acara iv

Laporan Praktikum Nematologi Pertanian Acara IV: Preparat Awetan Nematoda Vermiform

Posted by miftachurohman on May 27, 2018
Laporan Praktikum, Nematologi Pertanian / No Comments

LAPORAN PRAKTIKUM
NEMATOLOGI PERTANIAN
ACARA IV

PREPARAT AWETAN NEMATODA VERMIFORM

Disusun oleh:
Miftachurohman
12/334974/PN/12969

LABORATORIUM NEMATOLOGI
DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016

PENDAHULUAN

 

Nematoda merupakan organisme pengganggu tumbuhan yang ukuranya sangat mikroskopis. Dalam mengamati nematoda, diperlukan alat bantu yaitu mikroskop. Melihat bentuk suatu nematoda merupakan langkah awal dalam mengenali nematoda tersebut. Setelah nematoda dikenali, kemudian kita dapat dengan tepat menentukan langkah penanganan selanjutnya.

Menurut Mulyadi (1996), identifikasi yang tepat terhadap keberadaan spesies nematoda yang menyerang suatu pertanaman sangat menentukan keberhasilan peningkatan produksi baik secara kualitas maupun kuantitas. Oleh Karena itu, proses identifikasi nematoda menjadi sangat penting dan krusial untuk di pelajari.

Ketepatan identifikasi merupakan syarat dalam mengetahui spesies nematoda sebagai parasit tanaman. Identifikasi pada level genus dan spesies masing-masing mempunyai masalah dan kesulitan tersendiri. Identifikasi nematoda, meskipun hanya dibatasi level genus dapat sulit dilakukan karena belum secara keseluruhan dikuasasi para nematologist (Fortuner, 1989).

Mengidentifikasi suatu nematoda dapat dilakukan dengan melihat awetan nematoda. Hal ini sangat bermanfaat dalam proses penelitian. Data-data dalam identifikasi dapat diperoleh dari hasil pengamatan dari preparat awetan nematoda. Preparat nematoda juga dapat dimanfaatkan untuk memudahkan pengamatan anatomi dan bagian-bagian tubuh nematoda. Menurut Soekirno (2008), metode yang telah lama digunakan untuk mengidentifikasi nematoda ialah membandingkan ciri-ciri morfologi spesimen dengan pertelaan yang telah diterbitkan, seringkali dengan bantuan kunci identifikasi.

Tubuh nematoda sangat rapuh sehingga mudah rusak jika tidak ditangani dengan benar. Untuk mendapatkan spesimen awetan yang baik maka proses pembuatannya harus mengikuti prosedur yang benar, dimulai dari cara mematikan, fiksasi hingga pembuatan spesimen awetan atau awetan dalam bentuk preparat (Suwanda, 2009). Pada dinding tubuh nematoda hanya ada otot longitudinal. Pseudocoelom pada nematoda luas dan berisi cairan yang antara lain berfungsi sebagai rangkahidrostatik, dan menunjang gerak cacing yang meliuk-liuk seperti ular. Organ untuk pernafasan dan peredaran darah tidak ada (Subandi, 2009).

Oleh karena itu untuk mempermudah dalam kita melakukan penelitian ini perlu dilakuakn pembuatan preparat awetan, sehingga ketika kita ingin melakukan pengamatan dapat lebih mudah.

Praktikum acara IV yang berjudul Preparat Awetan Nematoda Vermiform ini memiliki tujuan yaitu setelah melakukan praktikum ini, diharapkan dapat memperoleh keterampilan dalam membuat awetan nematoda vermiform.

 

CARA KERJA

 

Praktikum Nematologi Pertanian Acara IV yang berjudul Preparat Awetan Nematoda Vermiform dilaksanakan pada kamis 24 Maret 2016 di Laboratorium Nematologi, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah mikroskop dissecting, kait nematoda, gelas benda, gelas penutup, paraffin, gelas wool, lempeng pemanas dan lampu Bunsen. Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah nematoda yang telah diproses ke dalam gliserin murni.

