Cara Membuat Potato Dextrose Agar (PDA)

Posted by miftachurohman on September 05, 2018
Aktivitas Laboratorium / 2 Comments

Potato Dextrose Agar (PDA) merupakan media yang umum digunakan untuk menumbuhkan jamur. Media ini terbuat dari bahan utama yaitu kentang dan dextrose sebagai nutrisi utama pertumbuhan jamur. Media ini juga ditambahkan agar sebagai bahan pemadat.

Penggunaan media PDA biasanya ditambahkan dengan asam laktat 10%. Penambahan asam laktat pada media PDA menyebabkan media menjadi memiliki pH yang rendah, akibatnya pertumbuhan bakteri dapat dihambat karena tidak cukup koloni untuk tumbuh.

Untuk membuat media PDA sebanyak 1L, dibutuhkan alat dan bahan sebagai berikut:

Alat:

1 Erlenmeyer 1000 ml
5 erlenmeyer 250 ml
1 Pisau
Panci pemanas

Bahan:

200 gr Kentang
20 gr dextrose
20 gr agar
1000 ml Aquades

Cara membuat media PDA:
  1. Dipilih Kentang dengan kondisi yang bagus. Kentang dikupas dan dipotong bentuk dadu dengan ukuran sekitar 2×2 cm.
  2. Potongan kentang dimasukkan ke dalam erlenmeyer 1000 ml. Ditambahkan aquades sebanyak 500 ml.
  3. Mulut erlenmeyer di tutupi dengan plastik kemudian di ikat dengan karet. Diberi lubang sedikit untuk tempat menaruh gelas pengaduk serta untuk sirkulasi uap air.
  4. Selanjutnya kentang di rebus di dalam panci yang berisi air hingga sari kentang terekstrak sempurna. Waktu yang dibutuhkan untuk membuat ekstrak kentang kurang lebih selama 1 jam.
  5. Setelah direbus, air kentang di ambil dengan cara di saring dan selanjutnya dimasukkan ke dalam erlenmeyer 1000ml
  6. Kemudian dimasukkan dextrose secara perlahan sambil di aduk dengan menggunakan gelas pengaduk agar dextrose tidak menggumpal.
  7. Selanjutnya, dimasukkan agar powder secara perlahan sambil diaduk
  8. Selanjutnya dimasukkan aquades hingga voume mencapai 1000 ml
  9. Erlenmeyer kemudian ditutup dengan menggunakan plastik dan ditali dengan karet. Selanjutnya diberi lubang untuk sirkulasi uap air dan tempat menaruh gelas pengaduk.
  10. Suspensi media direbus hingga berubah warna menjadi lebih bening serta bahan-bahanya tercampur semua.
  11. Setelah matang, media siap dipindahkan ke erlenmeyer yang lebih kecil,misalnya di pindah pada erlenmeyer 250 ml. Volume media pada erlenmeyer 250 ml sebaiknya sebanyak 200 ml saja untuk menghindari kontaminasi pada saat penyimpanan.
  12. Setelah media dipindah, kemudian mulut erlenmeyer di tutup dengan menggunakan alumunium foil dan kertas serta di tali dengan menggunakan karet.
  13. Selanjutnya media di steril pada suhu 121°C selama 25menit.
  14. Media siap digunakan.

Tags: , , , , ,

Laporan Praktikum Dasar-Dasar Pemuliaan Tanaman Acara II: Pengamatan Polen dan Kantung Embrio

Posted by miftachurohman on August 30, 2018
Laporan Praktikum, Pemuliaan Tanaman / No Comments

LAPORAN PRAKTIKUM
DASAR-DASAR PEMULIAAN TANAMAN
ACARA II

PENGAMATAN POLEN DAN KANTUNG EMBRIO

Disusun oleh:
Miftachurohman

LABORATORIUM PEMULIAAN TANAMAN DAN GENETIKA
JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2013

 

 

Hasil Pengamatan

Viabilitas Polen

Polen Bunga Jagung (Zea Mays)

Polen Bunga Jagung (Zea Mays)

1517+4546+4348+55574X100%=93%
Keterangan: Viabel
Persentase viabel = 92%

Polen Bunga Cabai (Capsicum sp.)

Polen Bunga Cabai (Capsicum sp.)

