acara ii

Laporan Praktikum Dasar-Dasar Pemuliaan Tanaman Acara II: Pengamatan Polen dan Kantung Embrio

Posted by miftachurohman on August 30, 2018
Laporan Praktikum, Pemuliaan Tanaman / No Comments

LAPORAN PRAKTIKUM
DASAR-DASAR PEMULIAAN TANAMAN
ACARA II

PENGAMATAN POLEN DAN KANTUNG EMBRIO

Disusun oleh:
Miftachurohman

LABORATORIUM PEMULIAAN TANAMAN DAN GENETIKA
JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2013

 

 

Hasil Pengamatan

Viabilitas Polen

Polen Bunga Jagung (Zea Mays)

Polen Bunga Jagung (Zea Mays)

1517+4546+4348+55574X100%=93%
Keterangan: Viabel
Persentase viabel = 92%

Polen Bunga Cabai (Capsicum sp.)

Polen Bunga Cabai (Capsicum sp.)

22+02+33+22+115X100%=80%
Keterangan: Viabel
Persentase viabel = 80%

Polen Bunga Terong (Solanum lycopersicum)

Polen Bunga Terong (Solanum lycopersicum)

78+45+2021+44+60605X100%=93%
Keterangan: Viabel
Persentase viabel = 93%

Polen Bunga Sepatu (Hibiscus sabdarifa)

Polen Bunga Sepatu (Hibiscus sabdarifa)

66+66+663X100%=100%
Keterangan: Viabel
Persentase viabel = 100%

Polen Bunga Pepaya (Carica papaya)

Polen Bunga Pepaya (Carica papaya)

241X100%=50%
Keterangan: Tidak Viabel
Persentase viabel = 50%

Perkecambahan Polen

Perkecambahan Polen Terong (Solanum lycopersicum)

Perkecambahan Polen Terong (Solanum lycopersicum)

15+01+14+05+035X100%=9%
Keterangan : Berkecambah

Perkecambahan Polen Cabai (Capsicum sp.)

Perkecambahan Polen Cabai (Capsicum sp.)

14+24+22+12+1125X100%=47%
Keterangan : Berkecambah

Perkecambahan Polen Jagung (Zea mays)

Perkecambahan Polen Jagung (Zea mays)

Keterangan : Polen tidak berkecambah

Perkecambahan Polen Bunga Sepatu(Hibiscus sabdarifa)

Perkecambahan Polen Bunga Sepatu(Hibiscus sabdarifa)

414+48+914+514+8175X100%=45%
Keterangan : Berkecambah

Perkecambahan Polen Pepaya (Carica papaya)

Perkecambahan Polen Pepaya (Carica papaya)

114+17+111+112+1125X100%=9%
Keterangan : Berkecambah

Hasil Pengamatan Kantung Embrio Torenia spp.

Hasil Pengamatan Kantung Embrio Torenia spp.

Keterangan: Yang di tandai dengan lingkaran warna merah adalah embyio sac Torenia spp.

Pembahasan

 

Sebagian besar tumbuhan mempunyai siklus hidup dengan 2 generasi yang berbeda: generasi gametofit (tumbuhan pembawa gamet) dan generasi sporofit (tumbuhan pembawa spora). Gemetofit menghasilkan gamet-gamet yang bergabung untuk membentuk sporofit, yang kelak akan berkembang menghasilkan spora yang akan berkembang menjadi gametofit. Sporogenesis merupakan proses gametogenesis pada bagian jantan bunga yang menghasilkan spora-spora produktif yang disebut serbuk sari/polen (Elrod dan Stanfield, 2007).

Menurut Garcia-Lobredo et al (2003), serbuk sari atau polen adalah alat reproduksi jantan yang terdapat pada tumbuhan dan mempunyai fungsi yang sama dengan sperma sebagai alat reproduksi jantan pada hewan. Serbuk sari berada dalam kepala sari (antera) tepatnya dalam kantung yang disebut ruang serbuk sari (theca). Setiap antera rata-rata memiliki dua ruang serbuk sari yang berukuran relative besar.

Perkecambahan secara in vitro adalah perkecambahan serbuk sari dengan bantuan medium yang kondisinya hampir sama dengan kepala putik sehingga serbuk sari dapat berkecambah dengan maksimal. Untuk perkecambahan serbuk sari pada umumnya diperlukan suhu yang berkisar antara 15º – 35º C. Pada suhu yang lebih tinggi akan terjadi banyak penguapan air dan banyak serbuk sari yang akan mengering. Pada suhu antara 40º – 50º C banyak serbuk sari yang mati. Sebaliknya pada suhu yang terlalu rendah, misalnya di bawah 10º C, tidak ada serbuk sari yang berkecambah. Pada umumnya suhu optimum yang diperlukan untuk pertumbuhan tabung serbuk sari (pollen tube) berkisar pada 25º C (Darjanto dan Satifah, 1982).

Serbuk sari akanberkecambah pada permukaan kepala putik dan membentuk suatu tabung sari. Tabung sari ini akan tumbuh melalui jaringan tangkai putik menuju ke bakal biji. Di dalam kantong embrio akan terjadi pembuahan ganda yaitu satu gamet jantan dari tabung sari akan bergabung dengan sel telur membentuk embrio danyang satunya bergabung dengan inti kutub membentuk endosperm (Sutopo, 2010).

Pengecambahan polen dilakukan pada media sukrosa 8% dalam asam borat 15 ppm selama 2 jam dan dijaga kelembabannya. Larutan sukrosa 8% dalam media perkecambahan polen berfungsi sebagai sumber karbon dan untuk menjaga tekanan osmotik. Sedangkan asam borat 15 ppm berfungsi sebagai sumber boron yang menyempurnakan fungsi sukrosa dalam menjaga tekanan osmotik. Sukrosa dapat memperpanjang tabung polen dan meningkatkan persentase perkecambahan. Polen sebagian spesies tanaman, membutuhkan boron untuk kesempurnaan perkecambahan in vitro. Tanpa adanya asam borat, perkecambahan polen kentang kurang dari 5%. Konsentrasi boron yang tinggi mampu menurunkan daya kecambah. Penambahan boron di atas 1,6 mM dapat menurunkan perkecambahan polen kentang. Pengaruh penambahan boron dapat optimal apabila disertai pula dengan sukrosa. Di samping itu, kelembaban mampu mempercepat pembentukan tabung polen. Secara umum, perkecambahan polen dipengaruhi oleh beberapa faktor eksternal, yaitu sumber karbon, boron dan kalsium, potensial air, derajat keasaman media, kerapatan polen dalam media, dan aerasi dalam media kultur (Widiastuti, 2008).

