Laporan praktikum

Laporan Praktikum Nematologi Pertanian Acara II: Ekstraksi Isolasi Nematoda

Posted by miftachurohman on May 14, 2018
Laporan Praktikum, Nematologi Pertanian / No Comments

LAPORAN PRAKTIKUM
NEMATOLOGI PERTANIAN
ACARA II

EKSTRAKSI ISOLASI NEMATODA

Disusun oleh:
Miftachurohman
12/334974/PN/12969

LABORATORIUM NEMATOLOGI
JURUSAN PERLINDUNGAN TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015

PENDAHULUAN

 

Nematoda merupakan mikroorganisme yang digolongkan ke dalam filum dunia hewan. Ketika dilihat di bawah mikroskop, nematoda terlihat berupa cacing mikroskopis dengan ukuran tubuh yang sangat kecil dan berwarnah bening. Karena ukuran tubuh nemtoda sangat kecil, para petani sangat sulit membedakan dengan penyakit yang disebabkan oleh virus dan bakteri (Prajnanta, 2007).

Nematoda mempunyai saluran usus dan rongga badan, tetapi rongga badan tersebut dilapisi dengan selaput seluler sehingga disebut pseudosel atau pseudoseloma. Tubuh nematoda berbentuk bulat pada potongan melintang, tidak bersegmen, dan ditutupi oleh kutikula. Terdapat sekitar 10.000 jenis nematoda yang hidup di dalam segala jenis habitat mulai dari tanah, air tawar, dan air asin sampai tanaman dan hewan (Norman D. Levine, 1994).

Nematoda merupakan kelompok hewan yang mempunyai ukuran mikron sehingga tidak dapat diamati dengan mata secara langsung dan hanya dapat diamati dengan menggunakan mikroskop. Oleh karena itu, untuk dapat mengamati nematoda maka perlu dilakukan isolasi-ekstraksi nematoda dari habitatnya.

Terdapat beberapa cara untuk mendapatkan nematoda dari dalam sampel tanah dan jaringan tanaman. Nematoda-nematoda yang bergerak aktif dapat diekstraksi dengan menggunakan metode Whitehead tray atau Baermann. Kedua metode ini memberikan hasil yang kurang memuaskan jika digunakan untuk mengekstraksi nematoda yang bergerak lamban atau nematoda yang memiliki ukuran tubuh besar (Suwanda, 2009). Menurut Swibawa et al. (2000), ekstraksi-isolasi   nematoda dari dalam akar   dapat menggunakan metode Bearmann,   sedangkan ekstraksi dan isolasi nematoda   dari   dalam tanah   dapat menggunakan   metode dekantasi-sentrifugasi    menggunakan larutan gula.

Untuk kegiatan acara parktikum ini, metode yang digunakan adalah Whitehead Tray, Corong Baermann yang diperbaiki, Pengkabutan, metode saring, metode fenwick, dan Sentrifus. Praktikum ini bertujuan untuk memperoleh nematoda dari contoh tanah dan jaringan tanaman, membedakan berbagai macam metode ekstraksi-isolasi nematoda dan mengetahui masing-masing kegunaan metode ekstraksi-isolasi nematoda, serta memperoleh ketrampilan melakukan pekerjaan ekstraksi-isolasi nematoda.

 

CARA KERJA

 

Praktikum Nematologi Pertanian acara 2 dengan judul Ekstraksi-Isolasi Nematoda dilaksanakan pada hari Kamis, 17 Maret 2015 di Laboratorium Nematologi, Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Alat yang digunakan adalah sekop kecil, kantung plastik dan alat ekstraksi-isolasi serta perlengkapannya. Bahan yang digunakan berupa contoh tanah dan jaringan tanaman (akar) yang diduga terserang nematoda parasit dari tanaman pisang, terong dan padi.

Metode yang digunakan ada enam macam. Untuk Ekstraksi-Isolasi dari sampel tanah digunakan metode Whitehead Tray yang dimodifikasi, Corong Baermann yang diperbaiki, metode fenwick, dan saring. Metode yang digunakan untuk ekstraksi isolasi dari sampel akar adalah metode Whotehead Tray yang dimodifikasi, metode sentrifuse, dan pengkabutan.

Cara kerja dari metode Whitehead Tray yang dimodifikasi yaitu perlengkapan yang diperlukan disiapkan. Screen nilon dipasang di atas nampan penyangga (dasar nampan berlubang), dan diatasnya diletakkan kertas saring (tissue tanpa parfum) hingga permukaan nampan penyangga tertutup. Diatas permukaan tisu diletakkan gelas arloji agar tanah yang dituangkan tidak merobek permukaan tisu. Contoh tanah yang berada di dalam Waskom diambil 100 ml kemudian di homogenkan dengan air volume kurang lebih 200 ml. Setelah homogeny, suspense tanah kemudian dituangkan diatas gelas arloji secara perlahan. Tanah hasil suspense yang berada di gelas arloji kemudian di ratakan secara perlahan diatas permukaan tisu. Masukkan air ke nampan plastik sampai menyentuh permukaan tanah. Air yang keluar kemudian dibuang, agar hasil suspense yang dipanen menjadi jernih. Selanjutnya didiamkan selama 24 jam dalam temperatur kamar. Setelah itu nampan penyangga dan kelengkapannya serta contoh tanah diangkat dan disingkirkan. Nampan plastik yang berisi air dan nematoda (suspensi nematoda) dituang ke dalam gelas beker. Ditunggu beberapa menit agar nematoda mengendap. Volume air dikurangi dengan pipet (pipa kecil) secara hati-hati, suspensi nematoda disisakan ± 75 ml. Suspensi nematoda yang diperoleh lalu diamati.

