Paper

Budaya Ilmiah

Posted by miftachurohman on June 19, 2018
Paper, Tugas Kuliah / 1 Comment

Lembaga pendidikan (tingkat pertama, menengah dan tinggi) adalah media formal dimana peserta didik mendapatkan pendidikan dan pengajaran didalamnya. Melalui lembaga inilah diharapkan setiap generasi muda (baca : remaja) dapat mempersiapkan dirinya baik ilmu pengetahuan, keterampilan dan pengalaman untuk menjadi generasi unggul yang mampu meneruskan estafet perjuangan bangsa. Sebagai institusi ilmiah, lembaga pendidikan bukan hanya media pasif dalam mentransformasi ilmu pengetahuan kepada peserta didiknya, namun lebih dari itu sudah sewajibnya lembaga pendidikan menjadi garda terdepan dalam menciptakan komunitas ilmiah yang senantiasa mengedepankan budaya ilmiah dalam aktifitas dan interaksinya.

Lembaga pendidikan yang senantiasa mendorong peserta didiknya untuk menghidupkan budaya ilmiah berarti membantu mempercepat anak didiknya dalam menempatkan perkataan dan perbuatan dengan landasan ilmiah. Pada dasarnya, manusia berbudaya ilmiah adalah orang yang pada setiap pikiran, sikap dan perilaku didasarkan pada logika atau akal. Mereka melakukan sesuatu berdasarkan logika dan mengerti hukum. Setiap perbuatan dilakukan karena memang perlu, bukan karena ikut-ikutan atau diajak orang lain. Budaya ilmiah dapat diartikan budaya yang mengedepankan suatu proses obyektifitas yang tumbuh dan lahir dari rahim organisasi yang membiasakan komunitasnya berkomunikasi secara sehat dan konstruktif yang tendensi pergulatan pemikirannya sangat dipengaruhi oleh khasanah yang ilmiah (rasional, aktual, faktual dan obyektif).

Kampus adalah lembaga ilmiah. Di dalamnya terdapat komunitas ilmiah yang kita sebut sebagai civitas akademika. Perkataan “ilmiah” dibelakang kata “komunitas” sebagai suatu identitas kampus menunjukkan bahwa apapun interaksi yang ditimbulkan oleh dinamika yang terjadi ditengah-tengah kampus, termasuk di dalamnya adalah yang menyangkut pergulatan pemikiran dari para dosen. Dalam konteks ini artinya masyarakat ilmiah harus marfum bahwa setiap pendapat yang menyangkut ide, gagasan dan apapun bentuknya, haruslah diwarnai oleh yang namanya telaah ilmiah (baca : intelektual – kontekstual) yang memiliki bobot dan tendensi yang solutif. Jika prasyaratan tersebut tidak terpenuhi, maka sebenarnya konsep Tri Dharma sebagai ibu kandung dari civitas akademika hanya sekedar utopia belaka. Paradigma inilah sebenarnya yang senantiasa harus terus dikampanyekan. Sebab berdayanya suatu kampus berkorelasi dan berinterelasi dengan sejauh mana intensitas pergulatan pemikiran yang terjadi.  

Kristalisasi konsep budaya ilmiah sebagai suatu proses pembelajaran yang diciptakan lembaga (baca : kampus) sejatinya akan menumbuh kembangkan daya guna bagi civitas akademika untuk memberikan kontribusinya sesuai dengan warna lembaga. Persoalan ini menjadi penting untuk diangkat ketika budaya ilmiah terdistorsi oleh subyektifisme berfikir yang diartikulasikan oleh mereka ( baca : civitas akademika – termasuk oleh para dosen). Subyektifisme berfikir lahir dari suatu keadaan dimana eksistensi dan kontribusi seseorang teromantisasi dan terdramatisasi oleh kepentingan yang menyertainya.