22+02+33+22+115X100%=80%
Keterangan: Viabel
Persentase viabel = 80%

Polen Bunga Terong (Solanum lycopersicum)

Polen Bunga Terong (Solanum lycopersicum)

78+45+2021+44+60605X100%=93%
Keterangan: Viabel
Persentase viabel = 93%

Polen Bunga Sepatu (Hibiscus sabdarifa)

Polen Bunga Sepatu (Hibiscus sabdarifa)

66+66+663X100%=100%
Keterangan: Viabel
Persentase viabel = 100%

Polen Bunga Pepaya (Carica papaya)

Polen Bunga Pepaya (Carica papaya)

241X100%=50%
Keterangan: Tidak Viabel
Persentase viabel = 50%

Perkecambahan Polen

Perkecambahan Polen Terong (Solanum lycopersicum)

Perkecambahan Polen Terong (Solanum lycopersicum)

15+01+14+05+035X100%=9%
Keterangan : Berkecambah

Perkecambahan Polen Cabai (Capsicum sp.)

Perkecambahan Polen Cabai (Capsicum sp.)

14+24+22+12+1125X100%=47%
Keterangan : Berkecambah

Perkecambahan Polen Jagung (Zea mays)

Perkecambahan Polen Jagung (Zea mays)

Keterangan : Polen tidak berkecambah

Perkecambahan Polen Bunga Sepatu(Hibiscus sabdarifa)

Perkecambahan Polen Bunga Sepatu(Hibiscus sabdarifa)

414+48+914+514+8175X100%=45%
Keterangan : Berkecambah

Perkecambahan Polen Pepaya (Carica papaya)

Perkecambahan Polen Pepaya (Carica papaya)

114+17+111+112+1125X100%=9%
Keterangan : Berkecambah

Hasil Pengamatan Kantung Embrio Torenia spp.

Hasil Pengamatan Kantung Embrio Torenia spp.

Keterangan: Yang di tandai dengan lingkaran warna merah adalah embyio sac Torenia spp.

Pembahasan

 

Sebagian besar tumbuhan mempunyai siklus hidup dengan 2 generasi yang berbeda: generasi gametofit (tumbuhan pembawa gamet) dan generasi sporofit (tumbuhan pembawa spora). Gemetofit menghasilkan gamet-gamet yang bergabung untuk membentuk sporofit, yang kelak akan berkembang menghasilkan spora yang akan berkembang menjadi gametofit. Sporogenesis merupakan proses gametogenesis pada bagian jantan bunga yang menghasilkan spora-spora produktif yang disebut serbuk sari/polen (Elrod dan Stanfield, 2007).

Menurut Garcia-Lobredo et al (2003), serbuk sari atau polen adalah alat reproduksi jantan yang terdapat pada tumbuhan dan mempunyai fungsi yang sama dengan sperma sebagai alat reproduksi jantan pada hewan. Serbuk sari berada dalam kepala sari (antera) tepatnya dalam kantung yang disebut ruang serbuk sari (theca). Setiap antera rata-rata memiliki dua ruang serbuk sari yang berukuran relative besar.

Perkecambahan secara in vitro adalah perkecambahan serbuk sari dengan bantuan medium yang kondisinya hampir sama dengan kepala putik sehingga serbuk sari dapat berkecambah dengan maksimal. Untuk perkecambahan serbuk sari pada umumnya diperlukan suhu yang berkisar antara 15º – 35º C. Pada suhu yang lebih tinggi akan terjadi banyak penguapan air dan banyak serbuk sari yang akan mengering. Pada suhu antara 40º – 50º C banyak serbuk sari yang mati. Sebaliknya pada suhu yang terlalu rendah, misalnya di bawah 10º C, tidak ada serbuk sari yang berkecambah. Pada umumnya suhu optimum yang diperlukan untuk pertumbuhan tabung serbuk sari (pollen tube) berkisar pada 25º C (Darjanto dan Satifah, 1982).

Serbuk sari akanberkecambah pada permukaan kepala putik dan membentuk suatu tabung sari. Tabung sari ini akan tumbuh melalui jaringan tangkai putik menuju ke bakal biji. Di dalam kantong embrio akan terjadi pembuahan ganda yaitu satu gamet jantan dari tabung sari akan bergabung dengan sel telur membentuk embrio danyang satunya bergabung dengan inti kutub membentuk endosperm (Sutopo, 2010).