Dari hasil pengamatan dapat diketahui bahwa polen jagung tidak mengalami perkecambahan. Polen terong, bunga sepatu, cabai, dan papaya mengalami perkecambahan dengan persentase beragam. Persentase perkecambahan terong sebesar 9%, bunga sepatu adalah 45%, bunga cabai adalah 47%, dan bunga papaya sebesar 9%. Bunga jangung tidak mengalami perkecambahan karena beberapa hal, Antara lain adalah karena proses pembuatan preparat yang salah, umur polen yang terlalu muda, dan juga polen sudah lama.

Viabilitas polen merupakan kemampuan polen untuk hidup,berkembang dan berkecambah jika berada pada kondisi yang menguntungkan. Serbuk sari dikategorikan viabel apabila buluh serbuk sari yang terbentuk sama atau lebih panjang dari diameter serbuk sari dan mampu menyerap zat warna aceto-carmine dengan baik (Shivanna dan Rangaswamy, 1992). Menurut Lubis (1993) serbuk sari dikatakan memiliki viabilitas rendah jika persentasenya dibawah 60%.

Dari hasil pengamatan didapatkan bahwa polen bunga pepaya tidak viabil. Hal ini karena persentase viabilitas polen bunga pepaya sebesar 50%. Sementara itu polen bunga yang lain bersifat viabil dengan persentase viabilitas masing masing polen yaitu pada polen bunga terong sebesar 93%, polen bunga jagung sebesar 92%, polen bunga sepatu sebesar 100%, dan polen bunga cabai sebesar 80%.

Masa kematangan stigma dan polen pada sebagian besar tumbuhan bunga terjadi dalam waktu singkat, yaitu antara 1-3 hari. Bahkan ada beberapa jenis tumbuhan , masa kematangan stigma dan polen hanya terjadi dalam beberapa jam saja (Heslop-Harrison dan Heslop-Harrison, 1970). Pada beberapa jenis tumbuhan lain, seperti Azadiracta indica, Averhoa carombala, Durio zibethinus, kematangan stigma dan polen terjadi dalam waktu yang berbeda, yaitu polen lebih dahulu mencapai viabilitas sementara stigma belum mencapai tahap matang (Soepadmo, 1989). Gejala itu merupakan suatu kendala yang dapat menyebabkan kegagalan dalam penyerbukan dan pembuahan baik alami maupun buatan, dan akhirnya dapat mengakibatkan gagalnya produksi buah (Garwood & Horvitz, 1985).

Mempelajari viabilitas dan perkecambahan polen mempunyai manfaat yang besar terutama bagi pemulia tanaman. Selain untuk penyimpanan plasma nutfah, juga berfungsi dalam melakukan persilangan buatan. Ada beberapa jenis tanaman yang bunga jantan dan bunga betinanya tidak mekar secara bersamaan. Oleh karena itu, perlu strategi agar tanaman tersebut dapat disilangkan. Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah dengan menanam bunga jantan lebih awal dari bunga betina, kemudian polen yang di hasilkan di simpan. Setelah bungan betina siap untuk penyerbukan, kemudian polen tersebut digunakan untuk melakukan penyerbukan.

Kesimpulan

  1. Viabilitas polen merupakan kemampuan polen untuk hidup,berkembang dan berkecambah jika berada pada kondisi yang menguntungkan. Perkecambahan secara in vitro adalah perkecambahan serbuk sari dengan bantuan medium yang kondisinya hampir sama dengan kepala putik sehingga serbuk sari dapat berkecambah dengan maksimal.
  2. Polen yang viable adalah polen bunga terong, polen bunga sepatu, polen bunga jagung, dan polen bunga cabai. Polen yang tidak viable adalah polen bunga papaya.
  3. Polen yang berkecambah adalah polen bunga terong, polen bunga sepatu, polen bunga cabai, dan polen bunga papaya. Polen bunga jagung tidak berkecambah.

 

Daftar Pustaka

Darjanto dan S. Satifah. 1982. Pengetahuan Dasar Biologi Bunga dan Teknik Penyerbukan Silang Buatan. PT. Gramedia, Jakarta.

Heslop-Harrison, J. and Y. Heslop-Harrison. 1970. Evaluation of Pollen Viability by Enzymatically Induced Fluorescence; Intracellular Hydrolysis of Florescein Diacetate. Stain Technology. 45 (1): 115-120.

Garwood, N.C. and C.C. Horvits. 1985. Factors Limiting Fruits and Seed Production of a Temperate Shrub, Staphylea Trifolia L. (Staphyleaceae). Amer. J. Scien. 50: 91-96.

Garcia-Lobredo, Carlos., G. Kattan., C. Murcia., and P. Quintero-Marin. 2003. Beetle pollination and fruit predation of Xanthosoma daguense (Araceae) in an Andean cloud forest in Colombia. Journal of Tropical Ecology 20:459–469.

Lubis, U.A. 1993. Pedoman Pengadaan Benih Kelapa Sawit. Pematang Siantar: Pusat Penelitan Kelapa Sawit.

Shivanna, K.R. dan N. S. Rangaswamy, 1992. Pollen Biology A laboratory Manual. Berlin, Springs-Verlag.

Soepadmo, E. 1989. Contribution of Reproductive Biological Studies Towards the Conservation and Development of Malaysian Plant Genetic Resources. dalam A.H. zakri (ed.) Genetic Resources of Under- utilized Plants in Malaysia. Proceeding of The National Workshop on Plant Genetic Resources. Subang Jaya, Malaysia 23 Nov. 1988. Malaysia National Committee on Plant Genetic Resources.

Sutopo, L. 2010. Teknologi Benih. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Widiasturi, A. E.R. Palupi. 2008. Viabilitas serbuk sari dan pengaruhnya terhadap keberhasilan pembentukan buah kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Jurnal Biodiversitas 9:35-38.

