LAPORAN PRAKTIKUM
EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TUMBUHAN
ACARA III
PERKEMBANGAN PEMBENTUKAN KONIDIOFOR DAN KONIDIUM SPORA JAMUR Peronosclerospora maydis PADA PENYAKIT BULAI JAGUNG
Disusun oleh:
Miftachurohman
12969
Asisten :
Desi Sri Mulya
Pepy
LABORATORIUM ILMU PENYAKIT TUMBUHAN TERPADU
JURUSAN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015
PENDAHULUAN
TUJUAN
- Mengikuti perkembangan pembentukan konidiofor Peronosclerospora maydis.
- Mengikuti perkembangan pembentukan konidium dan pembebasan Peronosclerospora maydis.
TINJAUAN PUSTAKA
Salah satu kendala produksi jagung adalah penyakit bulai. Penyakit ini disebabkan oleh jamur Peronosclerospora maydis. Perbaikan sifat ketahanan jagung terhadap bulai telah banyak dilaporkan, namun belum diperoleh varietas yang benar-benar tahan. Varietas unggul saat ini lebih mengedepankan produktifitas, kualitas gizi yang lebih baik, toleran stres lingkungan dan sisa biomas yang tetap hijau untuk keperluan pakan ternak. Kombinasi sifat-sifat tersebut terbukti mampu meningkatkan hasil, tetapi belum mampu mengatasi masalah penyakit bulai.
Penyakit ini merupakan penyakit penting karena dapat memusnahkan tanaman. pathogen ini bersifat obligat, termasuk pathogen polisiklik yang dipencarkan oelh angina dan juga melalui biji. Penyakit ini memerlukan kelembaban yang tinggi untuk perkembanganya. Perkecambahan spora memerlukan air bebas. Pengelolaanya dapat dilakukan dengan menekan jumlah inoculum awal, ;aju infeksi dan waktu. Pengubahan atau mengatur waktu tanam dengan mencabut dan memusnahkan tanaman yang terinfeksi, seed treatment, serta penggunaan varietas tahan (Nurhayati, 2011).
keberhasilan infeksi bulai membutuhkan kondisi lingkungan yang kondusif selama perkecambahan konidia. Pembentukan tabung kecambah sampai terjadinya penetrasi melalui stomata merupakan fase infeksi yang paling rentan terhadap pengaruh lingkungan. Keberhasilan infeksi ditandai dengan masuknya tabung kecambah kedalam sel mesofil daun jagung sehingga konidia dapat berkembang melangsungkan proses infeksi berikutnya (Yasin dkk., 2009).
METODOLOGI
Praktikum Epidemiologi acara III dengan judul Perkembangan Pembentukan Konidiofor Dan Konidium Spora Jamur Peronosclerospora maydis Pada Penyakit Bulai Jagung dilaksanakan pada tanggal 5 Desember 2015 di Laboratorium Mikologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah mikroskop, gelas benda, gelas penutup, gunting, bunsen, botol kecil, dan pipet tetes. Bahan yang digunakan dalam rpaktikum ini adalah daun jagung yang terkena penyakit bulai dengan intensitas serangan yang berat, lactofenol coton blue, air, Acetic Acid Glacial (AAG), dan cat kuku.
Cara kerja dalam praktikum ini adalah pertama tanaman jagung yang terkena bulai disiapkan dalam kondisi segar. Disiapkan tanaman jagung yang mempunyai gejala bulai yang tegas. Daun yang bergejala bulai di potong-potong dengan ukuran 1 cm x 0,5 cm atau 0,5 cm x 0,5 cm. Potongan daun kemudian dimasukkan ke dalam Acetic Acid Glacial (AAG) dan direndam selama 30 menit sambil dipanasi sampai mendidih dengan menggunanakn lampu spiritus. Setelah dingin, potongan daun direndam kedalam air selama 15 menit. Potongan daun selanjutnya diletakkan pada objek glass, ditetesi dengan menggunakan lactophenol caton blue, dan ditutup dengan menggunakan gelas penutuo untuk diamati di bawah mikroskop. Lakukan kegiatan ini pada pukul 23.30, 24.00, 00.30. 01.00, 01.30, 02.00, dan 02.30.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Tabel 1. Pengamatan Mikroskopis Peronosclerospora maydis
23.30 | |
UL. 1 | UL.2 |
UL.3 | |
24.00 | |
UL.1 | UL.2 |
UL.3 | |
00.30 | |
UL.1 | UL.2 |
UL.3 | |
01.00 | |
UL.1 | UL.2 |
UL.3.1 | UL.3.2 |
01.30 | |
UL.3.1 | UL.3.2 |
UL.3.3 | |
02.00 | |
UL.2 | UL.1.1 |
UL.1.2 | |
02.30 | |
UL.3 | UL.2 |
UL.1 | |
Pembahasan
Dari hasil pengamatan dapat diketahui bahwa perkembangan konidia jamur peronoscerosporamaydis berlangsung pada malam hari. Pada pukul 23.30, hasil dari pengamatan mikroskop belum menunjukkan adanya perkembangan konidia. Hal ini jugaterjadi pada pukul 24.00 dan 00.30. Konidia baru mulai terbentuk pada saat pengamatan pukul 01.00. Pada waktu tersebut, terlihat bahwa jamur telah membentuk konidia. Puncak pembentukan konida berlangsung pada pukul 01.00-02.00. Pada pengamatan pukul 02.30, konidia sudah mulai sedikit terbentuk.