Pengecambahan polen dilakukan pada media sukrosa 8% dalam asam borat 15 ppm selama 2 jam dan dijaga kelembabannya. Larutan sukrosa 8% dalam media perkecambahan polen berfungsi sebagai sumber karbon dan untuk menjaga tekanan osmotik. Sedangkan asam borat 15 ppm berfungsi sebagai sumber boron yang menyempurnakan fungsi sukrosa dalam menjaga tekanan osmotik. Sukrosa dapat memperpanjang tabung polen dan meningkatkan persentase perkecambahan. Polen sebagian spesies tanaman, membutuhkan boron untuk kesempurnaan perkecambahan in vitro. Tanpa adanya asam borat, perkecambahan polen kentang kurang dari 5%. Konsentrasi boron yang tinggi mampu menurunkan daya kecambah. Penambahan boron di atas 1,6 mM dapat menurunkan perkecambahan polen kentang. Pengaruh penambahan boron dapat optimal apabila disertai pula dengan sukrosa. Di samping itu, kelembaban mampu mempercepat pembentukan tabung polen. Secara umum, perkecambahan polen dipengaruhi oleh beberapa faktor eksternal, yaitu sumber karbon, boron dan kalsium, potensial air, derajat keasaman media, kerapatan polen dalam media, dan aerasi dalam media kultur (Widiastuti, 2008).

Dari hasil pengamatan dapat diketahui bahwa polen jagung tidak mengalami perkecambahan. Polen terong, bunga sepatu, cabai, dan papaya mengalami perkecambahan dengan persentase beragam. Persentase perkecambahan terong sebesar 9%, bunga sepatu adalah 45%, bunga cabai adalah 47%, dan bunga papaya sebesar 9%. Bunga jangung tidak mengalami perkecambahan karena beberapa hal, Antara lain adalah karena proses pembuatan preparat yang salah, umur polen yang terlalu muda, dan juga polen sudah lama.

Viabilitas polen merupakan kemampuan polen untuk hidup,berkembang dan berkecambah jika berada pada kondisi yang menguntungkan. Serbuk sari dikategorikan viabel apabila buluh serbuk sari yang terbentuk sama atau lebih panjang dari diameter serbuk sari dan mampu menyerap zat warna aceto-carmine dengan baik (Shivanna dan Rangaswamy, 1992). Menurut Lubis (1993) serbuk sari dikatakan memiliki viabilitas rendah jika persentasenya dibawah 60%.

Dari hasil pengamatan didapatkan bahwa polen bunga pepaya tidak viabil. Hal ini karena persentase viabilitas polen bunga pepaya sebesar 50%. Sementara itu polen bunga yang lain bersifat viabil dengan persentase viabilitas masing masing polen yaitu pada polen bunga terong sebesar 93%, polen bunga jagung sebesar 92%, polen bunga sepatu sebesar 100%, dan polen bunga cabai sebesar 80%.

Masa kematangan stigma dan polen pada sebagian besar tumbuhan bunga terjadi dalam waktu singkat, yaitu antara 1-3 hari. Bahkan ada beberapa jenis tumbuhan , masa kematangan stigma dan polen hanya terjadi dalam beberapa jam saja (Heslop-Harrison dan Heslop-Harrison, 1970). Pada beberapa jenis tumbuhan lain, seperti Azadiracta indica, Averhoa carombala, Durio zibethinus, kematangan stigma dan polen terjadi dalam waktu yang berbeda, yaitu polen lebih dahulu mencapai viabilitas sementara stigma belum mencapai tahap matang (Soepadmo, 1989). Gejala itu merupakan suatu kendala yang dapat menyebabkan kegagalan dalam penyerbukan dan pembuahan baik alami maupun buatan, dan akhirnya dapat mengakibatkan gagalnya produksi buah (Garwood & Horvitz, 1985).

Mempelajari viabilitas dan perkecambahan polen mempunyai manfaat yang besar terutama bagi pemulia tanaman. Selain untuk penyimpanan plasma nutfah, juga berfungsi dalam melakukan persilangan buatan. Ada beberapa jenis tanaman yang bunga jantan dan bunga betinanya tidak mekar secara bersamaan. Oleh karena itu, perlu strategi agar tanaman tersebut dapat disilangkan. Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah dengan menanam bunga jantan lebih awal dari bunga betina, kemudian polen yang di hasilkan di simpan. Setelah bungan betina siap untuk penyerbukan, kemudian polen tersebut digunakan untuk melakukan penyerbukan.