Tags: , , , ,

Laporan Praktikum Nematologi Acara II: Dasar-Dasar Teknik Penelitian Jamur

Posted by miftachurohman on July 17, 2018
Laporan Praktikum, Mikologi Pertanian / No Comments

LAPORAN PRAKTIKUM
PENGANTAR MIKOLOGI PERTANIAN
ACARA II

DASAR-DASAR TEKNIK PENELITIAN JAMUR

Disusun oleh :
Miftachurohman
12969

Asisten :
Rezki Ayu Dian Herowati
Riska Awalia Putri

LABORATORIUM ILMU PENYAKIT TUMBUHAN KLINIK
JURUSAN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015

 

TUJUAN

 

Untuk Mengetahui berbagai teknik pembuatan preparat jamur yang baik

 

TINJAUAN PUSTAKA

 

Isolasi patogen merupakan proses pengambilan mikroorganisme dari lingkungannya untuk ditumbuhkan pada suatu medium buatan. Pengisolasian ini bertujuan untuk mengetahui patogen utama penyebab penyakit tumbuhan. Proses isolasi penting untuk mempelajari morfologi dari patogen tersebut, fisiologinya, dan serologinya. Proses isolasi dilakukan secara aseptis dan pengujian sifat-sifat tersebut tidak dapat dilakukan di alam terbuka (Pelczar,1986).

Untuk dapat mengidentifikasi suatu spesise mikroorganisme tertentu langkah pertama yang harus dilakukan adalah memisahkan organisme tersebut dari organisme lain melalui isolasi. Isolasi dilakukan bertujuan untuk mendapatkan suatu biakan murni. Biakan murni tersebut dapat diperoleh dengan menggunakna dua teknik yaitu teknik cawan gores dan teknik cawan tuang. Kedua metode ini memiliki prinsip yang sama yaitu mengencerkan organisme sedemikian sehingga individu spesies dapat dipisahkan dari organisme lainnya, dengan anggapan bahwa setiap koloni terpisah yang tampak pada cawan petri setelah inkubasi berasal dari satu sel tunggal (Hadioetomo, 1990).

Jamur merupakan organism yang tidak memiliki klorofil sehingga bersifat heterotrof. Jamur ada yang uniseluler dan multiseluler. Tubuhnya terdiri dari benang-benang yang disebut hifa (Agrios, 2005).  Jamur merupakan patogen penyebab penyakt tumbuhan. Jamur merupakan organisme eukariotik yang tidak memiliki klorofil dalam tubuhnya. Meskipun sebagian besar jamur bersifat saprifitik, namun beberapa dari mereka merupakan parasit pada tumbuhan dan dapat menyebabkan penyakit pada tumbuhan. Jamur yang menyebabkan penyakit pada beberapa tumbuhan termasuk ke dalam kelas Ascomycete dan Basidiomycetes. Jamur menunjukkan variasi dalam tingkat pertumbuhan ketika jamur tersebut ditumbuhnkan pada berbagai media yang mengandung nutrisi (Anjisha et.al., 2012).

Jamur merupakan organisme yang tidak berklorofil sehingga jamur tidak dapat menyediakan makanan sendiri dengan cara fotosintesis seperti pada tanaman yang berklorofil. Oleh karena itu, jamur mengambil zat-zat makanan yang sudah jadi yang dibuat atau dihasilkan oleh organisme lain untuk kebutuhan hidupnya. Sifat ketergantungan terhadap organisme lain menyebabkan jamur digolongkan sebagai tumbuhan heterotrofik. Sebagai tumbuhan heterotrofik, jamur membutuhkan sumber makanan sebagai substrat, sumber energi, aktivitas metabolisme, dan nutrisi. Energi dapat diperoleh dari oksidasi senyawa karbon, metabolisme untuk mensintesis senyawa-senyawa yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan hifa jamur, dan sumber nutrisi yang dibutuhkan seperti vitamin, CO2, dan nitrogen (Arif dkk,, 2007).

Medium adalah suatu bahan yang terdiri dari campuran nutrisi yang dipakai untuk menumbuhkan mikroorganisme. Tanah juga meruppakan medium tempat mikroorganisme tanah tinggal. Berdasarkan sumber karbon maka mikrobia dapat dibedakan atas mikrobia yang dapat mensintensis semua komponen sel dari karbondioksida yang disebut dengan autotrof. Sedangkan mikrobia yang memerlukan satu atau lebih senyawa organik sebagai sumber karbon disebut heterotrof. Akar tanaman merupakan salah satu tempat yang dapat digunakan mikroorganisme tanah untuk menyerang tanaman. Biasanya nematoda menginfeksi akar tanaman pada bagian dalam akar dan juga pada sel epidermis tanaman. Pertumbuhan bulu akar akan dibatasi oleh kondisi tanah (terutama kelembapan) dan aktifitas mikroorganisme tanah. Kelembapan juga dapat merangsang bagi jamur dan bakteri untuk tumbuh (Lakitan, 2007).

Untuk memurnikan jamur patogen, biasanya media buatan yang digunakan adalah PDA (Potato Dektrose Agar) yaitu suatu medium semi sintetis yang komposisi senyawa penyusunnya diketahui. PDA terbuat dari ekstrak kentang dan tambahan dekstros serta agar. Isolasi jamur menggunakan medium PDA (Potato Dextrose Agar) yang dibuat sendiri. Sebanyak 200 g kentang yang telah dikupas dan dibersihkan kemudian diiris tipis-tipis. Kentang direbus selama 15-20 menit dengan aquades secukupnya, kemudian disaring dengan kain. Filtrat yang dihasilkan kemudian ditambahkan 20 g dekstrosa dan volumenya dijadikan satu liter. Medium padat dibuat dengan menambahkan 20 g agar. Medium disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 120ᵒC dan tekanan 15 psi selama 15 menit (Saryono et al., 2002).

 

METODOLOGI

 

Praktikum Mikologi Acara II yang berjudul Dasar-Dasar Teknik Penelitian Jamur ini dilaksanakan pada hari Senin, tanggal 23 Maret 2015, di Laboratorium Klinik Tumbuhan, Jurusan Hama Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Alat dan bahan untuk pembuatan preparat jamur yang digunakan pada praktikum ini antara lain adalah inokulum jamur pada kentang dan daun salak, gelas benda dan gelas preparat, laktofenol biru katun, mikroskop, medium PDA, pipet tetes, alkohol 70%, seperangkat alat isolasi. Sedangkan alat dan bahan untuk pembuata spore print yaitu kertas putih dan kertas hitam, toples berwarna bening dan tubuh buah jamur kelompok baasidiomycetes.

