Laporan praktikum

LAPORAN PRAKTIKUM PATOGEN TUMBUHAN: ANALISIS VIRUS RGSV DAN R DENGAN MENGGUNAKAN PCR

Posted by miftachurohman on January 23, 2018
Laporan Praktikum, Patogen Tumbuhan / No Comments
LAPORAN PRAKTIKUM PATOGEN TUMBUHAN
ANALISIS VIRUS RGSV DAN R DENGAN MENGGUNAKAN PCR

Oleh:
Miftachurohman
12/334974/PN/12969

Asisten:
Destania Putri
Erwin Najamuddin
Niken R Paramita
Rusmi S. W.

LABORATORIUM PENYAKIT TERPADU
JURUSAN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014
TUJUAN

Mengetahui teknik analisis molekuler dengan menggunakan PCR

TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit tungro adalah salah satu penyakit penting yang menyebabkan kehilangan hasil pada tanaman padi  di  beberapa  negara  Asia  Tenggara,  termasuk Indonesia.  Penyakit ini disebabkan oleh dua jenis  virus  tungro,  yaitu  rice  ragged  stunt  virus (RRSV) dan  rice grassy stunt virus  (RGSV). Kedua virus tersebut ditularkan oleh wereng colat, Nilaparvata lugens(Chettanachi et al. 1987).

Kesulitan yang dihadapi di dalam mengidentifikasi  RGSV dengan hanya berdasarkan pada gejala  luar  tanaman  sakit  adalah  sukarnya  mem bedakan gejala yang disebabkan oleh RRSV  dengan dengan gejala yang disebabkan oleh virus lain pada tanaman padi(Frischmuth, 2002). Untuk mengatasi kesulitan  tersebut berbagai pendekatan telah dikembangkan, misalnya  implementasi bioteknologi berbasis biologi  molekuler  seperti  teknik  hibridisasi  asam  nuk leat  dengan  menggunakan  metode  perpanjangan rantai polimerasi (polymerase chain reaction, PCR) (Raga dkk2004).

Aplikasi PCR sangat membantu dalam pengelolaan  penyakit  tungro  karena  dapat  digunakan untuk: diagnosis penyakit tungro, deteksi dini infeksi virus tungro dan  keberadaan vektor yang infektif,  identifikasi  dan  karakterisasi  strain  virus,  deteksi  munculnya  strain  virus  tungro  yang  baru, karakterisasi ketahanan varietas terhadap virus   tungro, dan perakitan varietas tahan penyakit tungro me lalui  upaya  pemuliaan  konvensional  dan  rekayasa genetik,  seperti  tanaman  transgenik  tahan  tungro (Praptana dan Yasin 2008).

Reaksi berantai polymerase (Polymerase Chain Reaction, PCR) adalah suatu metode enzimatis untuk amplifikasi DNA dengan cara in vitro.  PCR ini pertama kali dikembangkan  pada  tahun  1985  oleh  Kary  B.  Mullis.  Amplifikas  DNA  pada  PCR dapat  dicapai  bila  menggunakan  primer  oligonukleotida  yang  disebut  amplimers. Primer  DNA  suatu  sekuens  oligonukleotida  pendek  yang  berfungsi  mengawali sintesis  rantai  DNA.  PCR  memungkinkan  dilakukannya  pelipatgandaan  suatu  fragmen   DNA.  Umumnya  primer  yang  digunakan  pada  PCR  terdiri  dari  20 -30 nukleotida. DNA template (cetakan) yaitu fragmen DNA yang akan dilipatgandakan dan  berasal  dari  patogen  yang  terdapat  dalam  spesimen  klinik.  Enzim  DNA polimerase  merupakan  enzim  termostabil  Taq  dari  bakteri  termofilik  Thermus aquaticus.  Deoksiribonukleotida  trifosfat  (dNTP)  menempel  pada  ujung  3’  primer ketika proses pemanjangan dan ion magnesium menstimulasi aktivasi polymerase(Yusuf, 2010)

(Polymerase  Chain  Reaction,  PCR)  adalah  suatu  metode  enzimatis  untuk amplifikasi  DNA  dengan  cara  in  vitro.  Pada  proses  PCR  diperlukan   beberapa komponen utama, yaitu  DNA cetakan,    Oligonukleotida primer,  Deoksiribonukelotida trifosfat  (dNTP),  Enzim  DNA  Polimerase,  dan  Komponen  pendukung  lain  adalah senyawa  buffer.  Pada  proses  PCR  menggunakan  menggunakan  alat  termosiklus. Sebuah  mesin  yang  memiliki  kemampuan  untuk  memanaskan  sekaligus mendinginkan  tabung  reaksi  dan  mengatur  temperatur  untuk  tiap  tahapan  reaksi. Ada  tiga  tahapan  penting  dalam  proses  PCR  yang  selalu  terulang  dalam  30-40 siklus  dan  berlangsung  dengn  cepat  yaitu  denaturasi,  anneling,  dan  pemanjangan untai  DNA.  Produk  PCR  dapat  diidentifikasi  melalui  ukurannya  dengan menggunakan elektroforesis gel agarosa. Teknik PCR dapat dimodifikasi ke dalam beberapa jenis diantaranya : PCR-  RFLP, PCR –  RAPD, nested-  PCR,QuantitativePCR, RT- PCR dan inverse – PCR. Keunggulan PCR dikatakan sangat tinggi. Hal ini didasarkan atas spesifitas, efisiensi dan keakuratannya(Yuwono dan Tribowo, 2006).

METODE PRAKTIKUM

Praktikum Patogen Tumbuhan Acara 5 dengan judul  Deteksi Molekular RNA Virus pada Vektor dilaksanakan pada hari Jumat sebanyak dua kali pengamatan yaitu pada tanggal, 14 dan 21 November 2014 di laboratorium integrated of plant diseases , Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Alat yang digunakan dalam praktikum ini diantaranya, tube 1.5 ml, tube micropastle, tube filtercolumn, vortex, mesin sentrifugasi, micro pipet, sarung tangan, PCR, mesin elektroforesis, uv transluminator. Adapun bahan yang digunakan adalah wereng coklat, RB buffer, merkapto etanol, etanol, buffer W1, wash buffer, RNAse free water, kapataq extra hot start, kapatq buffer, MgCl2, dNTP, primer (F), Primer (R), taq polymerase, air, CDNA, gel agarose 1.5%, air 3.5 mikroliter, 5x reaction buffer 2 mikroliter, ribolock 0.5 mikroliter, 10 mM dNTP mix 1 mikroliter, rever aid 0.5 mikroliter, oligo primer 0.5 mikroliter, RNA template 2 mikroliter.