Cara kerja dari metode Corong Baermann yang diperbaiki yaitu contoh tanah dicampur secara merata di dalam waskom dan diambil sebanyak 100 ml. Contoh tanah 100 ml disaring dengan saringan berdiameter mata saring 840 µm (dikerjakan pada piring). Partikel kasar pada saringan dibuang. Hasil saringan (dalam piring) dimasukkan ke dalam gelas beker (A) volume 1000 ml. Suspensi tanah dalam gelas beker (A) didekantasi. Cara dekantasi sebagai berikut: Suspensi tanah diaduk hingga merata. Didiamkan selama ± 15 detik, sehingga siperoleh dua endapan (bagian atas dan bawah). Endapan bagian atas dituang ke dalam gelas beker lain (B) untuk memisahkan partikel kasar yang mengendap. Partikel tanah yang tertinggal pada gelas beker (A) ditambah ± 100 ml air, kemudian diaduk dan didiamkan selama ± 15 detik. Endapan bagian atas dituang dijadikan satu dengan gelas beker (B). Hasil dekantasi adalah pada gelas beker (B). Proses dekantasi ini dikerjakan tiga kali. Untuk mengurangi volume air pada suspensi tanah dalam gelas beker (B), didiamkan selama ± 1 menit. Endapan atas disaring dengan saringan bertingkat, Ø mata saringan 45 µm (di atas) dan 35 µm (di bawah). Nematoda yang tertahan pada saringan 45 µm dan 35 µm dimasukkan kembali ke dalam gelas beker (B) dengan bantuan botol semprot. Selanjutnya suspensi tanah yang halus dituangkan di atas kertas saring (tissue tanpa parfum) pada saringan 840 µm di dalam corong Baermann. Dibiarkan selama 24 jam, lalu penepit dibuka dan suspensi nematoda (di dalam corong) diambil sebanyak ± 50 ml yang ditampung dalam botol penyimpan. Suspensi nematoda lalu diamati.

Cara kerja metode Fenwick adalah corong fenwick diatur sedemikian rupa, kemudian tanah disiapkan sebanyak 200-300 ml dan diletakkan diatas saringan diameter 1 mm. Tanah kemudian dicuci dengan menyemprotkan air dari atas tanah. Partikel tanah halus, bahan organic, dan sista akan turun ke dalam corong fenwick, dan melimpah keluar dana akan tertampung pada saringan dengan diameter mata saring 250 mikron. Sista yang tertampung diatas saringan dicuci dengan botolsemprot dan dituangkan diatas tisu. Biarkan beberapa saat hingga keringa angina. Sista kemudian diamati dengan kaca pembesar atau mikroskop dissecting.

Untuk Ekstraksi-Isolasi dari jaringan akar digunakan metode Pengkabutan dan Sentrifus. Cara kerja dari metode Pengkabutan yaitu disiapkan mangkok plastik dengan lubang di tengah dinding. Corong berikut saringan 840 µm ditempatkan di dalam mangkok plastik. Dasar saringan dilapisi kertas saring. Contoh akar yang sudah dicuci ditiriskan dan dikering anginkan. Selanjutnya dipotong-potong ± 0,5 cm. Contoh akar diambil sebanyak 5 gram dimasukkan dan diatur merata di atas kertas saring di dalam saringan dengan diameter mata saringan 840 µm. Mangkok plastik berikut contoh jaringan akar diletakkan ke dalam rak pengkabutan. Rak pengkabutan ditutup dan kran air dibuka selama 48 jam. Suspensi nematoda dalam mangkok plastik dipanen. Suspensi nematode tersebut dipindahkan ke dalam gelas beker selanjutnya dituangkan ke dalam botol penyimpan (warna hitam) atau disimpan di dalam lemari pendingin.

Cara kerja dari metode Sentrifus yaitu contoh jaringan akar dibersihkan dengan air secara hati-hati, kemudian ditiris dan dikering anginkan. Akar dipotong-potong ± 0,5 cm dan diambil sebanyak 5 gram. Ditambahkan air 100 ml dan dicincang dengan blender selama 3 menit. Setelah itu dimasukkan ke dalam tabung sentrifus dan ditambahkan tanah kaolin secukupnya. Tanah kaolin digunakan untuk mengikat jaringan ketika dalam proses sentrifugasi. Masing-masing tabung sentrifus ditimbang untuk mendapatkan berat yang sama dan tabung dipasang di alat sentrifus. Sentrifus diputar dengan kecepatan 5000 rpm selama 5 menit. Air yang ada pada lapisan atas dibuang dan ditambahkan larutas gula pasir (BJ=1,18) dan diaduk hingga merata. Masing-masing tabung dipasang pada alat sentrifus lagi dengan kecepatan 5000 rpm selama 3 menit. Suspensi nematoda dalam larutan gula dituang ke dalam saringan 28 µm dan dicuci dengan air menggunakan botol semprot. Nematoda yang tertampung dalam saringan tersebut dimasukkan ke dalam gelas beker 100 ml dengan bantuan botol semprot. Suspensi nematoda siap diamati.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Pengamatan

Kelompok Metode
Baermann yang diperbaiki Sentrifus WHT Akar WHT Tanah Pengkabutan Fenwick Saring
1 53,33 12,00 86 27 987 121 23
2 133,33 74,80 920 186,7 1020 163 26
3 13,4 20 1566 0 1293,4 162 3
Rerata 65,68 29,00 857,33 71,1 11000,13 148,65 17,33

 

Pembahasan

 

Ekstraksi-isolasi nematoda adalah suatu proses untuk memisahkan nematoda dari habitat hidupnya, baik dari tanah maupun dari jaringan tanaman sebelum dilakukan kejian lebih lanjut. Kajian lebih lanjut yang dilakukan adalah amtara lain identifikasi dan penghitungan populasi nematoda. Ada beberapa metode yang digunakan dala melakukan ekstraksi isolasi nematoda dari sampel tanah maupu jaringan tanaman, diantaranya adalah corong baermann, whitehead tray, sentrifuse, penyaringan, pegkabutan, dan fenwick. Pemilihan metode yang akan digunakan untuk ekstraksi isolasi nematoda ditentukan dengan ketersediaan fasilitas, objek nematoda yang ditargetkan, ukuran sampel, jumlah sampel, tipe tanah, dan lain sebagainya.

Ada dua jenis bahan yang digunakan dalam praktikum ekstraksi-isolasi nematoda, yaitu tanah dan akar. Metode Ekstraksi-isolasi yang digunakan untuk media tanah adalah dengan menggunakan metode corong baermann yang diperbaiki, metode whitehead tray yang dimodifikasi, dan metode fenwick. Metode yang digunakan untuk ekstraksi-isolasi pada jaringan akar adalah metode sentrifuse, metode pengkabutan, dan whitehead tray yang dimodifikasi.

Di dalam habitatnya, nematoda memanfaatkan air utuk melakukan perpindahan. Cara kerja dari metode ekstraksi isolasi nematoda adalah dengan memanfaatkan filum air untuk mengekstraksi dan mengisolasi nematoda dari tanah atau jaringan tanaman (akar). Tanah yang menjadi tempat hidup nematoda mempunyai struktur yang kasar. Kebanyakan nematoda juga hidup di tanah yang mempunyai banyak pori dan didalam pori-pori tersebut terdapat cukup udara. Tanah tersebut juga mempunyai kelembapan yang cukup serta tipe tanah dan pH juga mempunyai pengaruh terhadap distribusi nematoda.