Cara kerja pembuatan preparat jamur yang pertama yaitu dengan menyiapkan gelas preparat dan biakan murni jamur yang dipilih. Jarum preparat disiapkan dan disterilisasi. Kemudian ambil sedikit miselium jamur dari biakan murni dan letakkan di atas gelas benda,. Laktofenol biru katun diteteskan ke gelas benda dari samping agar tidak merusak miselium jamur. Kemudian ditutup dengan gelas penutup. Selanjutnya preparat dapat diamati di bawah mikroskop. Ketiga preparat yang dibuat dibandingkan bentuk dan warnanya, Cara kerja dengan teknik pembuatan preparat yang kedua yaitu dengan menyiapkan biakan murni jamur dalam petridish. Kemudian gelas benda disterilisasi untuk meletakkan potongan agar untuk preparat berikutnya. Selanjutnya scalpel disterilisasi kemudian digunakan untuk memotong biakan murni jamur pada PDA dalam petridish yang telah dipilih dengan entuk segiempat, kemudian diletakkan di atas gelas benda. Laktofenol biru katun diteteskan di samping potongan biakan murni. Gelas benda kemudian ditutup dengan menggunakan gelas penutup. Bunsen disiapkan untuk menghilangkan agar yang menempel. Gelas benda dipanaskan dengan lampu Bunsen dengan tujuan untuk menghilangkan agar, pemanasan dilakukan jangan sampai agar menjadi mendidih. Preparat siap diamati dibawah mikroskop. Selanjutnya untuk pembuatan preparat yang ketiga yaitu gelas benda dibersihkan kemudian dicelup dalam alkohol 70% dan dibakar di atas lampu spiritus. Medium PDA dicairkan kemudian diambil dengan menggunakan pipet tetes dan satu tetes medium diratakan di atas gelas benda. Biakan murni jamur diambil dengan menggunakan jarum preparat dan diletakkan di atas medium PDA pada gelas benda. Kemudian diinkubasikan di dalam cawan petri steril yang dilembabkan dengan kapas basah selama 2 hari atau sampai terjadi sporulasi. Laktofenol biru katun diteteskan diatas permukaan koloni jamur, kemudian ditutup dengan menggunakan gelas penutup secara hati-hati. Gelas benda dipanaskan secara hati-hati dan pelan-pelan diatas lampu spiritus untuk mengencerkan medium PDA. Morfologi jamur diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran lemah. Sedangkan cara kerja untuk pembuatan spore print yaitu dengan cara tangkai tubuh buah jamur dipotong. Disiapkan dua kertas berwarna hitam dan putih dan diketakkan secara berdampingan. Potongan tudung jamur diletakkan pada kertas dengan permukaan penghasil basidiospora berada di bawah. Sebagian tudung jamur diletakkan di atas kertas putih dan sebagian lagi pada kertas hitam. Kemudian diamati warna spora yang tertangkap dan diamati morfologi spora dengan menggunakan mikroskop.

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

Isolasi merupakan kegiatan yang sangat penting yang harus dilakukan untuk mendapatkan biakan murni. Biakan murni tersebut digunakan untuk mengidentifikasi suatu organisme. Dalam pengambilan sampel untuk identifikasi, dapat digunakan beberapa cara, antara lain adalah metode gores, metode pembakaran, dan metode inkubasi. Dalam praktikum ini, identifikasi jamur dilakukan dengan menggunakan menggunakan ketiga metode tersebut diatas. Identifikasi jamur dilakukan dengan melihat morfologi jamur dengan menggunakan mikroskop.

Metode gores Metode pembakaran Metode inkubasi  

Tabel 1. Hasil Pengamatan Mikroskop Biakan Jamur pada Isolat Kentang

Dari hasil identifikasi, dapat di duga bahwa jamur yang berada pada isolat kentang adalah jamur Colletotrichum sp.  Hal ini dikarenakan jamur yang ditemukan memiliki bentuk morfologi seperti jamur Colletotrichum sp.  

Klasifikasi jamur Colletotrichum sp.  menurut Singh (1998) adalah:

Divisi : Ascomycotina

Kelas : Eumycota

Ordo : Pyrenomycetes

Famili : Polystigmataceae

Genus : Colletotrichum

Spesies : Colletotrichum sp.

Jamur ini berwarna gelap hingga coklat muda. Konidiofor tidak bercabang, massa konidia Nampak berwarna kemerah-merahan. Konidia berada pada ujung konidiofor. Konidia berbentuk hialin, uniseluler,  mempunyai ukuran 17-18 x 3-4 µm. Konidia dapat berkecambah di dalam air selama empat jam. Miselium terdiri dari dari beberapa septa, intra dan interseluler hifa. Aservulus dan stroma pada batang berbentuk hemispirakel dan berukuran 70-120 µm (Singh, 1998).

Colletotrichum sp.  telah diidentifikasi sebagai suatu pathogen yang meneybabkan penyakit busuk pada berbagai komoditas pertanian. Kerugian yang diakibatkan oleh Colletotrichum sp.   mencapai 25-30 %. Infeksi laten dapat etrjadi di alam (Aradhya et al., 2005). Pertumbuhan Colletotrichum sp.   membentuk koloni miselium yang ebrwarna putih dengan miselium ayng timbul di permukaan. Kemudian secara perlahan-lahan berubah menjadi hitam dan akhirnya berbentuk aservulus. Aservulus ditutupi oleh warna merah muda sampai coklat tua yang sebetulnya adalah massa konidia (Rusli dkk., 1997).

Tahap awal dari serangan Colletotrichum sp.  umumnya terdiri dari konidia dan germinasi pad permukaan tanaman dan menghasilkan tabung kecambah. Setelah penetrasi, maka akan membentuk jaringan hifa. Hifa intra dan interseluler menyebar melalui jaringan tanaman. spora Colletotrichum sp.  dapat disebarkan oleh air hujan dan pada inang yang cocok akan berkembang dengan cepat (Kronstad, 2000).