Praktikum dilakukan dalam empat tahap, yaitu ekstraksi wereng (RNA virus), RT PCR, PCR dan elektroforesis. Pada tahap ekstraksi wereng (RNA virus) dilakukan empat tahap inti, yaitu: 1) Lisis sel yang terdiri dari penggerusan 3 ekor wereng sebanyak 25 gr menggunakan 400 mikroliter RB buffer dan 4/8 mikroliter beta-mercaptoetanol di dalam tube 1.5 mikroliter menggunakan mikropastle lalu divortek. Hasil vortek diinkubasi pada suhu ruang selama 3 menit. Lalu supernatan dipindahkan ke filter column sebanyak 200-250 mikroliter. Kemudian disentrifuge 1000g selama 30 detik. Setelah itu supernatan dipindah hati-hati kedalam tube 1.5ml (jangan sampai ada endapan yang terikut). 2)Presipitasi sel yang terdiri dari  hasil dari tahap lisis sel dengan 400 mikroliter etanol 70% steril divortek untuk dihomogenkan. Hasilnya dipindahkan ke RB column kemudian di sentrifuge 9690g selama 2 menit. Supernatan dibuang. 3) Pencucian adalah tahap untuk menghilangkan sisa etanol, DNA dan protein yang terdiri dari 400 mikroliter buffer W1 disentifuge 9690 selama 1 menit. Supernatan dibuang ditambah 600 mikroliter wash buffer yang disentrifuge 9690g selama 1 menit. Tahap ini dilakukan sebanyak 2 kali. Kemudian supernatan dibuang lalu di dry sentrifuge 9690g selama 5 menit. 4) RNA Elution yang terdiri dari RB column dipindahkan ke tube 1.5 ml ditambah 30 mikroliter RNAse freewater. Kemudian didiamkan selama 2 menit lalu disentrifuge 9690 selama 2 menit. Lalu didapatkanlah tube dengan RNA total wereng. Setelah tahap ekstraksi wereng masuk ke tahap RT PCR yaitu tahap reverse transkiptase dari RNA menjadi DNA. Kemudian dilakukanlah PCR.

Siklus PCR terdiri dari denaturasi awal pada suhu 94oC selama 3 menit. Pada saat ini, molekul DNA cetakan mengalami denaturasi sehingga kedua untaiannya terpisah. Pemisahan untaian ini diperlukan agar primer dapat menempel. Setelah beberapa menit pada suhu denaturasi, suhu alat diturunkan sehingga mencapai suhu yang sesuai untuk penempelan primer pada DNA cetakan. Suhu yang digunakan pada siklus ini adalah 53oC. Proses penempelan primer memerlukan waktu 1 menit, selanjutnya suhu alat dinaikkan ke suhu yang optimum yaitu 72oC untuk aktivitas polimerisasi DNA. Pada suhu inilah terjadi proses polimerisasi (sintesis) DNA baru dengan adanya aktivitas DNA polimerase, dNTP, primer dan DNA cetakan. Proses ini berlangsung selama 2 menit. Setelah proses polimerisasi, kemudian dilakukan lagi siklus seperti semula, yaitu dengan menaikkan suhu menjadi 94oC (denaturasi), kemudian diturunkan menjadi 53oC (penempelan primer), dan kemudian dinaikkan lagi menjadi 72oC (polimerisasi). Siklus perubahan suhu ini dilakukan berulang-ulang sekitar 30-40 kali. Hasil PCR kemudian dianalisis menggunakan elektroforesis gel agarose.

HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL

Keterangan

M         : Marker (100 Bp)

SHR     : wereng sehat dengan primer RRSV

SHG     : Wereng Sehat dengen Primer RGSV

SKR     : Wereng sakit dengan primer RRSV

SKG     : Wereng sakit dengan Market RGSV

PEMBAHASAN

PCR adalah singkatan dari Polymerase Chain Reaction. Teknik ini merupakan teknik perbanyakan DNA secara in vitro. Teknik ini memungkinkan adanya amplifikasi antara dua region DNA yang diketahui, hanya di dalam tabung reaksi, tanpa perlu memasukkannya ke dalam sel (in vivo). Dalam sistem kerjanya, PCR dilandasi oleh struktur DNA. Dalam keadaan nativenya, DNA merupakan double helix, yang terdiri dari dua buah pita yangberpasangan antiparalel antara satu dengan yang lain dan berikatan dengan ikatan hidrogen. Ikatanhidrogen terbentuk antara basa-basa yang komplementer, yaitu antara basa Adenin (A) dengan Thymine (T), dan Guanine (G) dengan Cytosin (C). Basa-basa itu terikat dengan molekul gula, deoksiribosa, dan setiap satu molekul gula berikatan dengan molekul gula melalui ikatan fosfat.

Terdapat tiga tahap utama di dalam setiap siklusnya, yaitu :

  1. Denaturasi: Selama  proses  denaturasi, double strandedDNA akan membuka menjadi  single strandedDNA. Hal ini disebabkan karenasuhu denaturasi yang tinggi menyebabkan putusnya ikatan hidrogen diantara basa-basa yang komplemen. Pada tahap ini, seluruh reaksi enzim tidak berjalan, misalnya reaksi polimerisasi pada siklus yang sebelumnya.
  1. Annealing: Primer akan menuju daerah yang spesifik, dimana daerah tersebut memiliki komplemen dengan primernya. Pada proses annealing ini, ikatan hidrogen akan terbentuk. Selanjutnya, DNA polymerase akanberikatan sehingga ikatan hidrogen tersebut akan menjadi sangat kuat dan tidak akan putus kembali apabila dilakukan reaksi polimerisasi selanjutnya, misalnya pada 72oC.
  1. Reaksi polimerisasi (extension): Umumnya, reaksi polimerisasi atau perpanjangan rantai ini, terjadi pada suhu 72oC. Primer yang telah menempel tadi akan mengalami perpanjangan dengan dNTP yang komplemen pada sisi 3’nya.

Komponen – komponen dalam reaction mixture PCR yaitu H2O steril, fungsinya sebagai pelarut campuran. Bufer berfungsi untuk mengkondisikan reaksi agar berjalan optimum dan menstabilkan enzim DNA polymerase. Bufer biasanya terdiri atas bahan-bahan kimia. Komponen lainnya yaitu dNTP (deoxynucleoside triphosphate) sebagai pembentuk basa komplementer dan penyusun DNA, terdiri atas 4 macam sesuai dengan basa penyusun DNA, yaitu dATP, dCTP, dGTP dan dTTP. Primer berfungsi untuk menginisiasi sintesis DNA pada sekuens target yang spesifik dan membatasi reaksi polimerisasi DNA. Primer terdiri dari dua macam, yaitu primer forward dan primer reverse. Primer forward untuk menginisiasi sintesis untai DNA dari ujung 5’ ke ujung 3’, sedangkan primer reverse menginisiasi sintesis DNA dari ujung 3’ ke ujung 5’. Kation divalen terdiri dari ion logam bivalen (umumnya Mg2+) dan ion logam monovalen (K+), berfungsi sebagai kofaktor bagi enzim DNA polymerase. Tanpa ion-ion tersebut enzim DNA polymerase tidak dapat bekerja. DNA template adalah DNA yang memiliki sekuens target untuk penempelan primer, berfungsi sebagai cetakan DNA yang akan diamplifikasi. Komponen yang terakhir yaitu enzim DNA polymerase berfungsi untuk membaca kode DNA serta menghubungkan pasangan nukleotida dalam menghasilkan salinan DNA.