Dari hasil pengamatan ekstraksi-isolasi dengan menggunakan tujuh metode dan dua macam sampel dapat diketahui bahwa metode ekstraksi isolasi untuk akar paling banyak adalah dengan menggunakan metode pengkabutan, yaitu dengan jumlah rerata 11000,13. Untuk sampel tanah, metode yang menghasilkan nematoda paling banyak adalah metode fenwick, yaitu denganjumlah rerata 148,65 .

Dari hasil pengamatan, maka dapat diketahui bahwa metode pengkabutan cocok digunakan untuk ekstraksi-isolasi nematoda dari sampel akar. Sementara itu, metode fenwick paling cocok digunakan untuk ekstraksi isolasi nematoda dari sampel tanah. Hal ini berdasarkan pada banyaknya jumlah nematoda yang tertangkap.

Menurut Dewi, dkk (2007), pengamatan nematoda dikatakan efektif jika kerapatan nematoda tanah yang ditemukan dari kedalaman tanah 0-5 cm ditemukan rata-rata 67 individu, di kedalaman 5-10 cm ditemukan rata-rata 69 individu, dan di kedalaman 10-15 cm ditemukan rata-rata 46 individu nematoda tanah per 150 cc tanah. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dibuktikan bahwa kedalaman tanah yang paling banyak ditemukan nematoda adalah di kedalaman 5-10 cm.

Pada hasil pengamatan menunjukkan hasil yang mempunyai rentan rerata yang sangat jauh berbeda. Pada sampel tanah metode saring memiliki jumlah rerata yang paling rendah, yaitu sebanyak 17,33 sedangkan pada metode whitehead tray memiliki jumlah rerata paling tinggi, yaitu sebanyak 71,1. Pada hasil pengamatan sampel akar, jumlah nematoda tertinggi diperoleh dari hasil metode sentrifuse yaitu sebanyak 2900, sementara itu hasil terendah didapat dari metode whitehead tray yaitu sebanyak 857,33. Dari hasil ini, meskipun dari sampelyang sejenis, namun memiliki jumlah rentan rerata yang sangat jauh berbeda. Hal ini dapat disebabkan karena kurangnya ketrampilan dalam mempraktikan metode sehingga didapatkan bias data yang sangat kontras.

Masing-masing metode mempunyai kelebihan dan kelemahan. Metode whitehead tray cocok dipergunakan untuk mendapatkan bahan inoculum karena hanya nematoda yang hidup, sehat, dan aktif saja yang dapat diisolasi. Nematoda yang aktif pada sampel tanah lama-lama akan menuju ke air yang ada pada nampan plastik. Sehingga kelebihan dari metode ini adalah akan didapatkan nematoda dengan kualitas yang baik dan juga proses serta peralatannya yang sederhana. Kekurangannya adalah metode ini tidak cocok digunakan untuk penghitungan populasi nematoda pada suatu tanah karena seperti telah disebut sebelumnya bahwa nematoda yang didapat hanya yang hidup.

Pada metode Corong Baermann Nematoda bisa didapatkan nemotoda dalam jumlah lebih banyak dan nematoda yang didapat dalam kualitas baik karena masih hidup. Kekurangannya adalah cara kerjanya yang sedikit rumit dan prosesnya yang cukup panjang serta tidak cocok untuk perhitungan populasi pada suatu tanah.

Menurutnya, keuntungan dari metode ini adalah penipisan oksigen dapat dihindari serta efisiensi ekstraksinya lebih tinggi. kekurangan dari metode ini adalah membutuhkan banyak air sehingga boros air dan sulit untuk menjaga sampel bebas dari ganggang dan jamur.

Pada metode Sentrifus, Kelebihan dari metode ini adalah bisa didapatkan nematoda dalam keadaan hidup maupun mati karena hanya mendasarkan pada berat jenis dan bukan pada gerakan nematoda. Kekurangannya adalah peralatan yang digunakan tidak mudah didapat dan harganya mahal.

Pada metode fenwick, kelebihanya adalah penggunaan alat yang sederhana dan praktis, sehingga proses ektraksi isolasi menjadi lebih efisien. Kekurangan dari penggunaan metode ini adalah nematoda yang didapat dalam kondisi yang sudah tidak segar.

Untuk mengekstrasi nematoda yang berasal dari dalam jaringan tumbuhan yang berupa akar harus dibersihkan terlebih dahulu dan dipotong-potong menjadi bagian-bagian kecil dengan panjang  0,5 cm. Untuk metode whitehead tray dan pengkabutan, akar langsung diletakkan secara merata diatas tisu dan diinkubasi selama kurang lebih 24 jam.Pada saat itu, nematoda akan menembus lubang tisu dan tergerak menuju air yang kaya akan oksigen. Untuk metode sentrifuse, akar kemudian dihaluskan dengan menggunakan blender selama kurang lebih 3 menit sehingga akan menghasilkan campuran nematoda,

Setelah proses ekstraksi-isolasi, suspense nematoda yang diperoleh dapat dinyatakan per satuan unit sampel. Untuk jaringan tanaman dapat dinyatakan per satuan berat, misalnya adalah per 5 gram (akar). Untuk sampel tanah, dapat dinyatakan dalam satuan volume, misalnya per 100 ml tanah. Jika hasil ekstraksi nematida didapat dalam jumlah yang kecil, semua nematoda dapat diamati dengan menggunakan mikroskop. Jika perlu, volume airnya dikurangi sebelum diamati dengan cara penyaringan menggunakan saringan 20 mikron atau 35 mikron atau pengetapan dengan menggunakan selang plastic berukuran kecil. Apabila diperoleh nematoda dalam jumlah yang besar, maka suspense nematoda perlu diencerkan terlebih dahulu.

Manfaat dari ekstraksi-isolasi nematoda adalah untuk memisahkan nematoda dari habitatnya yang berupa tanah ataupun jaringan tanaman sehingga selanjutnya dapat dilakukan pengamatan/kajian lebih lanjut seperti identifikasi ataupun penghitungan populasi nematoda pada suatu lahan atau tanaman.

KESIMPULAN

    1. Jumlah nematoda yang diperoleh dari masing masing metode memiliki jumlah rerata yang jauh berbeda. Hal ini dapat disebabkan oleh karena kurangnya ketrampilan sehingga menghasilkan bias data yang sangat tinggi.
    2. Ada beberapa macam metode yang dapat digunakan dalam ekstraksi-isolasi nematoda. Masing-masing metode memiliki kelebihan dan kelemahan. Masing-masing metode.
    3. Pemilihan metode yang akan digunakan untuk ekstraksi isolasi nematoda ditentukan dengan ketersediaan fasilitas, objek nematoda yang ditargetkan, ukuran sampel, jumlah sampel, tipe tanah, dan lain sebagainya.