Dari segi epidemiologi, pembentukan konidia pada pukul 01.00 merupakan hal yang memang dharapkan, hal ini karena pada waktu tersebut, kondisi angina masih tenang sehingga apabila konidia jatuh, maka tidak akan mengenai daun pada tanaman yang lain. Kondisi demikian menjadikan intensitas penyakit menjadi tidak bertambah.
Jika konidia terbentuk pada saat menjelang subuh, yaitu sekitar pukul 04.00, maka pada saat itu perlu diwaspadai.Pada waktu tersebut, kondisi angina mulai kencang. Engan kondisi seperti itu, maka konidia yang dikeluarkan dapat tersebar ke tanaman lain. Jika hal ini terjadi berualng-ulang dan infeksi penyakit bulai banyak terjadi di banyak lokasi, maka kejadian epidemi penyakit bulai kaan dapat terjadi.
Menurut Semangun (2004), dalam kondisi lembap 90% dan suhu rendah 24oC, konidia akan terlepas dari konidiofor. Mekanisme pelepasan konidia terjadi secara mekanis dengan cara pangkal konidiofor terpilin, kemudian berputar kembali ke kondisi normal. Gerak mekanis ini menyebabkan konidia yang berada di ujung konidiofor akan terlempar. Penyakit bulai menular dari tanaman sakit sebagai sumber inokulum ke ke tanaman lainnya dengan konidia. Mula-mula konidia jatuh di permukaan daun atas maupun bawah. Jumlah konidia pada permukaan daun sangat melimpah, namun tidak selalu diikuti keberhasilan infeksi karena kebanyakan konidia gagal berkecambah. Hal ini diduga disebabkan oleh tabung kecambah konidia yang sangat panjang untuk mencapai stomata. Perkecambahan merupakan kondisi yang paling lemah dan peka tehadap perubahan faktor lingkungan. Perubahan lingkungan yang drastis akan menyebabkan kematian tabung kecambah sehingga tidak terjadi infeksi. Kegagalan inokulasi di rumah kasa diduga disebabkan oleh faktor lingkungan yang kurang mendukung dan bukan disebabkan oleh kegagalan deposisi konidia. Proses infeksi jamur melewati fase perkecambahan, penetrasi, infeksi, kolonisasi dan sporulasi. Proses perkecambahan memegang peranan penting dalam keberhasilan infeksi karena merupakan fase yang paling rentan tehadap perubahan lingkungan.
Penyakit bulai dapat menimbulkan gejala sistemik yang meluas keseluruh badan tanaman dan dapat menimbulkan gejala lokal (setempat). Ini tergantung dari meluasnya cendawan penyebab penyakit di dalam tanaman yang terinfeksi. Gejala sistemik hanya terjadi bila cendawan dari daun yang terinfeksi dapat mencapai titik tumbuh sehingga dapat menginfeksi semua daun yang dibentuk oleh titik tumbuh itu. Pada tanaman yang masih muda, daun-daun yang baru saja membuka mempunyai bercak klorotis kecil-kecil. Bercak ini akan berkembang menjadi jalur yang sejajar dengan tulang induk, sehingga cendawan penyebab penyakit berkembang menuju kepangkal daun. Pada umumnya daun di atas daun yang berbecak itu tidak bergejala. Daun-daun yang berkembang sesudah itu mempunyai daun klorotis merata atau bergaris-garis. Di waktu pagi haripada sisi bawah daun terdapat lapisan beledu putih yang terdiri dari konidiofordan konidium.
Konidium yang masih muda berbentuk bulat, dan yang sudah masak dapat menjadi jorong, dengan ukuran 12 – 19 x 10 – 23 µm dengan rata-rata 19,2 x 17,0 µm untuk P. maydid sedangkan untuk P. philippinensis ukuran konidiofornya 260 – 580 µm, konidiumnya berukuran 14 – 55 x 8 – 20 µm dengan ratarata 33,0 x 13,3 µm. Adanya benang-benang cendawan dalam ruang antarselnya maka daun-daun tampak kaku, agak menutup, dan lebih tegak (Semangun, 2004).
Tanaman waktu terinfeksi masih sangat muda, biasanya tanaman tidak membentuk buah, tetapi bila terjadi pada tanaman yang lebih tua tanaman dapat tumbuh terus dan membentuk buah. Buah yang terbentuk sering mempunyai tangkai yang panjang, dengan kelobot yang tidak menutup pada ujungnya, dan hanya membentuk sedikit biji. Bila cendawan didaun terinfeksi pertama kali tidak dapat mencapai titik tumbuh, gejala hanya terdapat pada daun-daun sebagai garis-garis klorotik, yang disebut juga sebagai gejala lokal (Semangun, 2004).
KESIMPULAN
Waktu maksimal perkembangan konida jamur Peronosclerospora maydis terjadi pada pukul 01.00 -02.00 dan kemudian perkembanganya menurun
DAFTAR PUSTAKA
Semangun,H. 2004. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Gajah Mada University Press. 449 hal
Nurhayati. 2011. Epidemiologi penyakit Tumbuhan.Universitas Sriwijawa Press, Palembang.
Yasin,H.G., Wasmo,W., Syasuddin, dan A.Patah. 2009. Evaluasi ketahanan penyakit bulai, becak daun, dan karat pada jagung calon hibrida QPM di dataran rendah tropis. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI,PFI Komisariat Daerah Sulsel ke XIX. Hal. 55 – 65
Leave a Reply