Untuk mendapatkan hasil PCR yang optimal perlu dilakukan optimasi proses PCR. Secara umum optimasi proses PCR dapat dilakukan dengan cara memvariasikan kondisi yang digunakan pada proses PCR tersebut. Optimasi kondisi berkaitan erat dengan faktor-faktor seperti jenis polimerase DNA; suhu; konsentrasi, dalam hal ini berkaitan dengan dNTPs, MgCl2 dan DNA polimerase; buffer PCR dan waktu.

  1. Jenis polimerase DNA: Kemampuan mengkatalisis reaksi polimerasi DNA pada proses PCR yang terjadi pada tahap ekstensi untuk DNA rantai panjang akan berbeda dengan untuk DNA rantai pendek. Penggunaan jenis DNA polimerase tergantung pada panjang DNA target yang akan diamplifikasi. Untuk panjang fragmen DNA lebih besar dari tiga kilobasa akan memerlukan jenis polimerase dengan aktivitas tinggi.
  1. Konsentrasi dNTPs, MgCl2, polimerase DNA: Konsentrasi optimal dNTPs ditentukan oleh panjang target DNA yang diamplifikasi. Untuk panjang target DNA kurang dari satu kilobasa biasanya digunakan konsentrasi dNTPs sebanyak 100 uM, sedangkan untuk panjang target DNA lebih besar dari satu kilobasa diperlukan konsentrasi dNTPs sebanyak 200 uM. Umumnya konsentrasi optimal MgCl2 berkisar antara 1,0 – 1,5 mM. Konsentrasi MgCl2 yang terlalu rendah akan menurunkan perolehan PCR. Sedangkan konsentrasi yang terlalu tinggi akan menyebabkan akumulasi produk non target yang disebabkan oleh terjadinya mispriming. Jumlah polimerase DNA yang digunakan tergantung pada panjang fragmen DNA yang akan diamplifikasi. Untuk panjang fragmen DNA kurang dari dua kilobasa diperlukan 1,25 – 2 unit per 50 uL campuran reaksi, sedangkan untuk panjang fragmen DNA lebih besar dari dua kilobasa diperlukan 3 – unit per 50 uL campuran reaksi.
  1. Suhu: Pemilihan suhu pada proses PCR sangat penting karena suhu merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan suatu PCR. Dalam hal ini suhu berkaitan dengan proses denaturasi DNA templat, annealingdan ekstensi primer. Suhu denaturasi DNA templat berkisar antara 93 – 95 o C, ini semua tergantung pada panjang DNA templat yang digunakan dan juga pada panjang fragmen DNA target. Suhu denaturasi yang terlalu tinggi akan menurunkan aktivitas polimerase DNA yang akan berdampak pada efisiensi PCR. Selain itu juga dapat merusak DNA templat, sedangkan suhu yang terlalu rendah dapat menyebabkan proses denaturasi DNA templat tidak sempurna. Pada umumnya suhu denaturasi yang digunakan adalah 94 o Secara umum suhu annealingyang digunakan berkisar antara 37 – 60 o Pemilihan suhu annealingberkaitan dengan Tm primer yang digunakan untuk proses PCR. Suhu annealingyang digunakan dapat dihitung berdasarkan (Tm – 5) o C sampai dengan (Tm + 5)o C. Dalam menentukan suhu annealingyang digunakan perlu diperhatikan adanya mispriming pada daerah target dan nontarget, dan keberhasilan suatu proses PCR akan ditentukan oleh eksperimen. Proses ekstensi primer pada proses PCR selalu dilakukan pada suhu 72 O C karena suhu tersebut merupakan suhu optimum polimerase DNA yang biasa digunakan untuk proses PCR.
  1. Buffer PCR: Buffer PCR yang digunakan berkaitan dengan pH dan kapasitas buffer nya. Dalam perdagangan ada dua jenis buffer PCR yaitu “Low-salt buffer” (pH 8,75 dan kapasitas buffer rendah) dan “High-salt buffer” (pH 9,2 dan kapasitas buffer tinggi). Umumnya buffer PCR tersedia sesuai dengan jenis polimerase DNA nya. Penggunaan jenis buffer ini tergantung pada DNA target yang akan diamplifikasi. Untuk panjang DNA target antara 0 – 5 kilobasa biasanya diperlukan “low-salt buffer” sedangkan untuk panjang DNA target lebih besar dari lima kilobasa digunakan “high-salt buffer”.
  1. Waktu: Pemilihan waktu yang digunakan berkaitan dengan proses denaturasi DNA templat, annealingdan ekstensi primer. Untuk denaturasi DNA templat umumnya dilakukan selama 30 – 90 detik, ini semua tergantung pada DNA templat yang digunakan. Waktu denaturasi yang terlalu lama akan merusak templat DNA dan sekaligus dapat menurunkan aktivitas polimerase DNA. Sedangkan waktu denaturasi yang terlalu pendek akan menyebabkan proses denaturasi tidak sempurna. Penentuan waktu untuk proses annealing berkaitan dengan panjang primer. Untuk panjang primer 18 – 22 basa cukup dengan 30 detik, sedangkan untuk panjang primer lebih besar dari 22 basa diperlukan waktu annealing 60 detik.  Pemilihan waktu ekstensi primer tergantung pada panjang fragmen DNA yang akan diamplifikasi. Secara umum untuk mengamplifikasi setiap satu kilo basa DNA diperlukan waktu 30 – 60 detik. Pada setiap melakukan PCR harus dilakukan juga kontrol positif, ini diperlukan untuk memudahkan pemecahan masalah apabila terjadi hal yang tidak diinginkan. Selain itu juga harus dilakukan terhadap kontrol negative untuk menghindari kesalahan positif semu.

Teknik PCR memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari teknik PCR untuk deteksi molekuler adalah antara lain:

  1. Memiliki spesifisitas tinggi.
  2. Sangat cepat, dapat memberikan hasil yang sama pada hari yang sama.
  3. Dapat membedakan varian mikroorganisme.
  4. Mikroorganisme yang dideteksi tidak harus hidup.
  5. Mudah di set up.

Adapun kekurangan dari teknik PCR adalah anatra lain:

  1. Sangat mudah terkontaminasi.
  2. Biaya peralatan dan reagen mahal.
  3. Interpretasi hasil PCR yang positif belum tervalidasi untuk semua penyakit infeksi (misalnya infeksi pasif atau laten).
  4. Teknik prosedur yang kompleks dan bertahap membutuhkan keahlian khusus untuk melakukannya.