 

DAFTAR PUSTAKA

Rahmita,Dewi, dkk. 2007. Kerapatan dan Biodiversitas Nematoda Tanah Gambut di Kecamatan Gambut, Kabupaten banjar, Kalimantan Selatan. Jurnal Bioscientiae. 4: 85-86.

Prajnanta, F. 2007. Mengatasi Permasalahan Bertanam Cabai. Depok : Penebar Swadaya

Norman, D.L.. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Swibawa, I. G., I. Amaliah, dan T. N. Aeny. 2000. Pengaruh infestasi nematoda Pratylenchus terhadap pertumbuhan tanaman nenas [Ananas comosus (l.) Merr.]. Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika 1: 25-28.

Tags: , , , , , , ,

Laporan Praktikum Nematologi Pertanian Acara I: Morfologi Nematoda

Posted by miftachurohman on May 06, 2018
Laporan Praktikum, Nematologi Pertanian / No Comments

LAPORAN PRAKTIKUM
NEMATOLOGI PERTANIAN
ACARA I

MORFOLOGI NEMATODA

Disusun oleh:
Miftachurohman
12/334974/PN/12969

LABORATORIUM NEMATOLOGI
DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016

PENDAHULUAN

Dalam melakukan usaha tani, ada beberapa kendala yang dihadapi petani. Salah satu kendala tersebut adalah adanya gangguan dari Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). OPT ini menjadi sangat penting keberadaanya jika keberadaan OPT sudah melampaui ambang batas ekonomi. Salah satu OPT penting di Indonesia adalah nematoda. Akhir-akhir ini nematoda parasit menjadi OPT yang mulai dilirik cukup serius keberadaanya karena banyak menimbulkan kerugian.

Mempelajari morfologi nematoda adalah hal dasar yang harus dipelajari karena dengan mengenali nematoda, maka kita dapat menentukan langkah-langkah selanjutnya. Nematoda tidak hanya bersifat parasite. Ada beberapa jenis nematoda yang keberadanya memberikan dampak positif, karena dapat sebagai entomopatogen dan saprofag. Untuk mengetahui hal tersebut, maka penting sekali kita untuk belajar morfologi nematoda.

Secara umum karena ukuran tubuh nemtoda sangat kecil, para petani sangat sulit membedakan dengn penyakit yang disebabkan oleh virus dan bakteri (Pracaya, 2007).Nematoda termasuk dalam Filum nemata, terdiri atas dua kelas yaitu Secernenta (Phasmidia) dan Adenophorea (Aphasmidia).  Kelas Secernenta terdiri atas tiga subkelas yaitu Rhabditia, Spiruria, dan Diplogasteria. Semua nematoda parasitik tanaman termasuk dalam ordo Thylenchida dan Dorylaimida. Kalasifikasi dari nematoda Meloidogyne spp. adalah Phylum nematoda, klas secernenta, ordo tylenchida, subordo tylenchina, dan famili heteroderidae (Tjahjadi, 2005).

Nematoda pada umumnya berbentuk silindris memanjang, meskipun demikina terdapat pengecualian pada beberapa genera. Bentuknya ada yang seperti buah alpukat atau jeruk, dan ginjal. Panjang tubub nematoda dapat mencapai 1000 mikrometer atau lebih. Lebar tubuh antara 50-250 mikrometer (Mulyadi, 2009).

CARA KERJA

Praktikum Nematologi Pertanian Acara I yang berjudul Morfologi Nematoda dilaksanakan pada kamis, 25 Februari dan 3 Maret 2016 di Laboratorium Nematologi, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Alat yang digunakan dalam pratikum ini adalah mikroskop stereo. Bahan preparat nematoda yang digunakan dalam praktikum ini yaitu jenis nematode parasite tmbuhan, nematode predator, entomopatogen, dan saprogag. Preparat-preparat tersebut antara lain adalah Xiphinema, Criconemoides, Steinernema, Dsprofag, Mononchus, Criconema, Hoplolaimus, Helicotylenchus, Hirsmaniella, Meloidogyne L2, Radhopulus, NSK, Sidik Pantat, Meloidogyne jantan, Meloidogyne betina, Pratylenchus jantan, dan Pratylenchus betina.

Cara kerja dalam praktikum ini adalah preparat awetan nematode diamati dengan menggunakan mikroskop stereo pada perbesaran lemah, yaitu perbesaran 40X atau 100X. Bentuk tubuh nematode digambar keseluruhan secara skematis. Bagian anterior (khususnya bentuk kepala) dan posterior (khususnya bentuk/ujung ekor) nematoda diamati secara seksama. Lensa objektif pada mikroskop diubah ke perbesaran kuat, yaitu 200X hingga 400X. Diamati bentuk stoma, stylet, esofagus, intestinum, organ reproduksi termasuk vulva dan spikula, serta anus dan ekor. Hasil pengamatan tubuh bagian anterior dan posterior di gambar secara skematis dan diberi keterangan bagian-bagian tubuhnematoda. Sistematika masing-maisng spesimen yang diamati di tulis dan diuraikan morfologinya pada laporan.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Xiphinema

Gambar skematik Xiphinema sp.
Sumber: http://entnemdept.ufl.edu/creatures/nematode/dagger_nematode.htm


Xiphinema 
spp. bertubuh panjang, silindris dan bersifat ektoparasitik. Pada beberapa jenis terdapat jenis kelamin jantan, tetapi tidak pada semua jenis. Panjang nematoda dewasa berkisar antara 1,7 sampai 5,5 mm atau lebih. Bagian bibirnya berbentuk setengah bola dan tidak berlekuk dari tubuhnya. Stiletnya terdiri atas dua bagian, yaitu: odontostilet (bagian bersklerotin) dan odontofor( perpanjangan stilet, tidak bersklerotin). Cincin pengarah melingkari stilet di dekat pangkalnya. Panjang stilet berkisar antara 70 sampai 150 µm dan bentuknya menggarpu pada bagian pangkalnya. Perpanjangan stilet mempunyai tiga bingkai pangkal yang besar dan panjangnya berkisar 45-85 µm (Dropkin, 1992).