Kesimpulan

  1. Viabilitas polen merupakan kemampuan polen untuk hidup,berkembang dan berkecambah jika berada pada kondisi yang menguntungkan. Perkecambahan secara in vitro adalah perkecambahan serbuk sari dengan bantuan medium yang kondisinya hampir sama dengan kepala putik sehingga serbuk sari dapat berkecambah dengan maksimal.
  2. Polen yang viable adalah polen bunga terong, polen bunga sepatu, polen bunga jagung, dan polen bunga cabai. Polen yang tidak viable adalah polen bunga papaya.
  3. Polen yang berkecambah adalah polen bunga terong, polen bunga sepatu, polen bunga cabai, dan polen bunga papaya. Polen bunga jagung tidak berkecambah.

 

Daftar Pustaka

Darjanto dan S. Satifah. 1982. Pengetahuan Dasar Biologi Bunga dan Teknik Penyerbukan Silang Buatan. PT. Gramedia, Jakarta.

Heslop-Harrison, J. and Y. Heslop-Harrison. 1970. Evaluation of Pollen Viability by Enzymatically Induced Fluorescence; Intracellular Hydrolysis of Florescein Diacetate. Stain Technology. 45 (1): 115-120.

Garwood, N.C. and C.C. Horvits. 1985. Factors Limiting Fruits and Seed Production of a Temperate Shrub, Staphylea Trifolia L. (Staphyleaceae). Amer. J. Scien. 50: 91-96.

Garcia-Lobredo, Carlos., G. Kattan., C. Murcia., and P. Quintero-Marin. 2003. Beetle pollination and fruit predation of Xanthosoma daguense (Araceae) in an Andean cloud forest in Colombia. Journal of Tropical Ecology 20:459–469.

Lubis, U.A. 1993. Pedoman Pengadaan Benih Kelapa Sawit. Pematang Siantar: Pusat Penelitan Kelapa Sawit.

Shivanna, K.R. dan N. S. Rangaswamy, 1992. Pollen Biology A laboratory Manual. Berlin, Springs-Verlag.

Soepadmo, E. 1989. Contribution of Reproductive Biological Studies Towards the Conservation and Development of Malaysian Plant Genetic Resources. dalam A.H. zakri (ed.) Genetic Resources of Under- utilized Plants in Malaysia. Proceeding of The National Workshop on Plant Genetic Resources. Subang Jaya, Malaysia 23 Nov. 1988. Malaysia National Committee on Plant Genetic Resources.

Sutopo, L. 2010. Teknologi Benih. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Widiasturi, A. E.R. Palupi. 2008. Viabilitas serbuk sari dan pengaruhnya terhadap keberhasilan pembentukan buah kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Jurnal Biodiversitas 9:35-38.

Tags: , , , ,

Laporan Praktikum Dasar-Dasar Pemuliaan Tanaman Acara: Heretabilitas dan Kemajuan Genetik

Posted by miftachurohman on August 24, 2018
Laporan Praktikum, Pemuliaan Tanaman / No Comments

LAPORAN PRAKTIKUM
DASAR-DASAR PEMULIAAN TANAMAN

HERITABILITAS DAN KEMAJUAN GENETIK

Disusun oleh:
Miftachurohman

LABORATORIUM PEMULIAAN TANAMAN DAN GENETIKA
JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2013

 

Hasil Pengamatan

 

Heritabilitas

Varian genotipe (G2) = 5,32145
Varian sesatan (E2) = 12,0356
Varian fenotipe (P2) = varian Genotipe(G2) + varian sesatan (E2)
Varian fenotipe = 17,35705
Heritabilitas (H2) = G2P2
Heritabilitas (H2) = 0,306587
= 30,66 %

Kesimpulan: H2 > 20 % maka heretabilitasnya tergolong sedang, jadi terdapat pengaruh genetik dan pengaruh lingkungan terhadap fenotip tanaman. Sehingga perlu usaha yang lebih untuk memperlihatkan ekspresi genetiknya.

