewasa dan jantan dewasa ditemukan mulai hari ke-40 setelah tanaman bertunas. Sista G. rostochiensis memiliki fenestra tunggal bulat. Pada penelitian diamati adanya sista besar dan kecil. Sista besar memiliki panjang 754,55±8,26 µm dan lebar 698,55±33,96 µm, sedangkan sista kecil berukuran panjang 608,25±35,24 µm dan lebar 469,42±13,78 µm. Jumlah telur dalam sista berkisar antara 300 sampai 600 telur tergantung ukuran sista. Telur dalam sista berukuran panjang 106,28±5,69 µm dan lebar 48,68±2,69 µm. Sista ditemukan mulai hari ke-56 setelah tanaman bertunas ( Asyiah, 2009 dan Rahayu dkk, 2003).

Sidik Pantat

Gambar Sidik Pnatat Meloidogyne javanica
Sumber: http://plpnemweb.ucdavis.edu/

Meloidogyne spp ini dapat dibedakan dengan melihat sidik pantat dari nematode tersebut. Dengan melihat sidik pantat ini dapat dibedakan spesiesnya. Dari mengamati sidik pantat tersebut kita dapat mengetahui apa spesies dari nematode tersebut. Dari genus Meloidogyne spp ini terdapat empat spesies, diantaranya Meloidogyne incognita, M. arenaria, M. javanica, M. hapla. Dari beberapa jenis nematode itu mempunyai sidik pantat yang berbeda – beda. Sidik pantat dibagi dalam dua bagian, yaitu bagian dorsal dan bagian lateral. Pada sidik pantat bagian dorsal diantaranya garis lateral, lengkung dorsal, plasmid, sedangkan bagian ventral terdapat lubang vulva, lubang anus, dan striae (Hadisoeganda, 2006).

Sidik pantat Meloidogyne incognita mempunyai cirri utama lengkung dorsal yang persegi (bersudut 900). Pada sidik pantat Meloidogyne arenaria mempunyai ciri utama pertemuan lengkung dorsal dan ventral membentuk seperti bahu dengan tonjolan kutikula dan becabang seperti garpu. Pada sidik pantat Meloidogyne javanica mempunyai ciri utama terdapat garis lateral yang memisahkan lengkung dorsal dan lengkung ventral. Pada sidik pantat Meloidogyne hapla mempunyai ciri khusus terdapat tonjolan – tonjolan seperti duri pada zona ujung ekor (Hadisoeganda, 2006).

Meloidogyne jantan

Gambar Meloidogyne jantan
Sumber: http://www.apsnet.org/

Meloidogyne jantan dewasa berbentuk memanjang bergerak lambat di dalam tanah. Panjangnya bervariasi maksimum 2 mm, sedangkan perbandingan antara panjang tubuh dan lebarnya mendekati 45. Kepalanya tidak berlekuk, panjang stiletnya hampir dua kali panjang stilet betina. Bagian posterior berputar 180ºmemiliki 1-2 testis (Dropkin, 1992).

Meloidogyne betina

Sumber: http://www.ediblearoids.org/

Gambar skematis nematode Meloidogyne betina
Sumber: http://www.ediblearoids.org/

Meloidogyne betina  betina berwarna transparan, berbentuk seperti botol bersifat endoparasit yang tidak terpisah (sedentary). Panjangnya lebih dari 0,5 mm dan lebarnya antara 0,3 – 0,4 mm. Stiletnya lemah, panjang stliet 12-15 μm, melengkung kearah dorsal. Memiliki pangkal knop yang jelas. Nematoda betina dewasa mempunyai leher pendek dan tanpa ekor. Memiliki pola yang jelas pada situasi yang terdapat di sekitar vulva dan anus disebut pola perineal yang dapat dipergunakan untuk identifikasi jenis (Dropkin, 1992).