Paradigma berfikir seseorang lebih diwarnai oleh suatu asumsi untuk membuat aman eksistensinya dalam suatu komunitas. Alhasil orang tersebut dikatakan sebagai orang yang “pintar” cari “perhatian” dan bahkan “pintar” cari selamat. Fenomena ini memang biasa terjadi dan pasti selalu ada dalam suatu organisasi. Namun menjadi tidak biasa ketika kondisi ini menjadi budaya yang melembaga. Contoh yang sering terjadi dalam konteks ini adalah misalnya “ketika asumsi dan persepsi individu menjadi indikator munculnya like or dislike dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan apapun yang berangkat dari pandangan empirik berdasarkan asumsi tersebut, jelas akan mempengaruhi esensi budaya ilmiah dalam suatu lembaga.

Profesor Terry Mart dalam tulisannya Hakikat Seberkas Makalah Ilmiah (Kompas , 21/02/2012) menulis

Selama ini kita dan generasi pendahulu kita sudah membuat kesalahan besar dalam pengembangan budaya ilmiah di perguruan tinggi yang, jika tak segera dibenahi, akan meruntuhkan bangunan peradaban bangsa ini. Pembenahan harus multilevel, bahkan mungkin dari tingkat pendidikan anak usia dini sekalipun. Namun, jelas pembenahan harus mulai dari detik ini.

(tulisan ini menyoroti mengenai polemik sekitar jurnal ilmiah). Pembenahan budaya ilmiah harus dilakukan dari sekarang!, itu bagian paling menarik dari kalimat diatas. Namun pertanyaannya mulai dari apa?, dan pembenahan yang mana?. Apakah memulai langsung dari pelatihan penulisan karya ilmiah?, bukankah itu terlalu lama?.

Budaya ilmiah sebenarnya tidak hanya karya ilmiah. Minimal diskusi tema, atau sederhananya dalam obrolan sehari-hari. budaya ilmiah yang mengakar pada obrolan ringan tersebut akan bertransformasi menjadi komponen, dan akan mencari bagian lain hingga kemudian menjadi sistem. Prosesnya, manusia sebagai pencipta budaya ilmiah akan mulai membiasakan percakapan berbobot dengan proses awal dimana mulai ada pembatasan mana yang opini, abduksi dan ijtihad.Dengan demikian maka harus disadari juga bahwa ini perlu diimbangi dengan penghargaan bagi hasil kesimpulan/ide orang lain. Jadi mau ataupun tidak, budaya ilmiah juga menyangkut plagiarism.

Perubahan pola belajar mengajar baik dari sisi muatan kurikulum, metode mengajar guru/dosen, metode belajar siswa/mahasiswa harus segera dilakukan dalam rangka menumbuhkembangkan budaya ilmiah bagi peserta didik. Lembaga pendidikan formal tidak hanya bertanggungjawab terhadap mentransformasi muatan kurikulum formal semata kepada anak didiknya namun lebih dari itu harus mampu mewujudkan peserta didiknya menjadi insan yang berbudaya ilmiah baik dalam bersikap maupun berperilaku. Prof Komarudin menyampaikan ”Formalisasi pendidikan yang menjadikan bangsa kita tidak maju”.

Beberapa contoh budaya ilmiah yang harus ditumbuhkembangkan oleh remaja sehingga akan mencerminkan eksistensi dan kompetensi diri adalah sebagai berikut :

Budaya Membaca. Membaca adalah jantung pendidikan. Menurut Francis Baron, Membaca menciptakan manusia yang lengkap. Membaca adalah pintu menuju gerbang ilmu pengetahuan, dengan membaca setiap kita akan mengetahui dan memahami berbagai informasi untuk memperkaya khasanah keilmuan. Dengan membaca yang tidak diketahui menjadi tahu dan yang tidak dimengerti menjadi dimengerti. Dalam berbagai kesempatan remaja harus mulai membiasakan membaca, apapun sumber bacaannya (positif). Menumbuhkan kepedulian membaca, akan semakin memperbanyak pustaka ilmu pengetahuan pada diri remaja, dengan membaca, remaja akan mengedepankan budaya ilmiah terutama dalam hal komentar dan ucapannya sesuai sumber terpercaya yang dia baca.