Hasil Seleksi

µ = 15,19
µ1 = 20,03
µ2 = 19,64
µ3 = 19,01

Perhitungan diferensial seleksi dan intensitas seleksi dengan p=0,03
S = µs – µo
S = µ1 – µo
S = 20,03 – 15,19
= 4,84

Perhitungan diferensial seleksi dan intensitas seleksi dengan p=0,05
S = µs – µo
S = µ2 – µo
S = 19,64 – 15,19
= 4,45

Perhitungan diferensial seleksi dan intensitas seleksi dengan p=0,10
S = µs – µo
S = µ3 – µo
S = 19,01 – 15,19
= 3,82

p s o S σ i
0,03 20,03 15,19 4,84 2,16 2,25
0,05 19,64 15,19 4,45 2,16 2,06
0,1 19,01 15,19 3,82 2,16 1,77

Tabel 1. Nilai Hasil Seleksi

Diagram Distribusi Normal Tinggi Seratus Tanaman

Diagram Diferensial Seleksi dengan p=0,03

Diagram Diferensial Seleksi dengan p=0,05

Diagram Diferensial Seleksi dengan p=0,10

Perhitungan Perhitungan Harapan Kemajuan Genetik

Harapan Kemajuan Genetik dengan p=0,03
R=i1.p.H2
R= 2,25. 0,84. 0,31
= 0,59

Harapan Kemajuan Genetik dengan p=0,05
R=i2.p.H2
R= 2,06. 0,8. 0,3
= 0,51

Harapan Kemajuan Genetik dengan p=0,10
R=i3.p.H2
R= 1,77. 0,88. 0,31
= 0,48

p i P H2 R
0,03 2,25 0,84 0,31 0,58
0,05 2,06 0,8 0,31 0,51
0,1 1,77 0,88 0,31 0,49

Tabel 2. Perhitungan Nilai Harapan Kemajuan Genetik

 

Dagram Harapan Kemajuan Genetik dengan p=0,03

Diagram Harapan Kemajuan Genetik dengan p=0,05

Diagram Harapan Kemajuan Genetik dengan p=0,10

Pembahasan

Heritabilitas menyatakan perbandingan atau proporsi varian genetic terhadap varian total(Varian fenotip) yang biasanya dinyatakan dengan persen(%). Heritabilitas dituliskan dengan huruf H atau h2. Heritabilitas dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu heritabilitas dalam arti sempit dan heritabilitas dalam arti luas. DAlam arti sempit, heritabilitas merupakan perbandingan Antara varian aditif dan varian fenotip. Heritabilitas dalam arti luas adalah perbandingan Antara varian genetic total dan varian fenotip(Mangoendidjodo, 2003).

Menurut Sabu et al. (2009) nilai heritabilitas yang tinggi berarti faktor genetik memberikan kontribusi penting dalam proses seleksi berikutnya. Nilai heritabilitas menunjukkan bagaimana proporsi suatu gen dapat diturunkan pada generasi berikutnya berdasarkan observasi sifat fenotipe yang diamati. Nilai heritabilitas menunjukkan bagaimana proporsi suatu gen dapat diturunkan pada generasi berikutnya berdasarkan observasi sifat fenotipe yang diamati.

Menurut Poehlman (1983), keberhasilan suatu program pemuliaan tanaman pada hakekatnya sangat tergantung kepada adanya keragaman genetik dan nilai duga heritabilitas. Sementara itu Knight (1979) menyatakan bahwa pendugaan nilai keragaman genetik, dan nilai duga heritabilitas bervariasi tergantung kepada faktor lingkungan. Bila tingkat keragaman genetik sempit maka hal ini menunjukkan bahwa individu dalam populasi tersebut relatif seragam. Dengan demikian seleksi untuk perbaikan sifat menjadi kurang efektif (Wilson, 1981). Sebaliknya , makin luas keragaman genetik , makin besar pula peluang untuk keberhasilan seleksi dalam meningkatkan frekuensi gen yang diinginkan. Dengan kata lain , kesempatan untuk mendapatkan genotipe yang lebih baik melalui seleksi semakin besar (Allard, 1960; Poespodarsono, 1988).