Pratylenchus

Gambar nematode pratylenchus jantan dan betina
Sumber: http://plpnemweb.ucdavis.edu/

Nematoda luka akar (Pratylenchus sp.) merupakan nematoda yang berukuran sangat kecil di antara nematoda parasit tumbuhan lain. Ukuran panjang dan lebar tubuhnya adalah yang terkecil setelah Paratylenchus sp. Lebar tubuh nematoda ini antara 40 μm hingga 160 μm, dengan panjang tubuh antara 0,4-0,7 mm, sedangkan diameter tubuh 20 -25 μm(Whitehead, 1998). Pada beberapa jenis kedua kelamin terpisah, tetapi beberapa jenis yang lain jenis kelamin jantan tidak terdapat. Bentuk nematoda ini pada umumnya memanjang, bagian ujung anterior kepala mendatar, dengan kerangka kepala yang kuat, mempunyai stilet pendek dan kuat, panjangnya 14-20 μm dengan basal knop yang jelas. Kelenjar esofagusnya tumpang tindih dengan usus pada bagian ventral. Muara lubang ekskresi berada di dekat daerah pertemuan esofagus dan usus. Vulva terdapat di daerah posterior. Betina mempunyai gonad tunggal dan mempunyai kantong pasca vulva yang pendek. Anulasinya halus dan mempunyai empat garis lateral, tetapi ada juga jenis yang mempunyai hingga delapan. Ekornya lebar, ujungnya membulat dan runcing, panjang 3,5-9% dari panjang tubuh. Nematoda jantan biasanya lebih kecil daripada yang betina (Dropkin, 1996). 

Nematoda ini mempunyai lebar tubuh antara 40 μm hingga 160 μm (Whitehead, 1998), dengan panjang tubuh antara 0,4-0,7 mm, sedangkan diameter tubuh 20 -25 μm. Bentuk nematoda ini pada umumnya memanjang, bagian ujung anterior kepala mendatar, dengan kerangka kepala yang kuat, mempunyai stilet pendek dan kuat, panjangnya 14-20 μm dengan basal knop yang jelas (Dropkin 1992).

KESIMPUALAN

  1. Kelompok nematoda parasite tumbuhan adalah antara lain Xiphinema, Criconema, Criconemoides, Hoplolaimus, Helicotylenchus, Hirsmanniella, Meloidogyne, Radopholus, NSK, dan Pratylenchus
  2. Kelompok nematoda predator adalah mononchus
  3. Contoh nematoda entomopatogen adalah Steinernema.

DAFTAR PUSTAKA

Asyiah, I.N. 2009. Siklus Hidup dan Morfologi Nematoda Sista Kentang (Globodera rostochiensis) Jurnal Unsyiah 1:40-42

Dropkin, V.H. 1992. Pengantar Nematologi Tumbuhan. Gadjah Mada University press, Yogyakarta.

Hadisoeganda, W. 2006. Nematoda Sista Kentang: Kerugian, Deteksi, Biogeografi, dan Pengendalian Nematoda Terpadu. Balai Penelitian Tanaman Sauran, Bandung.

Maung, Z.T.Z., Kyi, P.P., Myint, Y.Y., Lwin, T., and de Waele, D. 2010. Occurrence of the rice root nematode Hirschmanniella oryzae on monsoon rice in Myanmar. Tropical Plant Pathology 35: 3–10.

Mulyadi. 2009. Nematologi Pertanian. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Prabowo H. 2012. Pemanfaatan Nematoda Patogen Steinerenema spp Isolat Malang dan Nusa Tenggara Barat dalam Pengendalian Spodoptera litura L. yang Ramah Lingkungan. Jurnal Bumi Lestari 12: 350-356

Pracaya, 2007. Hama dan Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya, Jakarta.

Rahayu, B., B. Triman., dan S. Indarti. 2003. Identifikasi nematoda sista kuning (Globodera Rostochiensis) pada kentang di Batu, Jawa Timur. Jurnal Perlindungan Tanmaan Indonesia 9: 46-53

Tahsen, Q and P. Rajan. 2009. Description of Mononchus intermedius. Nematol. Medit 37:161-167

Thorne, G. 1961. Principles of Nematology. McGraw-Hill. New York.

Tjahjadi, N., 2005. Hama dan Penyakit Tanaman. Kanisius, Palembang.