Esofagusnya panjang, ramping dan silindris, merentang tiba-tiba ke arah posterior menuju ke bulbus silindris. Bulbus tersebut lebarnya sama dengan setengah lebar tubuh pada pangkalnya dan panjangnya dua setengah kali. Kelenjar esofagus berada dalam bulbus. Vulvanya berada pada pertengahan panjang tubuh atau lebih ke arah anterior, umumnya mempunyai dua gonad, satu merentang ke arah anterior dan yang lain ke posterior. Pada beberapa jenis, gonad anterior kurang berkembang atau tidak ada µm (Dropkin, 1992).

Criconemoides

Gambar Criconemoides: A: Kepala; B: bentuk Criconemoides betina ; C: Gambar bagian belakang Criconemoides D: Bagian depan Cricenemoides E: bentuk bagian skeleton kepala F: Bentuk ujung kepala
Sumber: http://insect.naas.go.kr1

Nematoda Criconemoides spp. mempunyai bentuk tubuh pendek, dengan ukuran panjang kurang lebih 0.5mm. Kutikula kasar, bentuknya seperti duri, dengan jumlah berkisar 40 — 160 pada sepanjang tubuhnya. Stilet relatif sangat panjang, dengan bagian anterior kurang lebih 3 kali panjang shaftnya, basal knob konkav ke arah anterior dan seringkali nampak melengkung. Median usofagus sangat besardan menyatu dengan prokarpus, isthmus pendek dan menyempit, basal bulbul mengecil dengan sedikit memgelembung. Vulva dengan kedudukan kurang lebih 90% kea rah posterior dari pajang tubuhnya. Ovarium tunggal, prodelphic. Jantan jarang ditemukan, hanya diketahui ada pada beberapa spesies sala µm (Dropkin, 1992).


Steinernema

Gambar Steinernema carcocapsae
Sumber: http://www.evergreengrowers.com/

Nematoda memiliki sistem syaraf, sistem pencernaan dan sistem reproduksi. Sistem pencernaan terdiri dari stoma, esophagus yang terdiri atas corpus (pro dan metacorpus), isthmus dan basal bulbs. Nematoda ini mempunyai kulit tubuh yang halus, bentuk kepala tumpul, enam bibir masing-masing memiliki paila dan stomata yang dangkal (Prabowo 2012).

Saprofag

Contoh nematode saprofag dari ordo Rhabditida
Sumber: http://plpnemweb.ucdavis.edu/

Nematoda saprophagus (non-parasit) memiliki moroflogi yang hampir sama dengan nematoda parasit. Perbedaan pokok antara keduanya terletak pada bentuk dan susunan alat mulut. Alat mulut pada nematoda non parasit berbentuk seperti corong yang terbuka lebar dan tidak memiliki alat penusuk (stylet) seperti halnya pada nematoda parasit. Nematoda parasit kebanyakan hidup dengan memakan bahan-bahan organik (sebagai nematoda saprofag).

Mononchus

Gambar kepala mononchus
Sumber: http://nematode.unl.edu/

Gambar ekor mononchus
Sumber: http://wp.natsci.colostate.edu/

Nematoda mononchus memiliki ciri ciri morfologi yaitu pada nematode betina, ukuranya sedang, pada daerah bibir memiliki bentuk yang kontinyu dengan bagian tubuh. Busal cavity memiliki ukuran sedang kemudian terus menerus membesar. Gigi pada bagian dorsal berada pada 25-30% dari busal cavity bagian anterior. Nematoda ini memiliki bentuk ekor silindris panjang dan pada nematode jantan tidak (Tahsen and Rajan, 2009).

Criconema

Gambar Criconema murrayi
Sumber: http://plpnemweb.ucdavis.edu/

Bentuk tubuh nematoda Criconema hampir sama dengan Criconemoides, kecuali pada anulasi tubuhnya. Anulasi menyerupai bentuk cincin yang terlihat seperti tersusun melingkar di sepanjang tubuhnya, jumlah antara 45 — 100 anulasi. Bagian kepala datar dan ujung ekornya konoid. Panjang stilet 50 — 122 mikron. Vulva terletak pada bagian posterior. Siklus hidup dan sifat parasitasi nematoda tersebut tidak banyak diketahui µm (Dropkin, 1992).

Hoplolaimus

Gambar Hoplolaimus galeatus
Sumber: http://entnemdept.ufl.edu/

Hoplolaimus memiliki Kepala tinggi, membulat konoid atau lebar membulat. Kedua jenis kelamin aktif. Berbentuk memanjang. Kerangka kepala berkembang baik. Stilet lebar dengan basal knob nampak jelas. Nematoda ini panjangnya sedang (1-2 mm), apabila mati karena perlakuan panas, maka tubuhnya sedikit melengkung pada bagian ventral. Bagian kepalanya tinggi, berlekuk, tumpul dan mengalami sklerotinisasi yang padat. Anula bibir basal terbagi menjadi segiempat kecil-kecil. Stiletnya kuat, panjangnya 40-50 µm, dengan basal knob yang tumbuhnya sempurna dan ujungnya meruncing seperti gigi. Nematoda betina, vulvanya terletak pada bagian tengah, alat genitalnya terdiri atas dua saluran yang terletak berlawanan. Ekornya pedek, tumpul dan membulat. Fasmidnya membesar membentuk skutelle, satu berada diatas anus dan vulva, dan yang lain terletak di depan vulva. Nematoda jantan, ekornya pendek, spikulanya timbul sempurna dan melengkung. Bursanya berkembang mencapai ujung ekor. Skutellanya berada pada posisi yang relatif sama dengan posisi skutelle pada nematode betina µm (Dropkin, 1992).

Helicotylenchus

Gambar nematode Helicotylenchus S: Stilet; V: Vulva
Sumber: http://entnemdept.ufl.edu/

Tubuh nematoda Helicotylenchus pada umumnya seperti spiral sehingga seringkali disebut ‘spiral nematoda”. Daerah bibir tidak “set off’ atau tidak ada lekukan antara bagian kepala dengan tubuhnya. Anulasi pada tubuhnya kasar sampai pada bagian melengkung ekornya.Daerah labial mengalami sklerotisasi yang kuat. Panjang stilet 20 mikron dengan basal knob yang berkembang kuat µm (Dropkin, 1992).