Hasil praktikum ini menunjukkan bahwa pita fragmen DNA yang disinari oleh sinar UV adalah negative karena tidak menunjukkan adanya pergerakan. Pergerakan yang terjadi merupakan pergerakan dari marker DNA pada tepi sel agarose. Jika pita fragmen ini menunjukkan hasil yang positif, maka fragmen DNA RRSV dan RGSV yang terdeteksi akan mencapai migrasi hingga 500bp, dimana fragmen ini merupakan fragmen paling terang yang terdapat pada marker. Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan keadaan ini tejadi, diantaranya adlalah karena penyimpanan ekstraksi DNA yang terlalu lama setelah diisolasi pada praktikum sebelumnya. Selain itu, pada saat menuangkan ektraksi DNA ke sumuran terjadi kesalahan, yaitu penuangan tidak sepenuhnya tertuang ke sumuran. Bahan yang digunakan untuk PCR juga dapat menyebabkan hasil PCR menjadi error, karena terlalu lama penimpanan ataupun terkontaminasi. Selain itu, wereng yang di ekstrak juga mungkin steril, sehingga tidak ditemukan DNA virus target, yaitu virus tungro.

KESIMPULAN

PCR adalah teknologi  canggih yang dapat mendeteksi DNA dengan cara amplifikasi  DNA.  Hasil  pemeriksaan  PCR  dapat  membantu  untuk  menegakkan  diagnosa  sepanjang  pemeriksaan  tersebut  dikerjakan  dengan  cara  yang  benar   dan  sesuai  dengan  standar  internasional.  Keunggulan  PCR  dikatakan  sangat  tinggi.  Hal  ini  didasarkan  atas  spesifitas,  efisiensi  dan  keakuratannya.  Masalah  yang  berkenaan  dengan PCR yaitu biaya PCR yang masih tergolong tinggi

DAFTAR PUSTAKA

Chettanachit,   D.,   W.  Rattanakarn,   and  J. Hongkajorn.  1987.  Studies   of   factors  causing   variation    of   varietal  reaction   to yellow orange leaf virus. Annual Report of  Division  of  Plant       Pathology  and  Microbiology, Deparlment of Agriculture, Bangkok.pp.78-87

Frischmuth, T. 2002. Plant Viruses AS Molecular Pathogens. The Haworth Press Inc, USA.

Praptana,  R.H.  dan  M.  Yasin.  2008.  Peranan bioteknologi  dalam  pengelolaan  penyakit tungro. Iptek Tanaman Pangan. 3: 98-103.

Raga, I.N., W. Murdita, M.P.L. Tri, S.W. Edi, dan  Oman,  2004.  Sistem  surveillance antisipasi ledakan penyakit tungro di Indonesia. Prosiding  Seminar  Nasional  Status  Program  Penelitian  Tungro Mendukung  Keberlanjutan Produksi  Padi  Nasional.  Makassar,  7-8 September 2004

Yusuf, Z.K. 2010. Polymerase Chain Reaction (PCR). Saintek 5: –

Yuwono  dan  Tribowo,  2006.  Teori  dan  Aplikasi  Polymerase  Chain  Reaction, Panduan Eksperimen     PCR untuk Memecahkan Masalah Biologi Terkini, Penerbit Andi, Yogyakarta

Tags: , , , ,

Laporan Paraktikum Dasar-Dasar Agronomi Acara IV: Pengaruh Cekaman Air Terhadap Perkecambahan Biji

Posted by miftachurohman on June 04, 2017
Dasar-Dasar Agronomi, Laporan Praktikum / No Comments

ACARA IV
PENGARUH CEKAMAN AIR TERHADAP PERKECAMBAHAN BIJI

TUJUAN

  1. Mengetahui gaya berkecambah dan kecepatan berkecambah suatu biji.
  2. Mengetahui faktor-faktor luar yang mempengaruhi perkecambahan biji.
  3. Mengetahui pengaruh cekaman air terhadap perkecambahan biji.

TINJAUAN PUSTAKA

Pada umumnya, tanaman banyak membutuhkan air pada awal tumbuhnya (seeding stage) dimana fase vegetatif dominan. Pada saat tanaman menjelang pembungaan, air perlu dikurangi. Jumlah air yang diberikan sebaiknya teratur sehingga fluktuasi jumlah air total tidak terlalu besar. Dalam memberikan air, perlu dijaga agar permukaan tanah tidak menjadi padat, sebab dapat mengurangi infiltrasi air maupun udara (Harjadi, 1982).

Ada dua macam tipe proses perkecambahan berdasarkan posisi kotiledon, yaitu perkecambahan hipogeal dan epigeal. Hipogeal adalah plumula muncul ke permukaan tanah, sedangkan kotiledon tinggal di dalam tanah. Contohnya: perkecambahan kacang kapri (Pisum sativum), jagung (Zea mays). Epigeal adalah plumula dan kotiledon muncul di atas permukaan tanah. Contohnya : perkecambahan kacang hijau (Vigna radiata) (Anonim, 2011).

Pertumbuhan tanaman yang terhambat akibat cekaman air sering dihubungkan dengan penurunan laju fotosintesis sebagai akibat dari pembukaan stomata yang berkurang. Tetapi, sebenarnya proses yang paling sensitif terhadap cekaman air adalah pertumbuhan tanaman, khususnya pembesaran sel, yang dapat dilihat misalnya dari laju perluasan daun (Sitompul, 1996).

Perkecambahan bergantung pada imbibisi, pengambilan air akibat potensial air yang rendah pada biji kering. Imbibisi air menyebabkan biji mengembang dan selaput biji merekah dan juga memicu perubahan – perubahan metabolisme di dalam embrio kembali tumbuh. Setelah hidrasi, enzim-enzim mulai mencerna material-material simpanan endospermae atau kotiledon dan nutrien-nutrien ditransfer ke bagian-bagian embrio (Campbell and Reece, 2008).

Faktor cekaman abiotik berpotensi menghilangkan hasil tanaman. Ada sejumlah cekaman abiotik umum di alam seperti salinitas, kekeringan, logam berat, suhu ekstrim, kelembaban, cahaya, dan pH. Cekaman kekeringan selama pertumbuhan dan perkembangan tanaman dapat menurunkan produksi. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada fase pertumbuhan saat kekeringan terjadi dan lamanya kekeringan ( Ozturk et al., 2009).

Kehilangan air hasil tanaman adalah masalah penting bagi pemuliaan tanaman dan mereka cenderung meningkatkan tanaman dalam kasus ini, tetapi perbedaan potensi hasil lebih berkaitan dengan kompatibilitas faktor tekanan kekeringan indeks toleransi yang digunakan untuk menentukan genotip. Tujuannya adalah untuk menyelidiki variasi pembacaan meter SPAD daun bawah perlakuan yang berbeda ( Moaveni et al., 2010 ).

III. METODE PELAKSANAAN PRAKTIKUM

Praktikum Dasar-Dasar Agronomi acara IV yang berjudul Pengaruh Cekaman Air terhadap Perkecambahan Biji, dilaksanakan pada hari Jumat tanggal 22 Maret 2013 di Laboratorium Manajemen dan Produksi Tanaman, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah benih padi (Oryza sativa), kertas filter, dan larutan PEG (Polyethylene Glycol) dengan potensial air 0; -0,6; -1,2 dan -1,8 Mpa. Sedangkan alat-alat yang digunakan adalah bak perkecambahan (petridish), kaca pengaduk, penggaris, sendok, pinset, beaker glass, kaca penutup, dan gelas ukur. Metode pendekatan yang digunakan adalah dengan persamaan Van’t Hoff.