Cara kerja praktikum ini adalah yang pertama disiapkan gelas benda berukuran 7,2 cm x 2,7 cm dan gelas penutup berukuran 24 mm x 24 mm atau 22 mm x 22 mm. Parafin dibuat lingkaran di atas gelas benda menggunakan pencetak lingkaran paraffin yang dipanaskan dengan lampu Bunsen. Kemudian diberi satu tetes gliserin di tengah tenagh lingkaran paraffin. Kemudian diambil sebatang gelas wool dengan emnggunakan kait nematoda secara hati-hati. Gelas wool diletakkan dalam gliserin. Gelas wool di potong menjadi tiga bagian dan diatur menjadi bentuk segitiga. Kemudian nmatoda di kait sebanyak minimal 3 ekor dan diletakkan di dalam gliserin tersebut. Nematoda diatur kedudukanya. Ketiga ekor nematoda diatyr berjajar di tengah. Ketiga gelas wool diletakkan di tepi dan diatur raier tiga arah. Nematoda dan gelas wool ditutup dengan cara diletakkan gelas penutup secara hati-hati di atas linkaran paraffin pada gelas benda tersebut. Selanjutnya gelas benda dipanaskan beserta nematoda dan gelas wool di atas lempeng pemanas dampai lingkaran paraffin meleleh dan merata. Gelas benda yang telah dipanaskan kemudian didiakan beberapa saat, selanjutnya sisi gelas penutup di lem dengan menggunakan cat kuku. Kemudian di beri label yang mencakup jenis dan jumlah enmatoda pada sisi sebelah kiri, serta tanggal dan lokasi nematoda diperoleh maupun kolektornya pada sisi sebelah kanan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

Preparat awetan nematoda memiliki banyak manfaat. Manfaat tersebut antara lain adalah dapat digunakan sebagai data untuk mengidentifikasi organ-organ tubuh nematoda, serta untuk mengidentifikasi jenis nematoda.

Dalam pembuatan preparat awetan ini, digunakan nematoda yang telah difiksasi dan di masukkan ke dalam cairan gliserin murni. Ada beberapa hal yang perlu di ketahui dalam emmbuat preparat awetan. Salah satu bahan yang digunakan dalam pembuatan awetan preparat nematoda adalah paraffin. Paraffin mempunyai fungsi agar menjaga nematoda menjadi kedap udara, sehingga nematoda yang diawetkan menjadi tahan lama. Gelas wool berfungsi sebagai penyangga antara gelas benda dan gelas penutup. Dengan adanya gelas wool, maka nematoda tidak akan rusak karena terjepit. Fungsi dari cat kuku adalah untuk merekatkan gelas penutup dengan gelas benda, sehingga gelas penutup tetap menempel dan melindungi awetan nematoda.

Salah satu hal yang sangat menantang dan menguji kesabaran adalah pada tahap memancing nematoda dengan menggunakan kait nematoda. Ada teknik tertentu yang harus dikuasai agar nematoda dapat dengan mudah di pancing. Pertama tama, fokuskan lensa ke kait nematoda, selanjutnya arahkan kait nematoda ke dasar petridish yang berisi suspense nematoda. Goyang-goyangkan nematoda secara perlahan agar nematoda yang berada di dasar gelas benda terangkat, ketika nematoda ternagkat, segera kait nematoda dengan menggunakan kait nematoda. Setelah nematoda terkait, fokuskan lensa ke kait dan pindahkan nematoda ke atas gliserin yang ada di gelas benda.

Gambar 1. Hasil pembuatan preparat awetan nematoda (10×4)

Dari hasil pengamatan dapat diketahui bahwa nematoda yang berhasil di buat preparat awetan adalah nematoda saprofag. Nematoda saprophag (non-parasit) memiliki morfologi yang hampir sama dengan nematoda parasit. Perbedaan pokok antara keduanya terletak pada bentuk dan susunan alat mulut. Alat mulut pada nematoda non parasit berbentuk seperti corong yang terbuka lebar dan tidak memiliki alat penusuk (stylet) seperti halnya pada nematoda parasit.