Whitehead, A. G. 1998. Plant Nematode Control. CAB International. Cambridge University Press. UK

 

Tags: , , , , ,

Laporan Praktikum Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan Acara 1: PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN TERHADAP LAJU FOTOSINTESIS

Posted by miftachurohman on March 24, 2018
Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan, Laporan Praktikum / No Comments
Laporan Praktikum Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan
Acara 1
PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN TERHADAP LAJU FOTOSINTESIS

Disusun oleh:
Miftachurohman
12969
Golongan: A3
Asisten Koreksi : DindaDewanti

Laboratorium Ilmu Tanaman
Jurusan Budidaya Tanaman
Fakultas Pertanian
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
2014
ACARA 2
PENGARUH SUHU TERHADAP LAJU RESPIRASI AEROB
Pendahuluan

Suhu merupakan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi laju metabolisme, fotosintesis, transpirasi, dan respirasi tumbuhan. Suhu tinggi dapat merusak enzim sehingga metabolisme tidak berjalan baik. Suhu rendah pun menyebabkan enzim tidak aktif dan metabolisme terhenti. Respirasi tumbuhan merupakan salah satu kegiatan tumbuhan yang dapat dipengaruhi oleh suhu.

Respirasi memerankan peran yang sangat besar dalam seluruh proses metabolisme tanaman dan itu selalu menjadi ukuran utama dalam proses metabolik(Devanesan et al.,2012). Proses respirasi merupakan proses katabolisme, yaitu proses pembongkaran senyawa organik kompleks menjadi sederhana. dalam proses respirasi aerob ini dihasilkan senyawa berupa karbondioksida, air, dan energi.

Suhu yang optimum untuk proses metabolisme tumbuhan dapat diketahui dari laju respirasi aerob yang di lakukan oleh tumbuhan. respirasi aerob merupakan proses respirasi yang menggunakan oksigen. Dengan dilakukan titrasi menggunakan HCL, maka dapat dihitung jumlah CO2 yang terikat oleh NaOH.

Metodologi

Praktikum Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan yang berjudul Pengaruh Suhu Terhadap Laju Respirasi Aerob dilaksanakan pada hari Rabu, 19 Maret 2014 di Laboratorium Ilmu Tanaman, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah 8 botol volume 250 ml dengan tutup karet, 4 termometer, erlenmeyer 125 ml, buret, dan lemari es. Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah larutan NaOH 0,2 N, Larutan BaCl2, Larutan HCL 0,1 N, Larutan indikator phenolptalein, kecambah kacang hijau, dan kain kelambu serta tali. Rancangan disusun dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap(RAL) dengan dua ulangan untuk masing-masing perlakuan suhu. pengulangan titrasi digunakan sebagai ulangan. kemudian dilakukan analisis data untuk melihat apakah ada perbedaan laju transpirasi pada masing-masing perlakuan suhu. hubungan antara laju respirasi aerob suhu ditampilkan dalam bentuj kurva regresi.

Hasil dan Pembahasan

Respirasi adalah proses metabolik yang menyediakan energi untuk proses biokimia di dalam tubuh tumbuhan. proses metabolik ini melibatkan beberapa komponen organik seperti gula, asam organik, asam amino, dan asam lemak dimana akan dihasilkan energi, dan juga pelepasan panas(Barbosa et al., 2011). Suhu merupakan faktor yang dapat mempengaruhi laju respirasi pada tumbuhan. Respirasi aerob merupakan respirasi yang menggunakan oksigen.

Dalam praktikum ini, akan dilakukan pengamatan tentang pengaruh suhu terhadap respirasi aerob pada kecambah kacang hijau. Suhu yang digunakan dalam praktikum ini adalah suhu 5ºC, 15 ºC, Suhu laboratorium(29 ºC), Suhu rumah kaca(30 ºC). Percobaan dilakukan selama 18 jam. Setelah 18 jam, didapat hasil laju respirasi kecambah sebagai berikut:

Tabel 1 Pengaruh Suhu Terhadap Laju Respirasi

Suhu (ºC)

Laju respirasi (ml/CO2/Jam/gr)

5

0,464

15

0,641

29

0,812

30

0,708

Dari grafik diatas dapat diketahui, jika temperatur semakin tinggi, maka laju respirasi akan semakin naik. laju respirasi tertinggi yaitu pada suhu 29 ºC. ketika pada suhu 30 ºC, laju respirasi menjadi turun. Hal ini menunjukkan bahwa pada suhu 29 ºC, laju respirasi kecambah encapai tingkat maksimum, kemudian laju respirasi akan menurun ketika suhu semakin naik.

Grafik 1 Hubungan Suhu VS Laju Respirasi Kecambah Kacang Hijau

Dari grafik regresi diatas, maka dapat diketahui bahwa  nilai regresi adalah 0,862. Nilai ini mendekati satu. Hal ini menunjukkan bahwa jika suhu naik, laju respirasi juga akan naik. Maka ada perbandingan lurus antara suhu dan laju respirasi. Hal ini menunjukkan suhu berbanding lurus dengan laju respirasi.