Langkah kerja pada praktikum ini adalah pertama direndam benih padi dalam air selama semalam (12 jam). Kemudian, petridish disiapkan dan dilapisi dengan kertas saring. Benih padi direndam ke dalam larutan PEG sesuai dengan perlakuan. Setelah itu, kertas saring dibasahi dengan larutan PEG sesuai dengan perlakuan. 25 biji diletakkan ke dalam tiap-tiap petridish. Setelah selesai petridish ditutup dengan penutupnya. Jumlah biji yang berkecambah (plumula dan radicula sudah mencapai panjang ± 2mm). Diamati dan dihitung setiap hari selama 1 minggu dimulai sehari setelah percobaan. Dibuang biji yang telah berkecambah dan berjamur untuk mempermudah pengamatan. Nilai gaya berkecambah dan indeks vigor dihitung dari masing-masing perlakuan PEG. Dibuat grafik gaya berkecambah dan indeks vigor pada berbagai hari pengamatan untuk semua konsentrasi dalam masing-masing alokasi waktu perendaman.  

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Pengamatan

Tabel 1.1 Hasil Pengamatan Gaya Berkecambah

Perlakuan Jumlah Biji yang Berkecambah GB terakhir(%)
1 2 3 4 5 6 7
PEG 0  0 4,167 10,33 12,67 13 13,83 14,67 89
PEG -0,6  0 0 3,333 7 7 7,5 43
PEG -1,2  0  0 0 0 0,167 0,167 0 1
PEG-1,8  0  0 0 0 0 0 0 0

Tabel 1.2 Hasil Pengamatan Indeks Vigor

Perlakuan Jumlah Biji yang Berkecambah
1 2 3 4 5 6 7
PEG 0  0 1,93 3,1867 2,118333 1,446667 1,221111 1,091429
PEG -0,6  0 0 0,833333 1,4 1,111111 1,02381
PEG -1,2  0  0 0 0 0,033333 0,041111 0
PEG-1,8  0  0 0 0 0 0 0

Pembahasan

Perkecambahan merupakan suatu proses pertumbuhan dari biji setelah biji mengalami masa dormansi bila kondisi-kondisi sekelilingnya memungkinkan. Perkecambahan sesungguhnya adalah pertumbuhan embrio yang dimulai kembali setelah penyerapan air atau imbibisi. Pada waktu imbibisi, kandungan air meningkat, kemudian lebih lambat. Adanya air mengakibatkan jaringan bermetabolisme secara aktif. Enzim yang telah ada diaktifkan kembali, dan protein baru dengan kegiatan enzim baru disintesis untuk mencerna dan menggunakan berbagai bahan cadangan yang tersimpan. Pembelahan dan perluasan sel dimulai dan berjalan menurut pola yang telah terprogram dalam gen biji. Pertumbuhan tersebut memerlukan pasokan air dan zat gizi secara terus-menerus. Sebelum embrio menjadi kecambah yang mandiri, embrio menggunakan makanan yang tersimpan dalam endosperm dan dalam selnya sendiri.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perkecambahan adalah air, udara, temperatur atau suhu sinar matahari dan peranan lingkungan. Air digunakan untuk perkecambahan biji, pengisapan air merupakan kebutuhan biji untuk berlangsungnya kegiatan-kegiatan dalam biji. Pada peristiwa ini pati, protein dan lemak dalam biji diubah menjadi makanan sederhana yang digunakan untuk kepentingan embrio. Agar peristiwa tersebut dapat berlangsung maka air yang masuk dalam biji harus merata. Udara yang di dalamnya terkandung oksigen digunakan untuk pernapasan embrio. Temperatur pada proses perkecambahan biji berkaitan dengan kegiatan di dalam biji. Semakin tinggi temperatur, kegiatan di dalam biji akan meningkat pula. Pada temperatur yamg rendah perkecambahan berlangsung lambat. Pada perkecambahan diperlukan pula sinar matahari yang berhubungan erat dengan temperatur udara, yaitu berperan dalam pertumbuhan kecambah supaya tidak tampak pucat. Keadaan pertumbuhan kecambah yang memanjang dan bibit yang tampak pucat ini disebut etiolasi.

Dalam praktikum ini larutan yang digunakan untuk cekaman air adalah larutan PEG. Larutan polietilena glikol (PEG) mampu menahan air sehingga menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Besarnya kemampuan larutan PEG untuk menahan air tersebut bergantung pada bobot molekul dan konsentrasinya . Sifatnya yang larut dalam air, tidak toksik terhadap tanaman, dan tidak mudah diserap menjadikan PEG sebagai senyawa yang efektif untuk menirukan kondisi kekeringan. Penggunaan larutan PEG sebagai bahan conditioning dan invigorasi benih telah banyak dilakukan pada benih tanaman pangan dan sayuran. Dengan larutan PEG, cekaman kekeringan dapat diterapkan secara homogen terhadap populasi tanaman yang diseleksi sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan mengidentifikasi individu yang diseleksi.

Pengaruh cekaman air terhadap pertumbuhan tanaman tergantung pada tingkat cekaman yang dialami dan jenis atau kultivar yang ditanam. Pengaruh awal dari tanaman yang mendapat cekaman air adalah terjadinya hambatan terhadap pembukaan stomata daun yang kemudian berpengaruh besar terhadap proses fisiologis dan metabolisme pada tanaman.

Pada kondisi tanaman mengalami cekaman air, tekanan turgor akan berkurang. Dengan penyemprotan melalui daun, maka tekanan turgor akan meningkat dan hara akan diperoleh tanaman. Kekurangan air akan menyebabkan kekeringan pada tanaman, sehingga akan menyebabkan benih mati saat perkecambahan. Cekaman air yang berlebihan juga bisa menyebabkan stress pada tanaman. Cekaman air yang diberikan pada awal pertumbuhan generatif menyebabkan berkurangnya asimilasi CO2.

Pada percobaan ini digunakan biji padi (Oryza sativa) yang telah direndam dalam air selama 12 jam. Kemudian biji padi direndam ke dalam larutan PEG sesuai dengan perlakuan. Berdasarkan percobaan tersebut diperoleh gaya berkecambah dan indeks vigor biji padi yang dilakukan selama 7 hari.