Pertumbuhan jamur Colletotrichum sp.  dangat dipengaruhi oleh factor lingkungan. Salah satunya adalah pH. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pH 4 dan 8 menunjukkan pertumbuhan jamur Colletotrichum sp.   tidak maksimal. pH optimal untuk Colletotrichum sp.   adalah pH 5 (Yulianty,  2006). Periode inkubasi Colletotrichum sp.   antara 5-7 hari atau 4-6 hari setelah inokulasi. Suhu optimum untuk pertumbuhan jamur antara 24-30 C dengan kelembaban relative 80-92% (Rompas, 2001).

Pada praktikum ini digunakan tiga metode untuk pembuatan preparat yaitu metode gores, metode pembakaran, dan metode inkubasi. Pada metode gores tidak begitu jelas terlihat hifa dan sporanya. Sedangkan Pada metode kedua, kenampakan jamur hanya terlihat seperti untaian benang. Pada metode ketiga yaitu inkubasi memberikan hasil yang cukup jelas. Pada metode inkubasi menghasilkan hasil yang lebih baik di duga karena ada perlakuan inkubasi yang dilakukan selama 2-3 hari. Dengan adanya inkubasi tersebut, maka dapat memberikan waktu yang cukup jamur untuk berkecambah sehingga bagian-bagian jamur terlihat lebih lengkap. Hasil praktikum memperlihatkan bahwa preparat dengan metode inkubasi merupakan metode yang paling baik untuk dilakukan identifikasi.

Selain pembuatan preparat, dalam praktikum ini juga dilakukan spore print. Spore print digunakan untuk memperoleh spora dati tubuh buah jamur yang jatuh ke permukaan penampung (kertas berwarna hitam dan putih). Spora merupakan bagian dari jamur yang pernting untuk dilakukan identifikasi. Secara massal, spore print dapat mengetahui warna spora jamur.

Pada praktikum ini, digunakan jamur ganoderma untuk diketahui warna sporanya. Setelah menunggu sekitar satu hari satu malam, tidak ditemukan spora yang tertangkap. Pada beberapa kasus, penggunaan metode spore print ini tidak selalu berhasil. Hal ini dapat terjadi karena ada kemungkinan kondisi jamur yang terlalu muda dan atau terlalu tua. Dengan melihat spora jamur, maka kita juga dapat melakukan klasifikasi jamur.

Gambar: Metode Spore Print

 

KESIMPULAN

 

  1. Identifikasi jamur dapat dilakukan dengan pengamatan dibawah mikroskop menggunakan preparat. Preparat dapat dibuat dengan menggunakan beberapa metode, yaitu metode gores, metode pembakaran dan metode inkubasi.
  2. Metode inkubasi spora sebelum pengamatan memberikan hasil yang cukup jelas
  3. Pada teknik spore print tidak terlihat ada spora yang tertangkap.

DAFTAR PUSTAKA

Arif, A., dkk. 2007. Isolasi dan identifikasi jamur kayu dari Hutan Pendidikan dan Latihan Taboo-Tabo Kecamatan Bungoro Kabupaten Pangkep. Perrenial 3: 49-54.

Agrios, G. N. 2005. Plant Pathology. Elsevier Academic Press, USA.Anjisha, R., Maharshi, Vrinda, and Thaker. 2012. Growth and development of plant pathogenic fungi in define media. European Journal of Experimental Biology 2:44-45.

Hadioetomo, R. S. 1990. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek. Gramedia, Jakarta.

Kronstrad, J.W. 2002. Fungal Pathology. Klower Academc Publisher, Netherlands.

Lakitan, B. 2007. Tissue Culture Techniques for Horticutural Crops. An AVI Book, New York.

Pelczar, M. J. Jr., dan E. C. S. Chan. 1986. Elements of Microbiology (Dasar-dasar Mikrobiologi, alih bahasa Ratna S. H., Teja Imas, S. Sutarmi T. dan S. L. Angka). Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Rompas, J., 2001. Efek isolasi bertingkat Colletotrichum sp.   terhadap penyakit antraknosa pada cabai. Prosiding konggres Nasional XVI dan Seminar Hasil. PFI, Bogor.

Rusli, I., Mardinus dan Zulpadli. 1997. Penyakit antraknosa pada buah cabai di Sumatra Barat. Prosiding Konggres Nasional XVI dan Seminar Hasil. PFI, Palembang.

Saryono, dkk. 2002. Isolasi dan karakterisasi jamur penghasil inulinase yang tumbuh pada umbi dahlia (Dahlia variabilis). Jurnal Natur Indonesia 4:171-177.

Singh, R.S., 1998. Plant Diseases. Oxford Ibh Publishing Co. PVT. LTD, New Delhi, India.

Yulianty. 2006. Pengaruh pH terhadap pertumbuhan jamur Colletotrichum sp.   penyebab antraknosa pada cabai asal Lampung. http://www.thechilman.org/guide.disease Diakses tanggal 10 Mei 2015.

Tags: , , , , , , ,

Laporan Praktikum Nematologi Pertanian Acara II: Ekstraksi Isolasi Nematoda

Posted by miftachurohman on May 14, 2018
Laporan Praktikum, Nematologi Pertanian / No Comments

LAPORAN PRAKTIKUM
NEMATOLOGI PERTANIAN
ACARA II

EKSTRAKSI ISOLASI NEMATODA

Disusun oleh:
Miftachurohman
12/334974/PN/12969

LABORATORIUM NEMATOLOGI
JURUSAN PERLINDUNGAN TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015

PENDAHULUAN

 

Nematoda merupakan mikroorganisme yang digolongkan ke dalam filum dunia hewan. Ketika dilihat di bawah mikroskop, nematoda terlihat berupa cacing mikroskopis dengan ukuran tubuh yang sangat kecil dan berwarnah bening. Karena ukuran tubuh nemtoda sangat kecil, para petani sangat sulit membedakan dengan penyakit yang disebabkan oleh virus dan bakteri (Prajnanta, 2007).

Nematoda mempunyai saluran usus dan rongga badan, tetapi rongga badan tersebut dilapisi dengan selaput seluler sehingga disebut pseudosel atau pseudoseloma. Tubuh nematoda berbentuk bulat pada potongan melintang, tidak bersegmen, dan ditutupi oleh kutikula. Terdapat sekitar 10.000 jenis nematoda yang hidup di dalam segala jenis habitat mulai dari tanah, air tawar, dan air asin sampai tanaman dan hewan (Norman D. Levine, 1994).