Pembuatan preparat ini memiliki beberapa kendala. Dalam membuat cetakan parafin, cetakan yang dihasilkan sering gagal. Terkadang parafin terbentuk meluber. Terkadang juga tidak membulat sempurna, namun ada lingkaran yang terputus. Selain itu, kendala yang paling utama adalah sulitnya mengkait nematoda. Seringkali nematoda yang di kait sudah didapatkan, namun ketika di cek kembali di bawah mikroskop, tidak ada nematoda hasil kaitan. Hal ini karena jam terbang yang belum tinggi. Oleh karena itu, perlu latihan terus menerus untuk meningkatkan kemampuan dalam mengakit nematoda.

 

KESIMPULAN

  1. Pembuatan preparat awetan nematoda sangat bermanfaat dalam identifikasi morfologi nematoda
  2. Pembuatan awetan nematoda meliputi pemancingan nematoda, pembiusan nematoda, pembunuhan nematoda, dan fiksasi.
  3. Pembuatan preparat awetan merupakan serangkaian proses panjang yang membutuhkan kesabaran dan ketelitian serta membutuhkan tekhnik-teknik khusus

 

DAFTAR PUSTAKA

Fortuner, R. 1989. A New Description of the Process of Identification of Plant Parasitic Nematodes Genera. Plenum Publishing Corp , New York

Mulyadi. 1996. Nematologi. Jurusan Hama dan Penyakit Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Soekirno. 2008. Pedoman Pengelolaan Koleksi dan Identifikasi OPT (Khusus Untuk Tanaman Hortikultura). Jakarta : Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura.

Suwanda. 2009. Pedoman Pembuatan Dan Pengelolaan Koleksi Penyakit Tumbuhan. Jakarta : Pusat Karantina Tumbuhan Badan Karantina Pertanian Departemen Pertanian.

Tags: , , , ,

Laporan Paraktikum Dasar-Dasar Agronomi Acara IV: Pengaruh Cekaman Air Terhadap Perkecambahan Biji

Posted by miftachurohman on June 04, 2017
Dasar-Dasar Agronomi, Laporan Praktikum / No Comments

ACARA IV
PENGARUH CEKAMAN AIR TERHADAP PERKECAMBAHAN BIJI

TUJUAN

  1. Mengetahui gaya berkecambah dan kecepatan berkecambah suatu biji.
  2. Mengetahui faktor-faktor luar yang mempengaruhi perkecambahan biji.
  3. Mengetahui pengaruh cekaman air terhadap perkecambahan biji.

TINJAUAN PUSTAKA

Pada umumnya, tanaman banyak membutuhkan air pada awal tumbuhnya (seeding stage) dimana fase vegetatif dominan. Pada saat tanaman menjelang pembungaan, air perlu dikurangi. Jumlah air yang diberikan sebaiknya teratur sehingga fluktuasi jumlah air total tidak terlalu besar. Dalam memberikan air, perlu dijaga agar permukaan tanah tidak menjadi padat, sebab dapat mengurangi infiltrasi air maupun udara (Harjadi, 1982).

Ada dua macam tipe proses perkecambahan berdasarkan posisi kotiledon, yaitu perkecambahan hipogeal dan epigeal. Hipogeal adalah plumula muncul ke permukaan tanah, sedangkan kotiledon tinggal di dalam tanah. Contohnya: perkecambahan kacang kapri (Pisum sativum), jagung (Zea mays). Epigeal adalah plumula dan kotiledon muncul di atas permukaan tanah. Contohnya : perkecambahan kacang hijau (Vigna radiata) (Anonim, 2011).

Pertumbuhan tanaman yang terhambat akibat cekaman air sering dihubungkan dengan penurunan laju fotosintesis sebagai akibat dari pembukaan stomata yang berkurang. Tetapi, sebenarnya proses yang paling sensitif terhadap cekaman air adalah pertumbuhan tanaman, khususnya pembesaran sel, yang dapat dilihat misalnya dari laju perluasan daun (Sitompul, 1996).

Perkecambahan bergantung pada imbibisi, pengambilan air akibat potensial air yang rendah pada biji kering. Imbibisi air menyebabkan biji mengembang dan selaput biji merekah dan juga memicu perubahan – perubahan metabolisme di dalam embrio kembali tumbuh. Setelah hidrasi, enzim-enzim mulai mencerna material-material simpanan endospermae atau kotiledon dan nutrien-nutrien ditransfer ke bagian-bagian embrio (Campbell and Reece, 2008).