Jika suhu semakin naik, maka laju respirasi juga akan semakin naik. hal ini menyebabkan jumlah CO2 yang dikeluarkan oleh kecambah menjadi tambah banyak. akibatnya, NaOH yang berfungsi untuk menangkap CO2, konsentrasinya akan semakin sedikit. ketika ditritasi dengan menggunakan HCL, maka akan semakin sedikit HCL yang digunakan untuk titrasi. Hal ini juga berlaku sebaliknya, jika CO2 yang dikeluarkan sedikit, maka konsentrasi NaOH yang tersisa akan masih banyak. akibatnya, volume HCL yang digunakan untuk titrasi juga akan semakin banyak.

Kesimpulan

Tumbuhan mempunyai suhu optimum untuk melakukan respirasi. semakin tinggi suhu, maka laju respirasi akan semakin naik dan mencapai puncak pada titik optimum. ketika suhu mencapai titik maksimum untuk melakukan respirasi, maka respirasi akan melambat. Begitu juga ketika pada suhu rendah, laju respirasi yang terjadi juga akan lambat

Saran

Suhu merupakan faktor sensitif bagi tumbuhan untuk melakukan respirasi. Pada rumah kaca, suhu yang ada biasanya tidak konstan. ketika suasana cerah, maka suhu akan meningkat, sedangkan pada saat hujan, suhu akan turun. hal ini berpengaruh terhadap laju respirasi pada kecambah. sebaiknya suhu pada rumah kaca dijaga agar tetap konstan agar dapat memperoleh data yang baik.

Daftar Pustaka

Devanesan, J.N., A. Karuppiah, and C.V.K. Abirami. 2012. Effect of storage temperature, O2 concentrations and variety on respiration of mangoes. Journal of Agrobiology 28: 119-128.

Basarbosa, L.D.N., B.A.M. Caroiofi, C.E. Dannenhauer, and A.R. Monteiro. 2011. Influence of temperature on the respiration rate of minimally processed organic carrots (Daucus Carota L. cv. Brasilia). Ciencia e Tecnologia de Alimentos 31:78-85.

Tags: , , ,

Laporan Praktikum Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan Acara 1: PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN TERHADAP LAJU FOTOSINTESIS

Posted by miftachurohman on March 20, 2018
Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan, Laporan Praktikum / No Comments
Laporan Praktikum Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan
Acara 1
PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN TERHADAP LAJU FOTOSINTESIS

Disusun oleh:
Miftachurohman
12969
Golongan: A3
Asisten Koreksi : DindaDewanti

Laboratorium Ilmu Tanaman
Jurusan Budidaya Tanaman
Fakultas Pertanian
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
2014

 

ACARA 1
PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN TERHADAP LAJU FOTOSINTESIS
Pendahuluan

Tumbuhan merupakan organisme fotoautotrof yang menghasilkan makananya sendiri. Tumbuhan menghasilkan makanan melalui proses fotosintesis. Fotosintesis merupakan satu-satunya proses penghasil makanan berupa karbohidrat.Tumbuhan menghasilkan karbohidrat dengan menggunakan senyawa anorganik seperti CO2 dan H20 serta bantuan cahaya matahari untuk mensintesis karbohidrat. Proses tersebut terjadi melalui peristiwa yang disebut fotosintesis.

Daun yang berada di puncak tumbuhan dan daun muda mempunyai palisade mesofil yang baik serta mempunyai laju fotosintesis yang signifikan dibandingkan dengan daun yang berada di bawah tajuk(Rundel et al, 1998). Hal ini berkaitan dengan cahaya sebagai faktor lingkungan yang mempengaruhi fotosintesis. Klorofil adalah pigmen yang menyerap cahaya dengan efisiensi tinggi. Klorofil dapat menyerap cahaya merah dan biru sangat baik, sedangkan cahaya hijau sedikit diserap.

Aktivitas foosintesis pada semua jenis tanaman masih bisa dideteksi pada suhu -5ºC dan diantara -5ºC bahkan dalam kondisi berair. Hal ini bertentangan terhadap pendapat bahwa pertukaran gas CO2 segera berhenti dalam kondisi air dingin(Pannewitz et al, 2005). Meskipun demikian, proses fotosintesisi yang berlangsung dalam kondisi yang sangat lemah.