Nematoda merupakan kelompok hewan yang mempunyai ukuran mikron sehingga tidak dapat diamati dengan mata secara langsung dan hanya dapat diamati dengan menggunakan mikroskop. Oleh karena itu, untuk dapat mengamati nematoda maka perlu dilakukan isolasi-ekstraksi nematoda dari habitatnya.

Terdapat beberapa cara untuk mendapatkan nematoda dari dalam sampel tanah dan jaringan tanaman. Nematoda-nematoda yang bergerak aktif dapat diekstraksi dengan menggunakan metode Whitehead tray atau Baermann. Kedua metode ini memberikan hasil yang kurang memuaskan jika digunakan untuk mengekstraksi nematoda yang bergerak lamban atau nematoda yang memiliki ukuran tubuh besar (Suwanda, 2009). Menurut Swibawa et al. (2000), ekstraksi-isolasi   nematoda dari dalam akar   dapat menggunakan metode Bearmann,   sedangkan ekstraksi dan isolasi nematoda   dari   dalam tanah   dapat menggunakan   metode dekantasi-sentrifugasi    menggunakan larutan gula.

Untuk kegiatan acara parktikum ini, metode yang digunakan adalah Whitehead Tray, Corong Baermann yang diperbaiki, Pengkabutan, metode saring, metode fenwick, dan Sentrifus. Praktikum ini bertujuan untuk memperoleh nematoda dari contoh tanah dan jaringan tanaman, membedakan berbagai macam metode ekstraksi-isolasi nematoda dan mengetahui masing-masing kegunaan metode ekstraksi-isolasi nematoda, serta memperoleh ketrampilan melakukan pekerjaan ekstraksi-isolasi nematoda.

 

CARA KERJA

 

Praktikum Nematologi Pertanian acara 2 dengan judul Ekstraksi-Isolasi Nematoda dilaksanakan pada hari Kamis, 17 Maret 2015 di Laboratorium Nematologi, Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Alat yang digunakan adalah sekop kecil, kantung plastik dan alat ekstraksi-isolasi serta perlengkapannya. Bahan yang digunakan berupa contoh tanah dan jaringan tanaman (akar) yang diduga terserang nematoda parasit dari tanaman pisang, terong dan padi.

Metode yang digunakan ada enam macam. Untuk Ekstraksi-Isolasi dari sampel tanah digunakan metode Whitehead Tray yang dimodifikasi, Corong Baermann yang diperbaiki, metode fenwick, dan saring. Metode yang digunakan untuk ekstraksi isolasi dari sampel akar adalah metode Whotehead Tray yang dimodifikasi, metode sentrifuse, dan pengkabutan.

Cara kerja dari metode Whitehead Tray yang dimodifikasi yaitu perlengkapan yang diperlukan disiapkan. Screen nilon dipasang di atas nampan penyangga (dasar nampan berlubang), dan diatasnya diletakkan kertas saring (tissue tanpa parfum) hingga permukaan nampan penyangga tertutup. Diatas permukaan tisu diletakkan gelas arloji agar tanah yang dituangkan tidak merobek permukaan tisu. Contoh tanah yang berada di dalam Waskom diambil 100 ml kemudian di homogenkan dengan air volume kurang lebih 200 ml. Setelah homogeny, suspense tanah kemudian dituangkan diatas gelas arloji secara perlahan. Tanah hasil suspense yang berada di gelas arloji kemudian di ratakan secara perlahan diatas permukaan tisu. Masukkan air ke nampan plastik sampai menyentuh permukaan tanah. Air yang keluar kemudian dibuang, agar hasil suspense yang dipanen menjadi jernih. Selanjutnya didiamkan selama 24 jam dalam temperatur kamar. Setelah itu nampan penyangga dan kelengkapannya serta contoh tanah diangkat dan disingkirkan. Nampan plastik yang berisi air dan nematoda (suspensi nematoda) dituang ke dalam gelas beker. Ditunggu beberapa menit agar nematoda mengendap. Volume air dikurangi dengan pipet (pipa kecil) secara hati-hati, suspensi nematoda disisakan ± 75 ml. Suspensi nematoda yang diperoleh lalu diamati.

Cara kerja dari metode Corong Baermann yang diperbaiki yaitu contoh tanah dicampur secara merata di dalam waskom dan diambil sebanyak 100 ml. Contoh tanah 100 ml disaring dengan saringan berdiameter mata saring 840 µm (dikerjakan pada piring). Partikel kasar pada saringan dibuang. Hasil saringan (dalam piring) dimasukkan ke dalam gelas beker (A) volume 1000 ml. Suspensi tanah dalam gelas beker (A) didekantasi. Cara dekantasi sebagai berikut: Suspensi tanah diaduk hingga merata. Didiamkan selama ± 15 detik, sehingga siperoleh dua endapan (bagian atas dan bawah). Endapan bagian atas dituang ke dalam gelas beker lain (B) untuk memisahkan partikel kasar yang mengendap. Partikel tanah yang tertinggal pada gelas beker (A) ditambah ± 100 ml air, kemudian diaduk dan didiamkan selama ± 15 detik. Endapan bagian atas dituang dijadikan satu dengan gelas beker (B). Hasil dekantasi adalah pada gelas beker (B). Proses dekantasi ini dikerjakan tiga kali. Untuk mengurangi volume air pada suspensi tanah dalam gelas beker (B), didiamkan selama ± 1 menit. Endapan atas disaring dengan saringan bertingkat, Ø mata saringan 45 µm (di atas) dan 35 µm (di bawah). Nematoda yang tertahan pada saringan 45 µm dan 35 µm dimasukkan kembali ke dalam gelas beker (B) dengan bantuan botol semprot. Selanjutnya suspensi tanah yang halus dituangkan di atas kertas saring (tissue tanpa parfum) pada saringan 840 µm di dalam corong Baermann. Dibiarkan selama 24 jam, lalu penepit dibuka dan suspensi nematoda (di dalam corong) diambil sebanyak ± 50 ml yang ditampung dalam botol penyimpan. Suspensi nematoda lalu diamati.

Cara kerja metode Fenwick adalah corong fenwick diatur sedemikian rupa, kemudian tanah disiapkan sebanyak 200-300 ml dan diletakkan diatas saringan diameter 1 mm. Tanah kemudian dicuci dengan menyemprotkan air dari atas tanah. Partikel tanah halus, bahan organic, dan sista akan turun ke dalam corong fenwick, dan melimpah keluar dana akan tertampung pada saringan dengan diameter mata saring 250 mikron. Sista yang tertampung diatas saringan dicuci dengan botolsemprot dan dituangkan diatas tisu. Biarkan beberapa saat hingga keringa angina. Sista kemudian diamati dengan kaca pembesar atau mikroskop dissecting.