Hirschmanniella

Gambar kepala Hirschmanniella
Sumber: http://www.wageningenur.nl

Gambar ekor Hirschmanniella
Sumber: http://plpnemweb.ucdavis.edu/

Hirschmanniella dewasa memiliki ukuran tubuh berkisar antara 0,9-4,2 mm. Kerangka pekala berkembang dengan baik dan berbentuk merata kea rah anterior. Stylet nematode ini lumayan pendek dengan ukuran tiga sampai lima kali panjang diameter tubuh. Ada bagian yang tumpeng tindih pada ventral yaitu dari kerongkongan ke usus. Hirschmanniella betina memiliki ovarium yang terletak pada bagian posterior, panjangnya sekitar tiga sampai lima kali lebar tubuh, berbentuk lonjong, dan berakhir di bagian mucron. Nematoda jantan tidak ditemukan caudal alae yang berkembang di ekor. Selain itu juga tidak ditemukan dimorfisme pada bagian anterior tubuh (Maung et al, 2010).

Meloidogyne L2

Gambar tubuh Meloidogyne L2
Sumber: http://nematode.unl.edu/

Meloidogyne spp. melakukan siklus hidupnya mulai dari telur hingga masa dewasa. Meloidogyne spp. dimulai dari fase telur, fase telur ini mengalami pergantian kulit jadi juvenile I. Setelah itu, lelur menetas, ganti kulit kedua jadi memasuki fase juvenile II. Kemudian bekembang anti kulit ketiga lagi masuk ke fase juvenile III, tumbuh masuk fase juvenile IV setelah ganti kulit keempat. Dari fase juvenile IV memasuki fase dewasa jantan dan betina. Meloidogyne spp. jantan dan betina dewasa kemudian membengkak tubuhnya sehingga aktivitas geraknya terbatasi, betina akan mengandung teluryang jumlanya banyak,ukran tubuh betina akan tetap membengkak terus, tetapi jantan dewasa akan kembali ke ukuran ramping semula lagi (Thorne, 1961).

Larva pada stadium kedua muncul pada suhu dan kelembapan yang sesuai serta bergerak di dalam tanah menuju ke ujung akar yang sedang tumbuh. Mereka menerobos masuk, biasanya di daerah akar yang sedang memanjang, merusak selsel dengan mematukkan stiletnya berulang-ulang. Setelah masuk ke dalam akar, larva bergerak di antara sel-sel sampai tiba di dekat silinder pusat, sering kali berada di daerah pertumbuhan akar samping. Di tempat tersebut larva menetap dan menyebabkan pertumbuhan sel-sel yang akan menjadi makanannya (Thorne, 1961).

Radopholus

Gambar A: Nematoda Radopholus betina; B: Nematoda Radopholus jantan
Sumber: http://entnemdept.ufl.edu/

Radopholus betina memiliki kerangka erangka kepala mengeras dan nampak jelas. Kedua jenis kelamin aktif, tubuhnya memanjang. Kepada pada dua jenis kelamin rendah, lebar dan membulat atau bagian anterior mendatar, (kecuali pada Radopholus), lebar kira-kira setengah sampai tiga perlima panjang stilet. Stilet kekar dengan basal knob besar. Tiga kelenjar esofagus pada lobus bertindihan dengan usus. mempunyai satu atau dua ovarium. Panjang ekor betina dua kali atau lebih lebar dari bagian anus. Panjang nematoda jantan rata-rata 0,58 mm dan mengalami degenerasi, esofagus dan styletnya tidak berkembang sempurna.

Kepala nematoda jantan berbentuk membulat dan berlekuk yang sangat berbeda dengan betina. Mempunyai testis tunggal dan bursa meluas sampai dua per tiga ekor. Panjang spikula 18-22 μm berbentuk slindris dan melengkung. Ekor memanjang berbentuk krucut dan melengkung ke arah ventral dan pembungkus bursa antara 2-3 atau lebih. Jantan : Panjang nematoda jantan rata-rata 0,58 mm dan mengalami degenerasi, esofagus dan styletnya tidak berkembang sempurna. Kepala nematoda jantan berbentuk membulat dan berlekuk yang sangat berbeda dengan betina. Mempunyai testis tunggal dan bursa meluas sampai dua per tiga ekor. Panjang spikula 18-22 μm berbentuk slindris dan melengkung. Ekor memanjang berbentuk krucut dan melengkung ke arah ventral dan pembungkus bursa antara 2-3 atau lebih (Dropkin,1992).

NSK

Gambar: Nematoda sista kentang
Sumber: http://www.clfs.umd.edu/

Betina muda yang sudah matang tubuhnya membengkak (swollen), berukuran 500-800 µm. Tubuh nematoda betina dewasa berwarna kuning keemasan sehingga sering pula diberi nama nematoda sista kuning/emas (golden nematode), bentuk tubuh bulat, bagian posterior tidak menonjol. Nematoda jantan berbentuk cacing dengan ukuran 1200 µm. Nematoda betina dewasa dan jantan dewasa ditemukan mulai hari ke-40 setelah tanaman bertunas. Sista G. rostochiensis memiliki fenestra tunggal bulat. Pada penelitian diamati adanya sista besar dan kecil. Sista besar memiliki panjang 754,55±8,26 µm dan lebar 698,55±33,96 µm, sedangkan sista kecil berukuran panjang 608,25±35,24 µm dan lebar 469,42±13,78 µm. Jumlah telur dalam sista berkisar antara 300 sampai 600 telur tergantung ukuran sista. Telur dalam sista berukuran panjang 106,28±5,69 µm dan lebar 48,68±2,69 µm. Sista ditemukan mulai hari ke-56 setelah tanaman bertunas ( Asyiah, 2009 dan Rahayu dkk, 2003).

Sidik Pantat

Gambar Sidik Pnatat Meloidogyne javanica
Sumber: http://plpnemweb.ucdavis.edu/

Meloidogyne spp ini dapat dibedakan dengan melihat sidik pantat dari nematode tersebut. Dengan melihat sidik pantat ini dapat dibedakan spesiesnya. Dari mengamati sidik pantat tersebut kita dapat mengetahui apa spesies dari nematode tersebut. Dari genus Meloidogyne spp ini terdapat empat spesies, diantaranya Meloidogyne incognita, M. arenaria, M. javanica, M. hapla. Dari beberapa jenis nematode itu mempunyai sidik pantat yang berbeda – beda. Sidik pantat dibagi dalam dua bagian, yaitu bagian dorsal dan bagian lateral. Pada sidik pantat bagian dorsal diantaranya garis lateral, lengkung dorsal, plasmid, sedangkan bagian ventral terdapat lubang vulva, lubang anus, dan striae (Hadisoeganda, 2006).