Heritabilitas dapat dijadikan landasan dalam menentukan program seleksi. Seleksi pada generasi awal dilakukan bila nilai heritabilitas tinggi, sebaliknya jika rendah maka seleksi pada generasi lanjut akan berhasil karena peluang terjadi peningkatan keragaman dalam populasi (Falconer, 1970).

Dahlan dan Sumarjan (2001) menyatakan bahwa heritabilitas menentukan kemajuan seleksi, makin besar nilai heritabilitas makin besar kemajuan seleksi yang diraihnya dan makin cepat varietas unggul dilepas. Sebaliknya semakin rendah nilai heritabilitas arti sempit makin kecil kemajuan seleksi diperoleh dan semakin lama varietas unggul baru diperoleh.

Kriteria nilai heritabilitas dalam arti luas menurut Bari dan Samsudin(1976) adalahs ebagai berikut:

H < 0,2 = Heritabilitas rendah
0,2<H<0,5 = Heritabilitas sedang
H>0,5 = Heritabilitas tinggi

Dari hasil praktikum, nilai H2 tinggi tanaman dari 100 tanaman padi adalah 30,66%. Nilai H2 > 20 % maka heretabilitasnya tergolong sedang. jadi terdapat pengaruh genetik dan pengaruh lingkungan terhadap fenotip tanaman. Sehingga perlu usaha yang lebih untuk memperlihatkan ekspresi genetiknya.

Nilai heritabilitas yang tinggi sangat berperan dalam meningkatkan efektifitas seleksi. Pada karakter yang memiliki heritabilitas tinggi (Tabel 2 dan Tabel 3) seleksi akan berlangsung lebih efektif karena pengaruh lingkungan kecil, sehingga faktor genetik lebih dominan dalam penampilan genetik tanaman. Pada karakter yang nilai duga heritabilitasnya rendah seleksi akan berjalan relatif kurang efektif, karena penampilan fenotipe tanaman lebih dipengaruhi faktor lingkungan dibandingkan dengan faktor genetiknya.

Suatu dugaan heritabilitas yang rendah menyatakan bahwa kolerasi yang rendah antara genotipe dan fenotipe. Dugaan heritabilitas rendah juga menyatakan bahwa ragam yang disebabkan aksi gen aditif mungkin kecil. Apabila heritabilitas satu sifat rendah maka aksi gen bukan aditif seperti dominan lebih, dominan dan epistasis adalah penting. Nilai heritabilitas tinggi yang diikuti dengan kemajuan genetik harapan tinggi akan lebih meningkatkan keberhasilan seleksi. Hal ini sesuai dengan pendapat Muliarta dkk(2003) dimana heritabilitas akan lebih bermanfaat bila dipandu dengan simpangan baku fenotipik dan intensitas seleksi untuk mengetahui kemajuan genetik atau respon seleksi suatu karakter. Nilai heritabilitas tinggi yang diikuti oleh respon seleksi tinggi merupakan hasil kerja gen aditif. Sebaliknya suatu sifat yang memiliki nilai heritabilitas tinggi dan diikuti dengan respon seleksi rendah akibat pengaruh gen bukan aditif (dominan, epistasis)

Dari diagram distribusi normal tinggi seratus tanaman, dapat dilihat bahwa diagram berwarna merah semua. . Daerah yang berwarna merah menggambarkan keseratus tanaman yang diamati. Kemudian dilakukan seleksi terhadap 3% , 5% dan 10% tanaman tertinggi. Pada diagram diferensial seleksi dengan p=0,03, maka pada diagram aka nada bagian yang berwarna biru. Tanaman yang terseleksi tersebut ditunjukkan dengan daerah biru pada diagram. Warna biru ini akan semakin banyak ketika nilai p semakin besar. Hal ini menunjukkan bahwa jika tanaman yang diseleksi semakin banyak, maka warna biru pada diagram akan semakin banyak. Jika demikian, maka hasil seleksi dengan nilai p=0,3 maka hasil dari seleksi tersebut akan menunjukkan hasil yang paling baik. Hal ini akan semakin menurun jika nilai p semakin besar.