Faktor cekaman abiotik berpotensi menghilangkan hasil tanaman. Ada sejumlah cekaman abiotik umum di alam seperti salinitas, kekeringan, logam berat, suhu ekstrim, kelembaban, cahaya, dan pH. Cekaman kekeringan selama pertumbuhan dan perkembangan tanaman dapat menurunkan produksi. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada fase pertumbuhan saat kekeringan terjadi dan lamanya kekeringan ( Ozturk et al., 2009).

Kehilangan air hasil tanaman adalah masalah penting bagi pemuliaan tanaman dan mereka cenderung meningkatkan tanaman dalam kasus ini, tetapi perbedaan potensi hasil lebih berkaitan dengan kompatibilitas faktor tekanan kekeringan indeks toleransi yang digunakan untuk menentukan genotip. Tujuannya adalah untuk menyelidiki variasi pembacaan meter SPAD daun bawah perlakuan yang berbeda ( Moaveni et al., 2010 ).

III. METODE PELAKSANAAN PRAKTIKUM

Praktikum Dasar-Dasar Agronomi acara IV yang berjudul Pengaruh Cekaman Air terhadap Perkecambahan Biji, dilaksanakan pada hari Jumat tanggal 22 Maret 2013 di Laboratorium Manajemen dan Produksi Tanaman, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah benih padi (Oryza sativa), kertas filter, dan larutan PEG (Polyethylene Glycol) dengan potensial air 0; -0,6; -1,2 dan -1,8 Mpa. Sedangkan alat-alat yang digunakan adalah bak perkecambahan (petridish), kaca pengaduk, penggaris, sendok, pinset, beaker glass, kaca penutup, dan gelas ukur. Metode pendekatan yang digunakan adalah dengan persamaan Van’t Hoff.

Langkah kerja pada praktikum ini adalah pertama direndam benih padi dalam air selama semalam (12 jam). Kemudian, petridish disiapkan dan dilapisi dengan kertas saring. Benih padi direndam ke dalam larutan PEG sesuai dengan perlakuan. Setelah itu, kertas saring dibasahi dengan larutan PEG sesuai dengan perlakuan. 25 biji diletakkan ke dalam tiap-tiap petridish. Setelah selesai petridish ditutup dengan penutupnya. Jumlah biji yang berkecambah (plumula dan radicula sudah mencapai panjang ± 2mm). Diamati dan dihitung setiap hari selama 1 minggu dimulai sehari setelah percobaan. Dibuang biji yang telah berkecambah dan berjamur untuk mempermudah pengamatan. Nilai gaya berkecambah dan indeks vigor dihitung dari masing-masing perlakuan PEG. Dibuat grafik gaya berkecambah dan indeks vigor pada berbagai hari pengamatan untuk semua konsentrasi dalam masing-masing alokasi waktu perendaman.  

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Pengamatan

Tabel 1.1 Hasil Pengamatan Gaya Berkecambah

Perlakuan Jumlah Biji yang Berkecambah GB terakhir(%)
1 2 3 4 5 6 7
PEG 0  0 4,167 10,33 12,67 13 13,83 14,67 89
PEG -0,6  0 0 3,333 7 7 7,5 43
PEG -1,2  0  0 0 0 0,167 0,167 0 1
PEG-1,8  0  0 0 0 0 0 0 0

Tabel 1.2 Hasil Pengamatan Indeks Vigor

Perlakuan Jumlah Biji yang Berkecambah
1 2 3 4 5 6 7
PEG 0  0 1,93 3,1867 2,118333 1,446667 1,221111 1,091429
PEG -0,6  0 0 0,833333 1,4 1,111111 1,02381
PEG -1,2  0  0 0 0 0,033333 0,041111 0
PEG-1,8  0  0 0 0 0 0 0