Fotosintesis terjadi pada tumbuhan yang berwarna hijau. Fotosinteis ini sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, seperti intensitas cahaya, warna cahaya, dan suhu. Fotosinteisi merupakan proses yang sangat penting bagi tumbuhan. Oleh karena itu, pengetahuan tentang fotosintesis sangat diperlukan agar dapat digunakan untuk penangannan jika terjadi masalah.

Metodologi

Praktikum Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan yang berjudul Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Laju Fotosintesis dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanaman, Jurusan Budidaya Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada hari Rabu, 12 Maret 2014. Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah timbangan, alat ukur waktu, erlenmeyer, dan pipet volume 5 mL. Alat tambahan yang digunakan adalaah sungkup dengan penerusan cahaya berbeda, sungkup warna bening, merah, kuning, hijau, dan ungu, 5 termometer, 3 tripot, 3 plat asbes, 3 lampu spiritus, dan 5 gelas piala volume 1 liter.  Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah ganggang Hydrilla verticillata, aluminium foil, dan air. Bahan tambahan yang digunakan adalah es.

Praktikum ini akan dibagi menjadi tiga sub acara. Sub acara A adalah untuk mengetahui pengaruh intensitas cahaya. Sub acara B adalah untuk mengetahui pengaruh cahaya warna. Sub acara C adalah untuk mengetahui pengaruh suhu. Praktikum sub acara A dan B dilakukan dibawah sinar matahari langsung sedangkan sub acara C dilakukan di laboratorium. Pengamatan tiap sub acara dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali. Hasil pengamatan berupa hubungan antara laju fotosintesis dan intensitas cahaya serta laju fotosintesis dan suhu ditampilkan dalam bentuk kurva regresi. Pengaruh warna cahaya ditmapilkan dalam bentuk histogram.

Hasil Dan Pembahasan

Fotosintesis merupakan proses penting bagi organisme fotoautotrof untuk menghasilkan makanan bagi seluruh kehidupan organisme. Pengaruh lingkungan dapat mempengarufi fotosintesisi, seperti intensitas cahaya, warna cahaya, serta suhu. Hal ini dikarenakan fotosintesis berlangsung dengan bantuan cahaya matahari. Selain itu, suhu mempengaruhi terhadap proses fotosintesis.

Tabel 1 Hasil Pengamatan Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap laju fotosintesis

Dari Tabel 1 menunjukkan bahwa pengaruh faktor lingkungan mempengaruhi laju fotosintesis. Pada masing-masing perlakuan dalam kelompok perlakuan, menunjukkan hasil laju fotosintesis yang berbeda. Laju fotosintesis ada yang berlangsung dengan optimal pada beberapa jenis perlakuan, sedangkan pada beberapa jenis perlakuan yang lain, fotosintesis berlangsung sangat lambat bahkan tidak terjadi fotosintesis. Hal ini ditunjukkan dengan nilai laju fotosintesis adalah 0 mL O2/gr/jam.

Histogram 1 Pengaruh Warna Cahaya Terhadap Laju Fotosintesis

Pada Histogram 1 terlihat bahwa pengaruh cahaya mempengaruhi laju fotosintesis. Cahaya warna ungu memiliki laju fotosintesis paling tinggi  yaitu sebesar 0,36 mL O2/gr/jam. Cahaya bening memiliki nilai laju fotosintesis paling rendah, yaitu sebesar 0,14 mL O2/gr/jam. Dalam teori yang ada, cahaya merah menunjukkan laju hasil fotosintesis yang maksimal diikuti dengan cahaya biru. Namun dalam hal ini warna biru menunjukkan hasil yang paling tinggi. Hal ini dapat dikarenakan spektrum warna ungu dekat dengan spektrum warna biru.

Cahaya matahari merupakan sumber energi dari cahaya tampak yang terdiri atas warna pelangi dari ungu hingga merah. Klorofil adalah pigmen yang menyerap cahaya dengan efisiensi tinggi. Klorofil dapat menyerap warna merah dan ungu dengan sangat baik. Sedangkan cahaya hijau sangat sedikit di serap. Hal ini menyebabkan tumbuhan yang mengandung klorofil terlihat berwarna hijau karena cahaya hijau lebih banyak dipantulkan.