Gaya Berkecambah

Gambar 1.1Histogram Gaya Berkecambah

Berdasarkan percobaan, gaya berkecambah tiap-tiap perlakuan biji padi dengan konsentrasi PEG yang berbeda pun berbeda hasilnya. Pada pemberian PEG 0 MPa (murni air/akuades), diperoleh gaya berkecambah biji padi sebesar 89%. Pada pemberian PEG -0,6 Mpa diperoleh gaya berkecambah sebesar 43 %, -1,2 Mpa diperoleh 1%, dan -1,8 Mpa diperoleh 0%. Pada pemberian PEG -1,2 Mpa pada biji padi, hasil yang  diperoleh tidak sesuai secara teori. Secara teori, tanaman pangan masih dapat tumbuh pada potensial air mendekati -1,6 Mpa. Ada beberapa faktor yang menyebabkan data yang diperoleh tidak sesuai, diantaranya kondisi lingkungan (laboratorium) yang buruk, misalnya kelembaban yang rendah (mengakibatkan biji padi tidak berkecambah), suhu, cahaya, dsb. Selain itu, adanya jamur yang mengakibatkan biji membusuk juga menyebabkan biji padi tidak berkecambah.

Indeks Vigor

Gambar 2.Grafik Indeks Vigor

Dari grafik indeks vigor, dapat diketahui bahwa biji padi dapat tumbuh dengan baik pada pemberian larutan PEG 0 Mpa. Hal ini menunjukkan bahwa larutan PEG 0 Mpa memiliki kemampuan untuk menginduksi cekaman air yang lebih kecil daripada PEG dengan konsentrasi -0,6; -1,2; -1,8 Mpa. Kemudian biji padi dapat tumbuh baik pula pada pemberian larutan PEG -0,6 Mpa. Pada pemberian larutan PEG -1,2 Mpa dan -1,8 Mpa, indeks berkecambah (kecepatan berkecambah) biji padi sangat rendah.

Manfaat mempelajari pengaruh cekaman air terhadap perkecambahan biji, antara lain mengetahui fungsi dari cekaman air, dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi cekaman air terhadap perkecambahan biji. Untuk menghindari kematian tanaman akibat kekurangan air dapat dilakukan dengan cara yaitu memberi pengairan secara rutin sesuai dengan kebutuhan air yang diperlukan tanaman. Selain itu, dapat juga digunakan khemikalia untuk membantu mengurangi cekaman air. Kandungan khemikalia ini dapat diperoleh dari pupuk.

KESIMPULAN
  1. Gaya berkecambah adalah jumlah biji yang berkecambah dari sejumlah biji murni yang dikecambahkan dan dinyatakan dalam persen. GB pada larutan PEG 0 Mpa yakni 89%, -0,6 Mpa yakni 43%, -1,2 Mpa yakni 1%, dan -1,8 Mpa yakni 0%.
  2. Faktor luar yang mempengaruhi perkecambahan biji adalah air, suhu, oksigen, cahaya,  dan kelembaban.
  3. Pengaruh cekaman air terhadap perkecambahan biji yaitu terjadinya hambatan terhadap pembukaan stomata daun yang kemudian berpengaruh besar terhadap proses fisiologis dan metabolisme pada tanaman.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim.2011. Tipe Perkecambahan (Epigeal dan Hipogeal). <http://saonone.blogspot.com/2011/08/tipe-perkecambahan-epigeal-dan- hipogeal.html>. Diakses pada 14 Mei 2013.

Campbell, N. A., and Reece. 2008. Biology. 8th ed. Pearson Education Inc., California.

Harjadi, S.S. 1982. Pengantar Agronomi. PT Gramedia, Jakarta.

Moaveni, P., A. Ebrahemi, and H.A. Farahami. 2010. Studying of oil yield variations in winter repeseed (Brassica napus L.) cultivarsunder drought stress conditions. Journal of Agriculture Biotechnology and Sustainable Development. 2 : 72.

Ozturk, M., M. Ashraf, and H.K. Atnar. 2009. Salinity and Water Stress Improving Cropping Efficiency. Springer, Falisbalad.

Tags: , , , ,

Laporan Praktikum Dasar-Dasar Agronomi Acara III: Kebutuhan Air Tanaman dan Efisiensi Penggunaan Air

Posted by miftachurohman on May 27, 2017
Dasar-Dasar Agronomi, Laporan Praktikum / No Comments

ACARA III
KEBUTUHAN AIR TANAMAN DAN EFISIENSI PENGGUNAAN AIR

 

TUJUAN

  1. Mengetahui jumlah air yang hilang karena evaporasi dan transpirasi.
  2. Mengetahui jumlah air dibutuhkan tanaman selama periode waktu tertentu.
  3. Mengetahui efisiensi penggunaan air tanaman.

TINJAUAN PUSTAKA

Penggunaan konsumtif adalah jumlah total air yang dikonsumsi tanaman untuk penguapan (evaporasi), transpirasi, dan aktivitas metabolisme tanaman. Kadang-kadang istilah itu disebut juga sebagai evapotranspirasi tanaman. Jumlah evapotranspirasi kumulatif selama pertumbuhan tanaman yang harus dipenuhi oleh air irigasi, dipengaruhi oleh jenis tanaman, radiasi surya, sistem irigasi, lama pertumbuhan, hujan, dan faktor lain. Jumlah air yang ditranspirasikan tanaman tergantung pada jumlah lengas yang tersedia di daerah perakaran, suhu, dan kelembaban udara, kecepatan angin, intensitas dan lama penyinaran, tahapan pertumbuhan, tipe dedaunan (Atusi, 2012).

Air adalah media transport untuk elemen-elemen nutrien dan molekul-molkekul organik dan tanah ke akar dan sebagai alat atau sarana transport garam dan terasimilasi dalam tumbuhan, stimulasi gerak organel dan struktur sel, pembelahan sel dan pemanjangan adalah contoh dari proses yang dikontrol oleh hormon dan zat tumbuh. Air berperan sebagai pembawa pesan, memungkinkan sistem regulasi tumbuhan. Jika pasokan air terganggu, rumput-rumputan dan organ tumbuhan akan layu (Ehlers, 2003).

Air dan mineral dari dalam tanah diambil melalui proses penyerapan yang dilakukan oleh akar, terutama bulu-bulu akar. Proses penyerapan air dilakukan secara osmosis dan penyerapan air mineral yang terlarut dalam air tanah dilakukan secara difusi. Air tanah dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu air kapiler, gravitasi, higroskopis, dan kimia (Susilowarno,2007).

Kebutuhan air untuk tanaman dipengaruhi oleh faktor iklim dan tanah. Faktor iklim seperti radiasi surya, suhu, kecepatan angin, kelembaban udara mempengaruhi proses evaporasi. Faktor tanah seperti tekstur, kedalaman air tanah, dan struktur topografi menentukan besarnya infiltrasi, perkolasi, dan limpasan air. Selain itu, karakteristik tanaman seperti jenis, pertumbuhan dan perkembangan tanaman juga berpengaruh terhadap jumlah air yang dibutuhkan tanaman (Djufry, 2006).

Pohon mengatur transpirasi dengan 2 cara yaitu jangka pendek dan jangka panjang. Pada jangka pendek, stomata menanggapi variasi cahaya, kekurangan tekanan uap, dan potensial air daun. Pada jangka panjang, terjadi perubahan daerah daun kanopi dan struktur akarserta tunas dimana struktur ini menyediakan air bagi kanopi (Wullschleger, 2006).