Pembahasan

Perkecambahan merupakan suatu proses pertumbuhan dari biji setelah biji mengalami masa dormansi bila kondisi-kondisi sekelilingnya memungkinkan. Perkecambahan sesungguhnya adalah pertumbuhan embrio yang dimulai kembali setelah penyerapan air atau imbibisi. Pada waktu imbibisi, kandungan air meningkat, kemudian lebih lambat. Adanya air mengakibatkan jaringan bermetabolisme secara aktif. Enzim yang telah ada diaktifkan kembali, dan protein baru dengan kegiatan enzim baru disintesis untuk mencerna dan menggunakan berbagai bahan cadangan yang tersimpan. Pembelahan dan perluasan sel dimulai dan berjalan menurut pola yang telah terprogram dalam gen biji. Pertumbuhan tersebut memerlukan pasokan air dan zat gizi secara terus-menerus. Sebelum embrio menjadi kecambah yang mandiri, embrio menggunakan makanan yang tersimpan dalam endosperm dan dalam selnya sendiri.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perkecambahan adalah air, udara, temperatur atau suhu sinar matahari dan peranan lingkungan. Air digunakan untuk perkecambahan biji, pengisapan air merupakan kebutuhan biji untuk berlangsungnya kegiatan-kegiatan dalam biji. Pada peristiwa ini pati, protein dan lemak dalam biji diubah menjadi makanan sederhana yang digunakan untuk kepentingan embrio. Agar peristiwa tersebut dapat berlangsung maka air yang masuk dalam biji harus merata. Udara yang di dalamnya terkandung oksigen digunakan untuk pernapasan embrio. Temperatur pada proses perkecambahan biji berkaitan dengan kegiatan di dalam biji. Semakin tinggi temperatur, kegiatan di dalam biji akan meningkat pula. Pada temperatur yamg rendah perkecambahan berlangsung lambat. Pada perkecambahan diperlukan pula sinar matahari yang berhubungan erat dengan temperatur udara, yaitu berperan dalam pertumbuhan kecambah supaya tidak tampak pucat. Keadaan pertumbuhan kecambah yang memanjang dan bibit yang tampak pucat ini disebut etiolasi.

Dalam praktikum ini larutan yang digunakan untuk cekaman air adalah larutan PEG. Larutan polietilena glikol (PEG) mampu menahan air sehingga menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Besarnya kemampuan larutan PEG untuk menahan air tersebut bergantung pada bobot molekul dan konsentrasinya . Sifatnya yang larut dalam air, tidak toksik terhadap tanaman, dan tidak mudah diserap menjadikan PEG sebagai senyawa yang efektif untuk menirukan kondisi kekeringan. Penggunaan larutan PEG sebagai bahan conditioning dan invigorasi benih telah banyak dilakukan pada benih tanaman pangan dan sayuran. Dengan larutan PEG, cekaman kekeringan dapat diterapkan secara homogen terhadap populasi tanaman yang diseleksi sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan mengidentifikasi individu yang diseleksi.

Pengaruh cekaman air terhadap pertumbuhan tanaman tergantung pada tingkat cekaman yang dialami dan jenis atau kultivar yang ditanam. Pengaruh awal dari tanaman yang mendapat cekaman air adalah terjadinya hambatan terhadap pembukaan stomata daun yang kemudian berpengaruh besar terhadap proses fisiologis dan metabolisme pada tanaman.

Pada kondisi tanaman mengalami cekaman air, tekanan turgor akan berkurang. Dengan penyemprotan melalui daun, maka tekanan turgor akan meningkat dan hara akan diperoleh tanaman. Kekurangan air akan menyebabkan kekeringan pada tanaman, sehingga akan menyebabkan benih mati saat perkecambahan. Cekaman air yang berlebihan juga bisa menyebabkan stress pada tanaman. Cekaman air yang diberikan pada awal pertumbuhan generatif menyebabkan berkurangnya asimilasi CO2.

Pada percobaan ini digunakan biji padi (Oryza sativa) yang telah direndam dalam air selama 12 jam. Kemudian biji padi direndam ke dalam larutan PEG sesuai dengan perlakuan. Berdasarkan percobaan tersebut diperoleh gaya berkecambah dan indeks vigor biji padi yang dilakukan selama 7 hari.