Grafik 1 Kurva Regresi antara Laju fotosintesis dengan Suhu

Grafik 1 menunjukkan bahwa semakin naiknya suhu, maka laju fotosintesis akan semakin meningkat. Suhu mempengaruhi fotosintesis dengan adanya rentang suhu optimal untuk melakukan fotosintesis. Fotosintesis umunya tidak dapat berlangsung pada suhu dibawah 5 derajat Celcius dan diatas 50 derajat celcius. Dari grafik 1 dapat diketahui ketika pada suhu 5ºC, hydrilla tidak melakukan fotosintesis. Sementara itu, dengan naiknya suhu perlakuan, laju fotosintesis pada hydrilla semakin tinggi. Pada suhu 45ºC hydrilla masih melakukan fotosintesis dan menghasilkan laju fotosintesis paling tinggi, yaitu sebesar 0,39 mL O2/gr/jam. Meskipun kurva ini semakin naik seiring dengan kenaikan suhu, namun hydrilla mempunyai suhu maksimum dalam melakukan fotosintesis.

Temperatur optimum hydrilla untuk melakukan fotosintesis adalah pada suhu 36.5ºC(Rybicki and Virginia, 2002). Pada praktikum ini, suhu yang paling mendekati suhu optimum fotosintesis hydrilla adalah 35ºC. Pada suhu tersebut, hydrilla dimungkinkan sudah mencapai titik optimum untuk melakukan fotosintesis. Ketika suhu mencapai 45ºC, laju fotosintesis mencapai pada titik maksimum. Grafik ini semakin naik, namun pada titik maksimum(diatas 45ºC) laju fotosintesis hydrilla akan terhenti karena sudah mencapai titik maksimum.

Grafik 2 Kurva Regresi antara Laju fotosintesis dengan Intensitas Cahaya

Grafik 2 menunjukkan bahwa laju fotosintesis akan naik ketika intensitas cahaya semakin naik. Laju fotosintesis tertinggi terjadi pada intensitas cahaya sebesar 75% yaitu 0,35 mL O2/gr/jam. Hal ini menunjukkaan intensitas cahaya optimum untuk tanaman hydrilla adalah pada intensitas cahaya 75%. Hydrilla adalah tanaman C3, sehingga akan optimum dalam melakukan fotosintesis pada intensitas cahaya yang rendah.

Kesimpulan

Faktor lingkungan mempengaruhi fotosintesis suatu tumbuhan hydrilla. Ketika intensitas cahaya semakin naik, maka laju fotosintesis juga akan naik. Laju intensitas maksimum tanaman hydrilla adalah 75%. Suhu maksimum tanaman hydrilla untuk melakukan fotosintesis adalah pada suhu 45ºC. Suhu yang terlalu rendah dan terlalu tinggi menyebabkan tanaman tidak dapat melakukan fotosintesis. Warna cahaya juga mempengaruhi laju fotosintesis. Hal ini berhubungan dengan gelombang(cahaya tampak) yang dapat di tangkap oleh kloropas untuk melakukan fotosintesis. Tanaman akan maksimal melakukan fotosintesis pada cahaya tampak warna ungu.

Saran

Dalam praktikum ini, ketelitian dan kehati-hatian sangat diperlukan dalam melakukan praktikum ini. Seperti halnya pada saat melakukan percobaan pengaruh suhu terhadap laju fotosintesis. Pada saat menjaga suhu agar tetap konstan, praktikan sangat sulit melakukanya. Hal ini karena panas diserap secara konduksi, sehingga perambatan panas tidak terjadi langsung secara tiba-tiba. Sehingga misalnya pada saat pemanasan pada suhu 35ºC, suhu bisa naik hingga 38 ºC. Hal ini menyebabkan data hasil penelitian menjadi tidak akurat.

DAFTAR PUSTAKA

Pannewitz, S., T.G.A. Green, K. Maysek, M. Schlensog, R. Seppelt, L.G. Sancho, R. Turk,
and B. Schroeter. 2005. Photosynthetic responses of three common mosses from
continental Antartica. Antartic Science 17(3):341-352.

Rundel, P.W., M.R. Sharifi, A.C. Gibson, and K.J. Esler. 1998. Structural and physiological
adaptation to light environments in neotropical Heliconia(Heliconiaceae). Journal of
Tropical Ecology 14:789-801

Tags: , , , ,