METODE PELAKSANAAN PRAKTIKUM

Praktikum acara 3, kebutuhan air tanaman dan efisiensi penggunaan air ini dilaksanakan pada hari kamis, 2 mei 2013 di Laboratorium Manajemen Produksi Tanaman, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Bahan yang digunakan adalah benih/ bibit terong (Solanum melongena), polybag, media tanam tanah, air kran, kantong kertas, dan kertas bekas. Alat yang digunakan adalah cangkul, cetok, termohigrometer, neraca, dan oven.

Langkah kerja pada acara 3 ini adalah pertama-tama polibag ukuran 15×20 cm dengan 1000 gram tanah kering udara. Lalu ditambahkan air sebanyak 100 ml untuk menjadikan 100 gram tanah kering udara tersebut menjadi pada kondisi kapasitas lapangan. Kemudian masing-masing polibag tiap perlakuan disiapkan dan ditanam bibit terong yang sudah disediakan. Perlakuan diulang sebanyak jumlah kelompok dalam satu golongan. Dipelihara tanaman itu selama 21 hari setelah pindah tanam.

Rumus yang dipakai pada percobaan ketiga ini adalah:

Luas pola pada daun = luas standart*pola daun

                   Berat standart

WUE = biomassa yang dihasilkan*100

Air yang dibutuhkan

HASIL PENGAMATAN

 

Hasil Pengamatan

Tabel 1. Tabel evaporasi, evapotranspirasi, transpirasi, dan air yang dibutuhkan tanaman di dalam ruangan.

  Parameter Pengamatan hari ke-n rata
1 2 3 4 5 6
Dalam Evaporasi     (a gram) 86,66667 51,66667 73,3333 45,833333 57,5 70,25 64,21
Evapotranspirasi 97,5 61,66667 113,333 53,666667 69,8333 72,9167 78,15
Transpirasi (b gram) 14,16667 6,666667 43,3333 7,8333333 19 2,66667 15,61
Air yang dibutuhkan (a+b) gram 100,8333 58,33333 116,667 53,666667 76,5 72,9167 79,82

Tabel 2. Tabel evaporasi, evapotranspirasi, transpirasi, dan air yang dibutuhkan tanaman di luar ruangan.

  Parameter Pengamatan hari ke-n rata
1 2 3 4 5 6
luar Evaporasi     (a gram) 80,83333 35,83333 69,1667 55,833333 59,1667 33,75 55,76
Evapotranspirasi 106,6667 40,83333 94,1667 106,66667 92,5 77,0833 86,32
Transpirasi (b gram) 29,16667 5 21,6667 50,833333 36,6667 43,3333 31,11
Air yang dibutuhkan (a+b) gram 110 40,83333 90,8333 106,66667 95,8333 77,0833 86,88

Tabel 3. Tabel berat kering awal, berat kering akhir, biomassa yang dihasilkan, luas daun, dan WUE.

DALAM BK Awal 0,2636 LUAR BK Awal 0,2636
Berat Kering Akhir 0,016667 Berat Kering Akhir 0,016667
Biomassa yang dihasilkan (BK akhir-BK awal) 0,016667 Biomassa yang dihasilkan (BK akhir-BK awal) 0,076667
Luas Daun (cm2) 3,415 Luas Daun (cm2) 19,333333
WUE 0,000217 WUE 0,00086
Pembahasan

Penguapan atau evaporasi adalah proses perubahan molekul di dalam keadaan cair (contohnya air) dengan spontan menjadi gas (contohnya uap air). Proses ini adalah kebalikan dari kondensasi. Umumnya penguapan dapat dilihat dari lenyapnya cairan secara berangsur-angsur ketika terpapar pada gas dengan volume signifikan. Evapotranspirasi terbagi atas beberapa jenis, yaitu Evapotranspirasi Potensial, Evapotranspirasi standar, Evapotranspirasi Tanaman, Evapotranspirasi actual.

Transpirasi adalah vaporisasi di dalam jaringan tanaman dan selanjutnya uap air tersebut dipindahkan dari permukaan tanaman ke atmosfer (vapor removal). Pada transpirasi, vaporisasi terjadi terutama di ruang antar sel daun dan selanjutnya melalui stomata uap air akan lepas ke atmosfer. Hampir semua air yang diambil tanaman dari media tanam (tanah) akan ditranspirasikan, dan hanya sebagian kecil yang dimanfaatkan tanaman.

Evapotranspirasi adalah kombinasi proses kehilangan air dari suatu lahan bertanaman melalui evaporasi dan transpirasi. WUE (water use efficiency) adalah efisiensi penggunaan air pada tanaman. WUE dapat dihitung dengan membagi biomassa per jumlah air yang dibutuhkan tanaman.

Faktor – faktor yang mempengaruhi evaporasi adalah :

  1. Radiasi matahari (solar radiation). Perubahan dari keadaan cair menjadi gas ini memerlukan input energi yang berupa panas latent atau evaporasi. Proses tersebut akan sangat aktif jika ada penyinaran langsung dari matahari. Awan merupakan penghalang radiasi matahari dan akan mengurangi input energi, jadi akan menghambat proses evaporasi.
  2. Angin (wind) Jika air menguap ke atmosfer maka lapisan batas antara tanah dengan udara menjadi jenuh oleh uap air sehingga proses evaporasi terhenti. Agar proses tersebut berjalan terus, lapisan jenuh itu harus diganti dengan udara kering. Pergantian itu dapat dimungkinkan hanya kalau ada angin, jadi kecepatan angin memegang peranan dalam proses evaporasi.
  3. Kelembaman Relatif (relative humidity) Jika kelembaman relatif ini naik, kemampuannya untuk menyerap uap air akan berkurang sehingga laju evaporasinya munurun. Penggantian lapisan udara pada batas tanah dan udara dengan udara yang sama kelembaman relatifnya tidak akan menolong untuk memperbesar laju evaporasi. Ini hanya dimungkinkan jika diganti dengan udara yang lebih kering.
  4. Suhu (temperature) Jika suhu udara dan tanah cukupp tinggi, proses evaporasi akan berjalan lebih cepat jika dibandingkan dengan suhu udara dan tanah rendah, karena adanya energi panas yang tersedia.

Faktor-faktor yang mempengaruhi transpirasi yaitu cahaya akan bertambah jika semakin cerah, temperature, kelembapan akan meningkat jika udara menjdi lebih kering, angin bertambah dengan bertambahnya kecepatan angin, air tanah turun jika lengas  tanah turun.