Budaya Menulis. Frank tibolt dalam bukunya berjudul meraih yang terbaik, membuktikan bahwa dengan menulis bermacam masalah dan kerumitan akan terpecahkan dengan baik sehingga dia mengatakan menulis adalah mitra dan solusi terpercaya. Menulis adalah bentuk ekspresi diri yang didasari dengan ide, konsep dan gagasan seseorang untuk maksud dan tujuan tertentu. Kegiatan menulis dalam bentuk apapun (buku, jurnal, karya ilmiah, artikel, dan yang lainnya) akan menjadikan kita mempunyai kapasitas dan kapabelitas keilmuan dimata orang lain. Remaja yang memaksakan untuk mencoba menulis sesuatu hal yang dia ketahui akan mendorong mereka menjadi terbiasa mencurahkan isi hatinya dalam bentuk tulisan. Dengan terbiasa maka menulis akan tumbuh menjadi budaya yang melekat pada diri remaja untuk mengekspresikan ide dan pemikirannya sebagai sumbangsih remaja dalam mendorong terciptanya budaya ilmiah dikalangan remaja.

Budaya Berdiskusi. Apa yang telah kita baca dan tulis belum pasti kebenarannya meskipun jelas sumbernya. Untuk meyakinkan sejauh mana kebenarannya sehingga diterima/tidaknya argumentasi kita maka sangat perlu untuk didiskusikan. Diskusi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; 1990) memiliki arti “pertemuan ilmiah untuk bertukar pikiran mengenai suatu masalah”. Biasanya dalam diskusi para peserta mencari penyelesaian suatu masalah, minimal mereka mengajukan usul atau ide yang mungkin bisa menyelesaikan masalah yang mereka diskusikan. Diskusi adalah forum untuk menguji sejauhmana kemampuan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang kita miliki untuk dijadikan konsensus atau untuk dikritisi sebagai sesuatu yang masih banyak kelemahan dan kekurangannya dari berbagai aspek kajian. Oleh karenanya dengan diskusi kita akan semakin memahami betul akan pentingnya masukan, kritikan dan saran atas apa yang kita ketahui dan kita pahami selama ini. Dengan diskusi pula akan semakin meningkatkan kualitas komunikasi kita (communication skill) untuk dapat meyakinkan dan mempengaruhi orang lain.

Aktif pada Forum/Organisasi Ilmiah. Forum/organisasi ilmiah merupakan tempat dimana berkumpulnya masyarakat/komunitas intelektual dan ilmiah, implementasi program kerja dari forum/organisasi ilmiah biasanya difokuskan pada kajian mendalam dan kontinyu terhadap suatu bidang keilmuan untuk mewujudkan generasi intelektual yang mampu menghasilkan karya ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan dari berbagai aspek. Remaja diharapkan berperan aktif didalam berbagai forum/organisasi ilmiah untuk memperdalam ilmu pengetahuan dan turut serta menyumbangkan ide dan pemikirannya. Melalui forum/organisasi ilmiah, setiap remaja akan terlihat cerdas dan unggul baik wawasan maupun ilmu pengetahun yang digelutinya.

Menjadi Student Center Learning. Student Center Learning adalah proses pembelajaran yang berfokus pada peserta didik. SCL merupakan aktivitas yang di dalamnya peserta didik bekerja secara individual maupun kelompok untuk mengeksplorasi masalah, mencari pengetahuan secara aktif dan bukannya penerima pengetahuan secara pasif (Harmon & Harumi, 1996). Peserta didik merupakan komponen utama di dalam kelas, peserta didik merupakan fokus, dan pengajar berfungsi sebagai fasilitator bagi pembelajar dalam diskusi kelompok kecil, SCL merupakan lawan dari “teacher-centered” (Eaton, 1994). Peserta didik sebagai “partners” dengan pengajar di dalam pendidikan (Alley, 1996). Melalui metode ini, peserta didik diharapkan mampu membangun Paradigma pembelajaran dengan melibatkan penciptaan lingkungan dan pengalaman yang memungkinkan mereka mencari, menemukan, dan mengkonstruksi pengetahuan dan memposisikan diri dari behaviorism menjadi constructivism. Peserta didik harus membangun suasana belajar yang proaktif, kritis dan dialogis untuk menguasai ilmu pengetahuan, memahami hubungan antara pengetahuan dengan dunia nyata (analitis, sintesis, artikulasi).