Untuk Ekstraksi-Isolasi dari jaringan akar digunakan metode Pengkabutan dan Sentrifus. Cara kerja dari metode Pengkabutan yaitu disiapkan mangkok plastik dengan lubang di tengah dinding. Corong berikut saringan 840 µm ditempatkan di dalam mangkok plastik. Dasar saringan dilapisi kertas saring. Contoh akar yang sudah dicuci ditiriskan dan dikering anginkan. Selanjutnya dipotong-potong ± 0,5 cm. Contoh akar diambil sebanyak 5 gram dimasukkan dan diatur merata di atas kertas saring di dalam saringan dengan diameter mata saringan 840 µm. Mangkok plastik berikut contoh jaringan akar diletakkan ke dalam rak pengkabutan. Rak pengkabutan ditutup dan kran air dibuka selama 48 jam. Suspensi nematoda dalam mangkok plastik dipanen. Suspensi nematode tersebut dipindahkan ke dalam gelas beker selanjutnya dituangkan ke dalam botol penyimpan (warna hitam) atau disimpan di dalam lemari pendingin.

Cara kerja dari metode Sentrifus yaitu contoh jaringan akar dibersihkan dengan air secara hati-hati, kemudian ditiris dan dikering anginkan. Akar dipotong-potong ± 0,5 cm dan diambil sebanyak 5 gram. Ditambahkan air 100 ml dan dicincang dengan blender selama 3 menit. Setelah itu dimasukkan ke dalam tabung sentrifus dan ditambahkan tanah kaolin secukupnya. Tanah kaolin digunakan untuk mengikat jaringan ketika dalam proses sentrifugasi. Masing-masing tabung sentrifus ditimbang untuk mendapatkan berat yang sama dan tabung dipasang di alat sentrifus. Sentrifus diputar dengan kecepatan 5000 rpm selama 5 menit. Air yang ada pada lapisan atas dibuang dan ditambahkan larutas gula pasir (BJ=1,18) dan diaduk hingga merata. Masing-masing tabung dipasang pada alat sentrifus lagi dengan kecepatan 5000 rpm selama 3 menit. Suspensi nematoda dalam larutan gula dituang ke dalam saringan 28 µm dan dicuci dengan air menggunakan botol semprot. Nematoda yang tertampung dalam saringan tersebut dimasukkan ke dalam gelas beker 100 ml dengan bantuan botol semprot. Suspensi nematoda siap diamati.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Pengamatan

Kelompok Metode
Baermann yang diperbaiki Sentrifus WHT Akar WHT Tanah Pengkabutan Fenwick Saring
1 53,33 12,00 86 27 987 121 23
2 133,33 74,80 920 186,7 1020 163 26
3 13,4 20 1566 0 1293,4 162 3
Rerata 65,68 29,00 857,33 71,1 11000,13 148,65 17,33

 

Pembahasan

 

Ekstraksi-isolasi nematoda adalah suatu proses untuk memisahkan nematoda dari habitat hidupnya, baik dari tanah maupun dari jaringan tanaman sebelum dilakukan kejian lebih lanjut. Kajian lebih lanjut yang dilakukan adalah amtara lain identifikasi dan penghitungan populasi nematoda. Ada beberapa metode yang digunakan dala melakukan ekstraksi isolasi nematoda dari sampel tanah maupu jaringan tanaman, diantaranya adalah corong baermann, whitehead tray, sentrifuse, penyaringan, pegkabutan, dan fenwick. Pemilihan metode yang akan digunakan untuk ekstraksi isolasi nematoda ditentukan dengan ketersediaan fasilitas, objek nematoda yang ditargetkan, ukuran sampel, jumlah sampel, tipe tanah, dan lain sebagainya.

Ada dua jenis bahan yang digunakan dalam praktikum ekstraksi-isolasi nematoda, yaitu tanah dan akar. Metode Ekstraksi-isolasi yang digunakan untuk media tanah adalah dengan menggunakan metode corong baermann yang diperbaiki, metode whitehead tray yang dimodifikasi, dan metode fenwick. Metode yang digunakan untuk ekstraksi-isolasi pada jaringan akar adalah metode sentrifuse, metode pengkabutan, dan whitehead tray yang dimodifikasi.

Di dalam habitatnya, nematoda memanfaatkan air utuk melakukan perpindahan. Cara kerja dari metode ekstraksi isolasi nematoda adalah dengan memanfaatkan filum air untuk mengekstraksi dan mengisolasi nematoda dari tanah atau jaringan tanaman (akar). Tanah yang menjadi tempat hidup nematoda mempunyai struktur yang kasar. Kebanyakan nematoda juga hidup di tanah yang mempunyai banyak pori dan didalam pori-pori tersebut terdapat cukup udara. Tanah tersebut juga mempunyai kelembapan yang cukup serta tipe tanah dan pH juga mempunyai pengaruh terhadap distribusi nematoda.

Dari hasil pengamatan ekstraksi-isolasi dengan menggunakan tujuh metode dan dua macam sampel dapat diketahui bahwa metode ekstraksi isolasi untuk akar paling banyak adalah dengan menggunakan metode pengkabutan, yaitu dengan jumlah rerata 11000,13. Untuk sampel tanah, metode yang menghasilkan nematoda paling banyak adalah metode fenwick, yaitu denganjumlah rerata 148,65 .

Dari hasil pengamatan, maka dapat diketahui bahwa metode pengkabutan cocok digunakan untuk ekstraksi-isolasi nematoda dari sampel akar. Sementara itu, metode fenwick paling cocok digunakan untuk ekstraksi isolasi nematoda dari sampel tanah. Hal ini berdasarkan pada banyaknya jumlah nematoda yang tertangkap.

Menurut Dewi, dkk (2007), pengamatan nematoda dikatakan efektif jika kerapatan nematoda tanah yang ditemukan dari kedalaman tanah 0-5 cm ditemukan rata-rata 67 individu, di kedalaman 5-10 cm ditemukan rata-rata 69 individu, dan di kedalaman 10-15 cm ditemukan rata-rata 46 individu nematoda tanah per 150 cc tanah. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dibuktikan bahwa kedalaman tanah yang paling banyak ditemukan nematoda adalah di kedalaman 5-10 cm.