Sidik pantat Meloidogyne incognita mempunyai cirri utama lengkung dorsal yang persegi (bersudut 900). Pada sidik pantat Meloidogyne arenaria mempunyai ciri utama pertemuan lengkung dorsal dan ventral membentuk seperti bahu dengan tonjolan kutikula dan becabang seperti garpu. Pada sidik pantat Meloidogyne javanica mempunyai ciri utama terdapat garis lateral yang memisahkan lengkung dorsal dan lengkung ventral. Pada sidik pantat Meloidogyne hapla mempunyai ciri khusus terdapat tonjolan – tonjolan seperti duri pada zona ujung ekor (Hadisoeganda, 2006).

Meloidogyne jantan

Gambar Meloidogyne jantan
Sumber: http://www.apsnet.org/

Meloidogyne jantan dewasa berbentuk memanjang bergerak lambat di dalam tanah. Panjangnya bervariasi maksimum 2 mm, sedangkan perbandingan antara panjang tubuh dan lebarnya mendekati 45. Kepalanya tidak berlekuk, panjang stiletnya hampir dua kali panjang stilet betina. Bagian posterior berputar 180ºmemiliki 1-2 testis (Dropkin, 1992).

Meloidogyne betina

Sumber: http://www.ediblearoids.org/

Gambar skematis nematode Meloidogyne betina
Sumber: http://www.ediblearoids.org/

Meloidogyne betina  betina berwarna transparan, berbentuk seperti botol bersifat endoparasit yang tidak terpisah (sedentary). Panjangnya lebih dari 0,5 mm dan lebarnya antara 0,3 – 0,4 mm. Stiletnya lemah, panjang stliet 12-15 μm, melengkung kearah dorsal. Memiliki pangkal knop yang jelas. Nematoda betina dewasa mempunyai leher pendek dan tanpa ekor. Memiliki pola yang jelas pada situasi yang terdapat di sekitar vulva dan anus disebut pola perineal yang dapat dipergunakan untuk identifikasi jenis (Dropkin, 1992).

Pratylenchus

Gambar nematode pratylenchus jantan dan betina
Sumber: http://plpnemweb.ucdavis.edu/

Nematoda luka akar (Pratylenchus sp.) merupakan nematoda yang berukuran sangat kecil di antara nematoda parasit tumbuhan lain. Ukuran panjang dan lebar tubuhnya adalah yang terkecil setelah Paratylenchus sp. Lebar tubuh nematoda ini antara 40 μm hingga 160 μm, dengan panjang tubuh antara 0,4-0,7 mm, sedangkan diameter tubuh 20 -25 μm(Whitehead, 1998). Pada beberapa jenis kedua kelamin terpisah, tetapi beberapa jenis yang lain jenis kelamin jantan tidak terdapat. Bentuk nematoda ini pada umumnya memanjang, bagian ujung anterior kepala mendatar, dengan kerangka kepala yang kuat, mempunyai stilet pendek dan kuat, panjangnya 14-20 μm dengan basal knop yang jelas. Kelenjar esofagusnya tumpang tindih dengan usus pada bagian ventral. Muara lubang ekskresi berada di dekat daerah pertemuan esofagus dan usus. Vulva terdapat di daerah posterior. Betina mempunyai gonad tunggal dan mempunyai kantong pasca vulva yang pendek. Anulasinya halus dan mempunyai empat garis lateral, tetapi ada juga jenis yang mempunyai hingga delapan. Ekornya lebar, ujungnya membulat dan runcing, panjang 3,5-9% dari panjang tubuh. Nematoda jantan biasanya lebih kecil daripada yang betina (Dropkin, 1996). 

Nematoda ini mempunyai lebar tubuh antara 40 μm hingga 160 μm (Whitehead, 1998), dengan panjang tubuh antara 0,4-0,7 mm, sedangkan diameter tubuh 20 -25 μm. Bentuk nematoda ini pada umumnya memanjang, bagian ujung anterior kepala mendatar, dengan kerangka kepala yang kuat, mempunyai stilet pendek dan kuat, panjangnya 14-20 μm dengan basal knop yang jelas (Dropkin 1992).

KESIMPUALAN

  1. Kelompok nematoda parasite tumbuhan adalah antara lain Xiphinema, Criconema, Criconemoides, Hoplolaimus, Helicotylenchus, Hirsmanniella, Meloidogyne, Radopholus, NSK, dan Pratylenchus
  2. Kelompok nematoda predator adalah mononchus
  3. Contoh nematoda entomopatogen adalah Steinernema.

DAFTAR PUSTAKA

Asyiah, I.N. 2009. Siklus Hidup dan Morfologi Nematoda Sista Kentang (Globodera rostochiensis) Jurnal Unsyiah 1:40-42

Dropkin, V.H. 1992. Pengantar Nematologi Tumbuhan. Gadjah Mada University press, Yogyakarta.

Hadisoeganda, W. 2006. Nematoda Sista Kentang: Kerugian, Deteksi, Biogeografi, dan Pengendalian Nematoda Terpadu. Balai Penelitian Tanaman Sauran, Bandung.

Maung, Z.T.Z., Kyi, P.P., Myint, Y.Y., Lwin, T., and de Waele, D. 2010. Occurrence of the rice root nematode Hirschmanniella oryzae on monsoon rice in Myanmar. Tropical Plant Pathology 35: 3–10.

Mulyadi. 2009. Nematologi Pertanian. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Prabowo H. 2012. Pemanfaatan Nematoda Patogen Steinerenema spp Isolat Malang dan Nusa Tenggara Barat dalam Pengendalian Spodoptera litura L. yang Ramah Lingkungan. Jurnal Bumi Lestari 12: 350-356

Pracaya, 2007. Hama dan Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya, Jakarta.

Rahayu, B., B. Triman., dan S. Indarti. 2003. Identifikasi nematoda sista kuning (Globodera Rostochiensis) pada kentang di Batu, Jawa Timur. Jurnal Perlindungan Tanmaan Indonesia 9: 46-53

Tahsen, Q and P. Rajan. 2009. Description of Mononchus intermedius. Nematol. Medit 37:161-167

Thorne, G. 1961. Principles of Nematology. McGraw-Hill. New York.

Tjahjadi, N., 2005. Hama dan Penyakit Tanaman. Kanisius, Palembang.