Membangun dan menumbuhkembangkan budaya ilmiah adalah salah satu solusi terbaik dalam mencegah terjadinya perilaku dan pergaulan remaja yang memprihatinkan. Melalui budaya ilmiah setiap generasi muda (baca : remaja) dituntut untuk membudayakan hal-hal yang bersifat keilmuan seperti membaca, menulis, berdiskusi, aktif dalam berbagai forum/organisasi ilmiah dan menjadi student center learning dilingkungan pendidikan. Dengan menyibukkan diri pada berbagai aktifitas positif diatas, generasi muda (baca : remaja) diharapkan menjadi generasi bangsa yang cerdas, berwawasan dalam ilmu pengetahuan dan menjadi SDM yang unggul dalam berbagai bidang. Inilah generasi muda bangsa (baca : remaja) yang akan menjadikan bangsa ini bermartabat dan disegani bangsa lain.

Patut disadari bahwa universitas tidak akan menjadi unggul dan dihormati dari segi akademik jika orang-orang yang berada dalam universitas tersebut tidak memiliki budaya ilmiah. Tidak ada jalan lain selain membangun dan melaksanakan budaya ilmiah untuk membawa universitas menjadi unggul dan disegani  karena inilah yang harus perlu dibina sejak awal universitas itu dibangun.

Berikut adalah unsur-unsur yang diperlukan untuk membangun budaya ilmiah:

Norma ilmiah

  1. Memberikan penghargaan (credit) yang sepatutnya kepada orang yang memberikan kontribusi kepada penelitian; pengarang bersama (authorship) atau ucapan terima kasih (acknowledgement) — (Catatan: Norma ini yang selalunya tidak diikuti — mungkin untuk kenaikan pangkat atau ingin dianggap hebat oleh orang lain).
  2. Jujur dalam memberikan penilaian kepada hasil pekerjaan orang lain.
  3. Publikasi di jurnal ilmiah yang dinilai oleh rekan sejawat (peer-reviewed journals). adalah media untuk menciptakan reputasi. Sejarah telah membuktikan bahwa tidak ada jalan selain ini — reputasi ilmiah tidak akan tercipta melalui publikasi di koran dan televisi.

Ciri-ciri dari budaya ilmiah

  1. Metoda saintifik
  2. Penilaian dari rekan sejawat (peer-reviewed system).
  3. Akumulasi dari pengetahuan yang dipublikasikan dalam peer-reviewed journals dan disimpan untuk bahan rujukan.
  4. Buku catatan laboratorium — (Catatan: Saya mengamati banyak kawan-kawan saya yang juga dosen, walaupun mereka lulusan dari perguruan tinggi ternama, mereka tidak mempunyai buku ini, walaupun ada — tetapi tidak ditulis dengan cara yang betul)

Kebiasaan ilmiah

  1. Selalu mempublikasikan hasil penelitian. (Catatan: Masih banyak profesor yang sedikit sekali publikasinya, yang menandakan mereka tidak pernah melakukan penelitian yang bermutu — Apakah mereka masih dianggap pakar?)
  2. Dapatkan pendidikan yang setinggi-tingginya — PhD dalam bidang sains.
  3. Pendidikan yang dimulai dengan bimbingan dan kemudian baru bekerja secara mandiri.
  4. Mobilitas yang tinggi dari para saintis, berpindah dari satu universitas ke universitas yang lain.
  5. Selalu berinteraksi dengan orang-orang yang pintar yang memiliki ketertarikan dalam bidang yang sama dalam sains.