Pada hasil pengamatan menunjukkan hasil yang mempunyai rentan rerata yang sangat jauh berbeda. Pada sampel tanah metode saring memiliki jumlah rerata yang paling rendah, yaitu sebanyak 17,33 sedangkan pada metode whitehead tray memiliki jumlah rerata paling tinggi, yaitu sebanyak 71,1. Pada hasil pengamatan sampel akar, jumlah nematoda tertinggi diperoleh dari hasil metode sentrifuse yaitu sebanyak 2900, sementara itu hasil terendah didapat dari metode whitehead tray yaitu sebanyak 857,33. Dari hasil ini, meskipun dari sampelyang sejenis, namun memiliki jumlah rentan rerata yang sangat jauh berbeda. Hal ini dapat disebabkan karena kurangnya ketrampilan dalam mempraktikan metode sehingga didapatkan bias data yang sangat kontras.

Masing-masing metode mempunyai kelebihan dan kelemahan. Metode whitehead tray cocok dipergunakan untuk mendapatkan bahan inoculum karena hanya nematoda yang hidup, sehat, dan aktif saja yang dapat diisolasi. Nematoda yang aktif pada sampel tanah lama-lama akan menuju ke air yang ada pada nampan plastik. Sehingga kelebihan dari metode ini adalah akan didapatkan nematoda dengan kualitas yang baik dan juga proses serta peralatannya yang sederhana. Kekurangannya adalah metode ini tidak cocok digunakan untuk penghitungan populasi nematoda pada suatu tanah karena seperti telah disebut sebelumnya bahwa nematoda yang didapat hanya yang hidup.

Pada metode Corong Baermann Nematoda bisa didapatkan nemotoda dalam jumlah lebih banyak dan nematoda yang didapat dalam kualitas baik karena masih hidup. Kekurangannya adalah cara kerjanya yang sedikit rumit dan prosesnya yang cukup panjang serta tidak cocok untuk perhitungan populasi pada suatu tanah.

Menurutnya, keuntungan dari metode ini adalah penipisan oksigen dapat dihindari serta efisiensi ekstraksinya lebih tinggi. kekurangan dari metode ini adalah membutuhkan banyak air sehingga boros air dan sulit untuk menjaga sampel bebas dari ganggang dan jamur.

Pada metode Sentrifus, Kelebihan dari metode ini adalah bisa didapatkan nematoda dalam keadaan hidup maupun mati karena hanya mendasarkan pada berat jenis dan bukan pada gerakan nematoda. Kekurangannya adalah peralatan yang digunakan tidak mudah didapat dan harganya mahal.

Pada metode fenwick, kelebihanya adalah penggunaan alat yang sederhana dan praktis, sehingga proses ektraksi isolasi menjadi lebih efisien. Kekurangan dari penggunaan metode ini adalah nematoda yang didapat dalam kondisi yang sudah tidak segar.

Untuk mengekstrasi nematoda yang berasal dari dalam jaringan tumbuhan yang berupa akar harus dibersihkan terlebih dahulu dan dipotong-potong menjadi bagian-bagian kecil dengan panjang  0,5 cm. Untuk metode whitehead tray dan pengkabutan, akar langsung diletakkan secara merata diatas tisu dan diinkubasi selama kurang lebih 24 jam.Pada saat itu, nematoda akan menembus lubang tisu dan tergerak menuju air yang kaya akan oksigen. Untuk metode sentrifuse, akar kemudian dihaluskan dengan menggunakan blender selama kurang lebih 3 menit sehingga akan menghasilkan campuran nematoda,

Setelah proses ekstraksi-isolasi, suspense nematoda yang diperoleh dapat dinyatakan per satuan unit sampel. Untuk jaringan tanaman dapat dinyatakan per satuan berat, misalnya adalah per 5 gram (akar). Untuk sampel tanah, dapat dinyatakan dalam satuan volume, misalnya per 100 ml tanah. Jika hasil ekstraksi nematida didapat dalam jumlah yang kecil, semua nematoda dapat diamati dengan menggunakan mikroskop. Jika perlu, volume airnya dikurangi sebelum diamati dengan cara penyaringan menggunakan saringan 20 mikron atau 35 mikron atau pengetapan dengan menggunakan selang plastic berukuran kecil. Apabila diperoleh nematoda dalam jumlah yang besar, maka suspense nematoda perlu diencerkan terlebih dahulu.

Manfaat dari ekstraksi-isolasi nematoda adalah untuk memisahkan nematoda dari habitatnya yang berupa tanah ataupun jaringan tanaman sehingga selanjutnya dapat dilakukan pengamatan/kajian lebih lanjut seperti identifikasi ataupun penghitungan populasi nematoda pada suatu lahan atau tanaman.

KESIMPULAN

    1. Jumlah nematoda yang diperoleh dari masing masing metode memiliki jumlah rerata yang jauh berbeda. Hal ini dapat disebabkan oleh karena kurangnya ketrampilan sehingga menghasilkan bias data yang sangat tinggi.
    2. Ada beberapa macam metode yang dapat digunakan dalam ekstraksi-isolasi nematoda. Masing-masing metode memiliki kelebihan dan kelemahan. Masing-masing metode.
    3. Pemilihan metode yang akan digunakan untuk ekstraksi isolasi nematoda ditentukan dengan ketersediaan fasilitas, objek nematoda yang ditargetkan, ukuran sampel, jumlah sampel, tipe tanah, dan lain sebagainya.

 

DAFTAR PUSTAKA

Rahmita,Dewi, dkk. 2007. Kerapatan dan Biodiversitas Nematoda Tanah Gambut di Kecamatan Gambut, Kabupaten banjar, Kalimantan Selatan. Jurnal Bioscientiae. 4: 85-86.

Prajnanta, F. 2007. Mengatasi Permasalahan Bertanam Cabai. Depok : Penebar Swadaya

Norman, D.L.. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Swibawa, I. G., I. Amaliah, dan T. N. Aeny. 2000. Pengaruh infestasi nematoda Pratylenchus terhadap pertumbuhan tanaman nenas [Ananas comosus (l.) Merr.]. Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika 1: 25-28.

Tags: , , , , , , ,