Kemajuan genetik harapan merupakan tolak ukur dalam persen dari pergeseran nilai tengah populasi dari kondisi populasi sampai kondisi setelah dilakukan seleksi, dengan asumsi besaran differensial.  Menurut Quissenberry,(1982) besarnya. kemajuan genetik sejalan dengan hipotesis segregasi transgresif, dimana karakter hasil dikendalikan oleh sistem gen ganda yang bekerja secara efek dominan, genotipe yang mengakumulasi lebih banyak gen dominan mempunyai hasil lebih tinggi.

Dari hasil perhitungan kemajuan genetik pada p=0,03;0,05;dan 0,1, maka didapatkan nilai kemajuan genetic berturut-turut sebesar 0,58; 0,51; dan 0,49. Kemajuan genetik dapat dijadikan petunjuk dalam penentuan kegiatan seleksi. Bila nilai kemajuan generik harapan suatu karakter tinggi berarti besar peluang untuk dilakukanya perbaikan karakter tersebut melalui seleksi. Sebaliknya jika nilai kemajuan genetik harapan rendah, maka kegiatan seleksi pada karakter yang bersangkutan dapat dilakukan pada satu kali generasi untuk membentuk populasi yang seragam atau kegiatan seleksi dapat dihentikan karena perbaikan yang akan dicapai relatif rendah. Kemajuan genetik (R) dapat ditentukan melalui hubungan heritabilitas (H2), deferensial seleksi (selection differential) yaitu S (S=µs0) dan intensitas seleksi (intensity of selection) yaitu i (i = Sp).

R = H2S, dengan nilai S yang dibakukan menjadi:
Rp=H2Sp, dengan i = Sp maka bentuknya menjadi:
R= i PH2

Kesimpulan

  1. Heritabilitas menyatakan perbandingan atau proporsi varian genetic terhadap varian total(Varian fenotip) yang biasanya dinyatakan dengan persen(%).
  2. Nilai heritabilitas menunjukkan bagaimana proporsi suatu gen dapat diturunkan pada generasi berikutnya berdasarkan observasi sifat fenotipe yang diamati. Nilai heritabilitas yang tinggi berarti faktor genetik memberikan kontribusi penting dalam proses seleksi berikutnya.
  3. Nilai heritabilitas dari 100 tanaman padi adalah 30,66%

Daftar Pustaka

Allard,R.W., 1960. Principles of Plant Breeding. John Wiley and Sons Inc, New York.

Bari A.,S.Musa dan E. Samsudin. 1976. Pengantar Pemuliaan Tanaman, Departemen Agronomi Fakultas Pertanian Bogor.  

Falconer, D.S. 1970. Introduction to Quantitative Genetic, The Ronald Press Company, New York.

Knight, R. 1979. Quantitative Genetics, Statistics and Plant Breeding. In G.M. Halloran, R.

Knight, K.S. Mc Whirter and D.H.B. Sparrow (ed.) Plant Breeding. Australia Vice Consellors Comite, Brisbane.  

Mangoendidjojo, W. 2003. Dasar-dasar Pemuliaan Tanaman. Kanisius, Yogyakarta.

Muliarta, N. Kantun, Sanisah dan N. Soemenaboedhy. 2005. Upaya mendapatkan padi beras merah tahan kekeringan melalui metode seleksi “Back Cross”. Penelitian Hibah Bersaing XI/3.

Poelhman,J.M.1983. Crop breeding a hungry word,in: D.R. Wol(Ed.). Crop Breeding.Am.Soc. of Agron. Crop. Sci. Of Amirica.Madicon.Wisconsin.

Poespodarsono, S. 1988. Dasar-Dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor. Bekerja sama dengan Lembaga Sumberdaya Informasi-IPB. Bogor.

Quissenberry, J.E. 1982. Breeding for Drought resistance and plant water use efficiency. Breeding for less favorable environment , Jonh wiley and Son, INC., Wisconsin, USA.

Sabu, K.K., M.Z. Abdullah, L.S Lim, R. Wickneswari. 2009. Analysis of heritability and genetic variability of agronomically important tarits in Oryza sativa L. x O. rufipogon Cross. Agronomy Res. 7:97-102.

Sumarjan. 2001. Klasifikasi padi lokal (Oryza sativa. L.) di Lombok berdasarkan sifat dan ciri morfologi-anatomi. (Thesis). Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Wilson,D., 1981. Breeding for Morphological and Physiological traits. In K.j.Free (ed). Plat breeding II. The Gowa Sate University Press.Minnesota.

Tags: , , ,