Faktor yang mempengaruhi evapotranspirasi adalah :

  1. Radiasi surya (Rd)
    Komponen sumber energi dalam memanaskan badan-badan air, tanah dan tanaman. Radiasi potensial sangat ditentukan oleh posisi geografis lokasi.
  2. Kecepatan angin (v)
    Angin merupakan faktor yang menyebabkan terdistribusinya air yang telah diuapkan ke atmosfir, sehingga proses penguapan dapat berlangsung terus sebelum terjadinya kejenuhan kandungan uap di udara.
  3. Kelembaban relatif (RH)
    Parameter iklim ini memegang peranan karena udara memiliki kemampuan untuk menyerap air sesuai kondisinya termasuk temperatur udara dan tekanan udara atmosfir.
  4. Temperatur
    Suhu merupakan komponen tak terpisah dari RH dan Radiasi. Suhu ini dapat berupa suhu badan air, tanah, dan tanaman ataupun juga suhu atmosfir.

Faktor yang mempengaruhi WUE adalah kebutuhan air tanaman (crop water requirement) sering didistribusikan sebagai konsumsi air oleh tanaman (water use) didefinisikan sebagai banyaknya air yang hilang dari areal bervegetasi per satuan waktu yang digunakan untuk proses evapotranspirasi. Kebutuhan air untuk tanaman dipengaruhi oleh faktor iklim dan tanah. Faktor iklim seperti radias surya, suhu, kecepatan angin, dan kelembaban udara mempengaruhi proses evaporasi, sedangkan faktor tanah seperti tekstur , kedalaman air tanah, dan struktur topografi menentukan besarnya inflitrasi, perkolasi, dan limpasan air. Selain itu karateristik tanaman seperti jenis, pertumbuhan dan fase perkembangan tanaman juga berpengaruh terhadap jumlah air yang dibutuhkan tanaman (Djufry, 2006). 

Manfaat mengetahui evaporasi dan evapotranspirasi adalah untuk menambah defisiensi lengas tanah dan penting dalam kajian-kajian hidrometeorologi. Manfaat mengetahui transpirasi adalah sebagai penunjang pengangkutan mineral, mempertahankan turgiditas optimum dan menghilangkan sejumlah besar panas dari daun. Mineral yang diserap ke dalam akar bergerak ke atas tumbuhan dengan cara tertentu dalam arus transpirasi, yaitu aliran air melalui xylem akibat transpirasi. Selain itu membantu penyerapan mineral dari tanah dan pengangkutannya dalam tumbuhan. Sebagai contoh hasil penelitian menunjukan Kalsium dan Boron di jaringan tampak sangat peka terhadap laju transpirasi. Tumbuhan yang ditanam dalam rumah kaca yang mempunyai kelembaban tinggi dan udara yang kaya CO2 (membuat stomata cendrung tertutup) dapat menampakan kekahatan (kekurangan) kalsium pada jaringan tertentu. Sebaliknya transpirasi yang terlalu cepat dapat menyebabkan meningkatnya beberapa unsur tertentu, mencapai jumlah kadar yang meracuni. Selain itu peranan transpirasi dalam tumbuhan untuk menurunkan suhu atau mendinginkan daun. Daun yang tidak melakukan transpirasi akan lebih panas beberapa derajat. Perubahan suhu dari daun menunjukan adanya pertukaran energi dari daun dan lingkungannya.

Manfaat mengetahui WUE adalah untuk mengetahui bagaimana efisiensi penggunaan air oleh tanaman, sehingga diharapkan dapat memanfaatkan air yang terkandung di dalam tanah dapat dipergunakan dengan optimal. Selain itu, dengan WUE, kita bisa mengetahui berapa % tanaman bisa menggunakan air secara efisien.

Gambar 1. Histogram evaporasi dan transpirasi tanaman terong.

Pada histogram di atas dapat kita lihat bahwa evaporasi tanaman terong di dalam ruangan atau di suhu tinggi kehilangan air dalam bentuk uap dari tanah sebanyak 64,21 yang mana lebih tinggi dari evaporasi luar ruangan atau suhu sedang sebanyak 15,16. Suhu daun di dalam ruangan kurang lebih sama dengan suhu udara, tetapi daun yang terkena sinar matahari mempunyai suhu 100– 200F lebih tinggi dari pada suhu udara. Akan tetapi nilai evaporasi pada rumah kaca lebih besar dibandingkan dengan perlakuan di luar. Hal tersebut dapat terjadi karena suhu yang lebih tinggi di rumah kaca dibandingkan di luar akan mempercepat penguapan pada tanaman itu sendiri, sehingga terjadi penguapan yang lebih besar, sehingga nilai evaporasi lebih besar. Akan tetapi, pengaruh angin di luar rumah kaca juga dapat meningkatkan laju evaporasi.

Pada histogram di atas pula dapat kita lihat bahwa transpirasi tanaman terong di dalam ruangan atau di suhu tinggi kehilangan air dalam bentuk uap dari tanaman  sebanyak 15,61 yng mana lebih rendah dari transpirasi luar ruangan atau suhu sedang sebanyak 31,11. Hal tersebut dapat disebabkan karena faktor-faktor eksternal yaitu kelembaban, suhu, cahaya, dan angin yang berbeda antara di rumah kaca dengan di luar.

Gambar 2. Histogram WUE tanaman terong.

Dari percobaan di atas diketahui bahwa efisiensi air tanaman terong di rumah kaca lebih kecil dibandingkan dengan efisiensi air tanaman terong di luar. Efisiensi air tanaman terong di rumah kaca sebesar 0,000217, sedangkan di luar sebesar 0,00086. Dapat disimpulkan bahwa kebutuhan air bagi tanaman sangat penting agar tanaman dapat terus hidup.

KESIMPULAN

 Kesimpulan yang diperoleh pada percobaan ini adalah:

  1. Jumlah air yang hilang karena evaporasi di dalam ruangan sebanyak 64,21 yang mana lebih tinggi dari evaporasi luar ruangan sebanyak 15,16. Dan jumlah air yang hilang karena transpirasi di dalam ruangan sebanyak 15,61 yng mana lebih rendah dari transpirasi luar ruangan sebanyak 31,11
  2. Jumlah air yang dibutuhkan merupakan total dari evaporasi dan transpirasi. Menurut percobaan ini apabila di dalam ruangan adalah sebanyak 79,82 dan apabila di luar ruangan sebanyak 86,88.
  3. Nilai Water Use Efficiency (WUE) di rumah kaca kaca lebih kecil dibandingkan dengan efisiensi air tanaman terong di luar. Efisiensi air tanaman terong di rumah kaca sebesar 0,000217, sedangkan di luar sebesar 0,00086.

DAFTAR PUSTAKA

Atusi. 2012. Kebutuhan Air Tanaman. <http://www.agritusi.com/archives/171>. Diakses pada 9 Mei 2013.

Djufry, E. 2006. Respon Tanaman Jarak (Richinus communis L.) pada kondisi cekaman air. Jurnal Agrivigor 5: 98-107.

Ehlers, Wilfred, dan Goss, M. 2003. Water Dynamies Production. CABI Publishing, USA.

Susilowarno, dkk. 2007. Biologi. Grasindo, Jakarta.

Wullschleger, S.D., dan Hanson P.J. 2006. Sensitivity of canopy transpiration to altered precipitation in an upland oak forest : eviolence fom a long-term field manipulation study. Global change biologi 12 : 97-109.

Tags: , , , ,