Peraturan-peraturan dalam dunia ilmu pengetahuan

  1. Menyelidiki efek dari satu variabel dengan cara mengontrol variabel-variabel yang lain.
  2. Selalu beragumentasi berasaskan fakta-fakta yang betul.
  3. Mengemukakan hipotesis, iaitu kesimpulan sementara dari proses penelitian, yang nantinya akan dibuktikan kebenarannya.
  4. Selalu merujuk hasil penelitian orang lain.
  5. Selalu menyimpan hasil-hasil penelitian dengan rapi, supaya orang lain dapat mengulangi eksperimen-ekesperimen yang telah dilakukan.
  6. Penemuan yang luar biasa selalunya harus didukung oleh fakta-fakta pendukung yang juga luar biasa.
  7. Teori dikatakan bagus jika teori tersebut dapat menjelaskan banyak fenomena-fenomena, dibandingkan dengan teori yang hanya sesuai untuk beberapa fenomena saja.
  8. Jika data baru tidak sesuai dengan teori lama, salah-satu dari mereka — data baru atau teori lama tersebut — pasti tidak betul.
  9. Alam semesta ini selalunya memiliki aturan-aturan yang jelas dan juga teratur.

Hal-hal yang tidak patut dilakukan dalam dunia ilmu pengetahuan

  1. Tidak objektif dan tidak menerima fakta-fakta yang didapatkan dari hasil eksperimen yang dilakukan dengan cara yang betul.
  2. Menipu dalam melaporkan data — membuat data palsu dan mengubah data.
  3. Plagiat
  4. Tidak memberikan penghargaan (credit) kepada orang yang juga memberikan sumbangan ilmiah kepada penelitian yang dilakukan.

Tags:

Nasionalisme

Posted by miftachurohman on June 14, 2018
Paper, Tugas Kuliah / No Comments

Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan memoertahankan kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Nasionalisme dapat diwujudkan dalam sebuah identitas politik atau kepentingan bersama dalam bentuk sebuah wadah yang disebut bangsa (nation). Nasionalisme merupakan suatu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Nasionalisme sangat dibutuhkan bagi seluruh warga negara Indonesia, karena paham inilah yang dapat menjaga keutuhan negara. Rasa persatuan dan kesatuan hanya dapat terwujud ketika seluruh masyarakat memiliki rasa nasionalisme yang kuat. Tanpa memiliki rasa etnosentris yang berlebihan yang dapat memicu perpecahan. Namun sifat kedaerahan tersebut melebur menjadi satu dibawah payung nasionalisme.

Nasionalisme Indonesia yang sudah berlangsung sejak abad 9 (Sriwijaya) dan abad 14 (Majapahit) ternyata dengan mudah meluntur dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan dalam beberapa tahun terakhir. kini Indonesia merdeka sudah genap 66 tahun namun ancaman nasionalisme bangsa justru semakin meningkat. Para pemuda sebagai penerus bangsa diharapkan memiliki rasa nasionalisme. Namun sebaliknya globalisasi dan westernisasi sangat mengancam nasionalisme para pemuda. Semua ancaman tersebut harus dapat diminimalisir dengan berbagai cara. Karena bila dibiarkan secara terus menerus, dapat menggerus nasionalisme golongan muda dan hal itu dapat mengancam eksistensi NKRI.

Pemuda adalah penerus bangsa. Bangsa akan menjadi maju bila para pemudanya memiliki sikap nasionalisme yang tinggi. Namun, dengan memudarnya rasa nasionalisme, pemuda dapat mengancam dan menghancurkan bangsa Indonesia. Hal itu terjadi karena ketahanan nasional akan menjadi lemah dan dapat dengan mudah ditembus oleh pihak luar. Bangsa Indonesia sudah dijajah sedari dulu sejak rasa nasionalisme memudar. Bukan dijajah dalam bentuk fisik, namun dijajah secara mental dan ideologi.