Whitehead, A. G. 1998. Plant Nematode Control. CAB International. Cambridge University Press. UK

 

Tags: , , , , ,

Laporan Praktikum Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan Acara 1: PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN TERHADAP LAJU FOTOSINTESIS

Posted by miftachurohman on March 24, 2018
Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan, Laporan Praktikum / No Comments
Laporan Praktikum Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan
Acara 1
PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN TERHADAP LAJU FOTOSINTESIS

Disusun oleh:
Miftachurohman
12969
Golongan: A3
Asisten Koreksi : DindaDewanti

Laboratorium Ilmu Tanaman
Jurusan Budidaya Tanaman
Fakultas Pertanian
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
2014
ACARA 2
PENGARUH SUHU TERHADAP LAJU RESPIRASI AEROB
Pendahuluan

Suhu merupakan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi laju metabolisme, fotosintesis, transpirasi, dan respirasi tumbuhan. Suhu tinggi dapat merusak enzim sehingga metabolisme tidak berjalan baik. Suhu rendah pun menyebabkan enzim tidak aktif dan metabolisme terhenti. Respirasi tumbuhan merupakan salah satu kegiatan tumbuhan yang dapat dipengaruhi oleh suhu.

Respirasi memerankan peran yang sangat besar dalam seluruh proses metabolisme tanaman dan itu selalu menjadi ukuran utama dalam proses metabolik(Devanesan et al.,2012). Proses respirasi merupakan proses katabolisme, yaitu proses pembongkaran senyawa organik kompleks menjadi sederhana. dalam proses respirasi aerob ini dihasilkan senyawa berupa karbondioksida, air, dan energi.

Suhu yang optimum untuk proses metabolisme tumbuhan dapat diketahui dari laju respirasi aerob yang di lakukan oleh tumbuhan. respirasi aerob merupakan proses respirasi yang menggunakan oksigen. Dengan dilakukan titrasi menggunakan HCL, maka dapat dihitung jumlah CO2 yang terikat oleh NaOH.

Metodologi

Praktikum Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan yang berjudul Pengaruh Suhu Terhadap Laju Respirasi Aerob dilaksanakan pada hari Rabu, 19 Maret 2014 di Laboratorium Ilmu Tanaman, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah 8 botol volume 250 ml dengan tutup karet, 4 termometer, erlenmeyer 125 ml, buret, dan lemari es. Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah larutan NaOH 0,2 N, Larutan BaCl2, Larutan HCL 0,1 N, Larutan indikator phenolptalein, kecambah kacang hijau, dan kain kelambu serta tali. Rancangan disusun dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap(RAL) dengan dua ulangan untuk masing-masing perlakuan suhu. pengulangan titrasi digunakan sebagai ulangan. kemudian dilakukan analisis data untuk melihat apakah ada perbedaan laju transpirasi pada masing-masing perlakuan suhu. hubungan antara laju respirasi aerob suhu ditampilkan dalam bentuj kurva regresi.

Hasil dan Pembahasan

Respirasi adalah proses metabolik yang menyediakan energi untuk proses biokimia di dalam tubuh tumbuhan. proses metabolik ini melibatkan beberapa komponen organik seperti gula, asam organik, asam amino, dan asam lemak dimana akan dihasilkan energi, dan juga pelepasan panas(Barbosa et al., 2011). Suhu merupakan faktor yang dapat mempengaruhi laju respirasi pada tumbuhan. Respirasi aerob merupakan respirasi yang menggunakan oksigen.

Dalam praktikum ini, akan dilakukan pengamatan tentang pengaruh suhu terhadap respirasi aerob pada kecambah kacang hijau. Suhu yang digunakan dalam praktikum ini adalah suhu 5ºC, 15 ºC, Suhu laboratorium(29 ºC), Suhu rumah kaca(30 ºC). Percobaan dilakukan selama 18 jam. Setelah 18 jam, didapat hasil laju respirasi kecambah sebagai berikut:

Tabel 1 Pengaruh Suhu Terhadap Laju Respirasi

Suhu (ºC)

Laju respirasi (ml/CO2/Jam/gr)

5

0,464

15

0,641

29

0,812

30

0,708

Dari grafik diatas dapat diketahui, jika temperatur semakin tinggi, maka laju respirasi akan semakin naik. laju respirasi tertinggi yaitu pada suhu 29 ºC. ketika pada suhu 30 ºC, laju respirasi menjadi turun. Hal ini menunjukkan bahwa pada suhu 29 ºC, laju respirasi kecambah encapai tingkat maksimum, kemudian laju respirasi akan menurun ketika suhu semakin naik.

Grafik 1 Hubungan Suhu VS Laju Respirasi Kecambah Kacang Hijau

Dari grafik regresi diatas, maka dapat diketahui bahwa  nilai regresi adalah 0,862. Nilai ini mendekati satu. Hal ini menunjukkan bahwa jika suhu naik, laju respirasi juga akan naik. Maka ada perbandingan lurus antara suhu dan laju respirasi. Hal ini menunjukkan suhu berbanding lurus dengan laju respirasi.

Jika suhu semakin naik, maka laju respirasi juga akan semakin naik. hal ini menyebabkan jumlah CO2 yang dikeluarkan oleh kecambah menjadi tambah banyak. akibatnya, NaOH yang berfungsi untuk menangkap CO2, konsentrasinya akan semakin sedikit. ketika ditritasi dengan menggunakan HCL, maka akan semakin sedikit HCL yang digunakan untuk titrasi. Hal ini juga berlaku sebaliknya, jika CO2 yang dikeluarkan sedikit, maka konsentrasi NaOH yang tersisa akan masih banyak. akibatnya, volume HCL yang digunakan untuk titrasi juga akan semakin banyak.

Kesimpulan

Tumbuhan mempunyai suhu optimum untuk melakukan respirasi. semakin tinggi suhu, maka laju respirasi akan semakin naik dan mencapai puncak pada titik optimum. ketika suhu mencapai titik maksimum untuk melakukan respirasi, maka respirasi akan melambat. Begitu juga ketika pada suhu rendah, laju respirasi yang terjadi juga akan lambat

Saran

Suhu merupakan faktor sensitif bagi tumbuhan untuk melakukan respirasi. Pada rumah kaca, suhu yang ada biasanya tidak konstan. ketika suasana cerah, maka suhu akan meningkat, sedangkan pada saat hujan, suhu akan turun. hal ini berpengaruh terhadap laju respirasi pada kecambah. sebaiknya suhu pada rumah kaca dijaga agar tetap konstan agar dapat memperoleh data yang baik.

Daftar Pustaka

Devanesan, J.N., A. Karuppiah, and C.V.K. Abirami. 2012. Effect of storage temperature, O2 concentrations and variety on respiration of mangoes. Journal of Agrobiology 28: 119-128.

Basarbosa, L.D.N., B.A.M. Caroiofi, C.E. Dannenhauer, and A.R. Monteiro. 2011. Influence of temperature on the respiration rate of minimally processed organic carrots (Daucus Carota L. cv. Brasilia). Ciencia e Tecnologia de Alimentos 31:78-85.

Tags: , , ,