Gaya Berkecambah

Gambar 1.1Histogram Gaya Berkecambah

Berdasarkan percobaan, gaya berkecambah tiap-tiap perlakuan biji padi dengan konsentrasi PEG yang berbeda pun berbeda hasilnya. Pada pemberian PEG 0 MPa (murni air/akuades), diperoleh gaya berkecambah biji padi sebesar 89%. Pada pemberian PEG -0,6 Mpa diperoleh gaya berkecambah sebesar 43 %, -1,2 Mpa diperoleh 1%, dan -1,8 Mpa diperoleh 0%. Pada pemberian PEG -1,2 Mpa pada biji padi, hasil yang  diperoleh tidak sesuai secara teori. Secara teori, tanaman pangan masih dapat tumbuh pada potensial air mendekati -1,6 Mpa. Ada beberapa faktor yang menyebabkan data yang diperoleh tidak sesuai, diantaranya kondisi lingkungan (laboratorium) yang buruk, misalnya kelembaban yang rendah (mengakibatkan biji padi tidak berkecambah), suhu, cahaya, dsb. Selain itu, adanya jamur yang mengakibatkan biji membusuk juga menyebabkan biji padi tidak berkecambah.

Indeks Vigor

Gambar 2.Grafik Indeks Vigor

Dari grafik indeks vigor, dapat diketahui bahwa biji padi dapat tumbuh dengan baik pada pemberian larutan PEG 0 Mpa. Hal ini menunjukkan bahwa larutan PEG 0 Mpa memiliki kemampuan untuk menginduksi cekaman air yang lebih kecil daripada PEG dengan konsentrasi -0,6; -1,2; -1,8 Mpa. Kemudian biji padi dapat tumbuh baik pula pada pemberian larutan PEG -0,6 Mpa. Pada pemberian larutan PEG -1,2 Mpa dan -1,8 Mpa, indeks berkecambah (kecepatan berkecambah) biji padi sangat rendah.

Manfaat mempelajari pengaruh cekaman air terhadap perkecambahan biji, antara lain mengetahui fungsi dari cekaman air, dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi cekaman air terhadap perkecambahan biji. Untuk menghindari kematian tanaman akibat kekurangan air dapat dilakukan dengan cara yaitu memberi pengairan secara rutin sesuai dengan kebutuhan air yang diperlukan tanaman. Selain itu, dapat juga digunakan khemikalia untuk membantu mengurangi cekaman air. Kandungan khemikalia ini dapat diperoleh dari pupuk.

KESIMPULAN
  1. Gaya berkecambah adalah jumlah biji yang berkecambah dari sejumlah biji murni yang dikecambahkan dan dinyatakan dalam persen. GB pada larutan PEG 0 Mpa yakni 89%, -0,6 Mpa yakni 43%, -1,2 Mpa yakni 1%, dan -1,8 Mpa yakni 0%.
  2. Faktor luar yang mempengaruhi perkecambahan biji adalah air, suhu, oksigen, cahaya,  dan kelembaban.
  3. Pengaruh cekaman air terhadap perkecambahan biji yaitu terjadinya hambatan terhadap pembukaan stomata daun yang kemudian berpengaruh besar terhadap proses fisiologis dan metabolisme pada tanaman.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim.2011. Tipe Perkecambahan (Epigeal dan Hipogeal). <http://saonone.blogspot.com/2011/08/tipe-perkecambahan-epigeal-dan- hipogeal.html>. Diakses pada 14 Mei 2013.

Campbell, N. A., and Reece. 2008. Biology. 8th ed. Pearson Education Inc., California.

Harjadi, S.S. 1982. Pengantar Agronomi. PT Gramedia, Jakarta.

Moaveni, P., A. Ebrahemi, and H.A. Farahami. 2010. Studying of oil yield variations in winter repeseed (Brassica napus L.) cultivarsunder drought stress conditions. Journal of Agriculture Biotechnology and Sustainable Development. 2 : 72.

Ozturk, M., M. Ashraf, and H.K. Atnar. 2009. Salinity and Water Stress Improving Cropping Efficiency. Springer, Falisbalad.

Tags: , , , ,