Nasionalisme muncul dari kehendak untuk merdeka dari penjajahan bangsa lain serta persamaan nasib bangsa yang bersangkutan, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Ernest Renan, Otto Bauwer dan Petter Tomasoa. Namun di era modern konsep itu tidak lagi sepenuhnya bisa diterima. Gagasan nasionalisme awal hanya terpaku pada kehendak untuk merdeka atau “nasionalisme yang ingin memiliki negara”. Namun bila kemerdekaan sudah tecapai secara perlahan akan lenyaplah nasionalisme tersebut. Sepertinya hal itulah yang kini sedang menimpa kaum muda Indonsia. Nasionalisme kaum muda menglami erosi yang luar biasa. Berapa banyak kaum muda yang tau bahwa 10 November adalah hari pahlawan? Kalaupun ada yang tau, berapa banyak yang bisa memaknai hari pahlawan tersebut? Pasti tidak banyak. Mereka cenderung menjadi beban Negara, ketimbang sebagai asset yang senantiasa memberikan input konstruktif dan suri tauladan yang baik.

Pikiran Manusia adalah generatif, kreatif, proaktif dan reflektif, tidak sekedar reaktif

Kutipan definisi pikiran manusia yang diambil dariteori Albert Bandura merupakan suatu makna yang luas dan sangat identik dengan  jiwa Nasionalisme yang saat ini semakin berkurang dari masa kemasa. Dalam tubuh Nasionalisme terdapat beberapa elemen yang mendasar dan berpengaruh kuat, dalam pikiran manusia sangat berpadu dengan jiwa Nasionalisme yang dapat diaplikasikan dengan budaya yang generatif, ekonomi kreatif,  kepimpinan yang proaktif dan sosial yang reflektif.

Faktor internal penyebab pudarnya nasionalisme di Indonesia:

  1. Pemerintahan pada zaman reformasi yang jauh dari harapan masyarakat, sehinggamembuat mereka kecewa pada kinerja pemerintah saat ini. Terkuaknya kasus-kasuskorupsi, penggelapan uang Negara, dan penyalahgunaan kekuasaan oleh para pejabatNegara membuat masyarakat enggan untuk memerhatikan / respect lagi terhadappemerintahan.
  2. Sikap keluarga dan lingkungan sekitar yang tidak mencerminkan rasa nasionalisme dan patriotisme, sehingga para pemuda meniru sikap tersebut. Para pemuda merupakan peniruyang baik terhadap lingkungan sekitarnya.
  3. Demokratisasi yang melewati batas etika dan sopan santun dan maraknya unjuk rasa,telah menimbulkan frustasi di kalangan masyarakat dan hilangnya optimisme, sehinggayang ada hanya sifat malas, egois dan, emosional.
  4. Tertinggalnya Indonesia dengan Negara-negara lain dalam segala aspek kehidupan,membuat masyarakat tidak bangga lagi menjadi bangsa Indonesia.
  5. Timbulnya etnosentrisme yang menganggap sukunya lebih baik dari suku-suku lainnya, membuat masyarakat lebih mengagungkan daerah atau sukunya daripada persatuan bangsa. Menguatnya solidaritas serta ikatan sosial berdasarkan etnis, agama, ras, atau ideologi sejak reformasi dapat menjadi penyebab hancurnya nasionalisme Indoneia.

Faktor eksternal penyebab pudarnya nasionalisme di Indonesia:

  1. Cepatnya arus globalisasi yang berimbas pada moral masyarakat. Mereka lebih memilihkebudayaan Negara lain, dibandingkan dengan kebudayaanya sendiri, sebagai contohnyapara pemuda lebih memilih memakai pakaian-pakaian minim yang mencerminkanbudaya barat dibandingkan memakai batik atau baju yang sopan yang mencerminkanbudaya bangsa Indonesia. Para pemuda kini dikuasai oleh narkoba dan minum-minumankeras, sehingga sangat merusak martabat bangsa Indonesia.
  2. Paham liberalisme yang dianut oleh Negara-negara barat yang memberikan dampak padakehidupan bangsa. Masyarakat meniru paham libelarisme, seperti sikap individualismeyang hanya memikirkan dirinya sendiri tanpa memperhatikan keadaan sekitar dan sikapacuh tak acuh pada pemerintahan

Nasionalisme yang telah diatur dalam Undang Undang antara lain menyangkut bahasa,bendera lambang negara dan lagu Nasional Indonesia. Tepatnya tahun 2009 lalu, Indonesia memiliki undang-undang yang menyangkut hal hal Nasionalisme yaitu UU No. 24 Tahun2009. UU tersebut berisi materi tentang kebahasaan, bendera, lambang negara, dan lagu kebangsaan. Sejalan dengan dengan adanya undang undang tersebut , banyak pelanggaran yang menyangkut nasionalisme.  Contoh kecilnya adalah penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa wajib.Banyak istilah istilah asing yang digunakan produsen untuk produknya misalnya penggunaankata body wash , yang seharusnya dapat digunakan kata sabun karena maknanya sama.

Nasionalisme merupakan benang merah dari terciptanya bangsa yang beradab. Nasionalisme harus dimiliki oleh setiap warga karena setiap warga negara ikut menentukan terhadap jalanya peradaban suatu bangsa. Berbagai ancaman nasionalisme di Indonesia semakin waktu semakin menjadi. Pemuda sebagai generasi penerus bangsa harus protektif terhadap hal-hal yang mengancam keutuhan nasionalisme Indonesia agar NKRI selalu utuh.

Tags: ,

Peran Pemulia Tanaman dalam Meningkatkan Produktifitas Tanaman

Posted by miftachurohman on April 10, 2018
Paper, Tugas Kuliah / No Comments

Benih ataupun bibit, sebagai produk akhir dari suatu program pemuliaan tanaman, yang pada umumnya memiliki karakteristik keunggulan tertentu, mempunyai peranan yang vital sebagai penentu batas-atas produktivitas dan dalam menjamin keberhasilan budidaya tanaman. Sampai saat ini, upaya perbaikan genetik tanaman di Indonesia masih terbatas melalui metode pemuliaan tanaman konvensional, seperti persilangan, seleksi dan mutasi, dan masih belum secara optimal memanfaatkan aneka teknologi pemuliaan modern yang saat ini sangat pesat perkembangannya di negara-negara maju.

Tujuan pemuliaan masih berkisar pada upaya peningkatan produktivitas, ketahanan terhadap hama dan penyakit utama dan toleransi terhadap cekaman lingkungan (Al, Fe, kadar garam, dll), pemuliaan kearah karakter kualitas paling sering dijumpai pada komoditas hortikultura. Pada umumnya, kegiatan pemuliaan di Indonesia masih didominasi oleh lembaga-lembaga pemerintah, sedangkan pihak swasta masih terbatas dalam upaya propagasi (perbanyakan) tanaman dan relatif sedikit yang sudah mengembangkan divisi R & D-nya.

Riset pemuliaan molekuler masih sangat terbatas. Pemberlakuan UU No. 29 tahun 2000, yang memberikan perlindungan dan hak khusus bagi pelaku riset pemuliaan, memberi peluang untuk berkembangnya industri perbenihan kompetitif yang berbasis riset pemuliaan. 

Peningkatan produktivitas tanaman umumnya merupakan tujuan yang paling sering dilakukan pemulia dalam merakit suatu kultivar. Hal ini karena peningkatan produktivitas berpotensi menguntungkan secara ekonomi. Bagi petani, peningkatan produktivitas diharapkan dapat menkonpensasi biaya produksi yang telah dikeluarkan.

Peningkatan produktivitas (daya hasil per satuan luas) diharapkan akan dapat meningkatkan produksi secara nasional. Terlebih bahwa telah terjadinya pelandaian peningkatan produktivitas beberapa komoditas tanaman, utamanya padi.

Peran pemuliaan dalam upaya peningkatan kualitas komoditas tanaman adalah perakitan kultivar yang memiliki kualitas tinggi seperti perbaikan terhadap warna, rasa, aroma, daya simpan, kandungan protein, dll. Perbaikan kualitas juga berarti perbaikan ke arah preferensi konsumen (market/ client). Karakter kualitas target pemuliaan.

Sebagai contoh pada tanaman mangga adalah karakter (diantaranya): daging buah tebal, rasa manis, tekstur daging buah baik, kadar serat rendah, biji tipis, kulit buah tebal dengan warna menarik serta memiliki daya simpan yang panjang.

Tags: ,